Di suatu pulau kecil, Cinta tinggal bersama-sama dengan Kesedihan, Kekayaan, Kebahagiaan dan Kecantikan. Suatu hari ada banjir besar datang.
Kekayaan lewat, dan Cinta dibiarkannya dengan alasan perahunya sudah penuh harta benda. Kebahagiaan lewat, juga menaiki sebuah perahu. Namun, teriakan minta tolong Cinta tak didengarnya -- saking bahagianya ia menemukan perahu. Kecantikan kemudian lewat. Tatkala dilihatnya Cinta yang basah kuyup dan kotor, ia tak peduli. Terakhir, lewatlah Kesedihan. Ketika melihat Cinta, ia menyatakan dirinya sedang terlalu sedih atas banjir yang sedang terjadi.
Cinta sendirian -- tanpa teman. Saat pulau itu hampir tenggelam total, lewatlah sebuah perahu. Cinta dibawanya serta... diselamatkannya. Ternyata, pendayung perahu itu bernama Waktu. Mengapa Cinta diselamatkan Waktu?
"Sebab, hanya Waktu yang tahu seberapa besar nilai sebuah Cinta," kata seseorang.
"L'uomo misura il tempo e il tempo misura l'oumo," kata sebuah pepatah Italia. Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia. Demikian pula keberadaan cinta dalam diri seseorang -- hanya waktu yang bisa mengukurnya.
Saudara, dalam dunia yang serba instan seperti sekarang ini, kita semakin gamang menerka sebuah cinta yang asli. Banyak kejahatan dilakukan atas nama cinta. Banyak bukti diminta demi meyakinkan sebuah keberadaan cinta. Tanpa kesetiaan dan komitmen cinta kerap diumbar demi memuaskan nafsu. Namun, pada akhirnya, hanya cinta yang disertai ketulusan yang akan tetap bertahan ketika waktu mengujinya. (~s.n~)
"Cinta yang asli tahan uji; sementara yang palsu tak mampu menahan diri."
Catatan: Terima kasih untuk Iqbal Dawami yang sudah menghadirkan ilustrasi menarik tentang cinta dan waktu dalam bukunya berjudul Cita-cita. Terima kasih untuk Pak Johannes Sumardianta yang telah menampilkan adagium Italia yang kukutip. Kubuat renungan ini untuk Blessing, dan Wahyu Indah, seorang anggota FPKM (Forum Penulis Kota Malang) yang akan segera mengakhiri masa lajangnya.
No comments:
Post a Comment