Sinta maju ke depan kelas, memainkan pianikanya dengan baik sekali. Lagu Apuse ia selesaikan dengan tuntas. Nilainya seratus. Kemudian ia menyanyi. Lagunya Garuda Pancasila. Suaranya merdu dan bening. Seisi kelas terpana mendengarnya. Kelas yang tadi lemas, kini senyap beberapa kejap -- dibius kemerduan.
Sinta telah membuat perbedaan pada ujian praktek Kesenian hari ini. Tepukan tangan terdengar riuh rancak ketika ia selesai menyanyi.
Setelah Sinta maju, ada Ina, Adi, Anton, Abduh dan Yohanes. Permainan pianika mereka ada yang baik, ada yang buruk. Nyanyian mereka ada yang sumbang, ada yang merdu.
Tibalah giliran Irman. Ia berada pada urutan absen ke-11 dari 25 anak, namun memilih diuji terakhir. Ia berkata semalam tak bisa tidur. "Ibuku sakit keras, Bu Trisya," katanya padaku dengan lirih. Ia adalah anak yang telapak tangannya selalu berkeringat ketika berpikir. Ia mudah sekali mengantuk. Ia susah berkonsentrasi untuk sesuatu yang dikerjakannya. Ia pergi ke kantin sendirian setiap istirahat. Ia jarang tersenyum, kecuali padaku -- senyumnya pun tipis sekali. Ia membiarkan ejekan beberapa teman yang suka mengatainya penakut dan banci. Sesekali kulihat matanya merah menahan tangis. Namun demikian, ia tak banyak bicara; tak pernah juga mengadu ketidakadilan yang tampaknya sering mendera jiwanya. Dan kudengar-dengar, ibunya sendirian membesarkan Irman. Pekerjaannya tidak jelas, walau uang sekolahnya tak pernah terlambat dibayar. Kata orang-orang, ibunya bekerja di luar kota. Ia tinggal bersama pembantunya di dekat sekolahku di Sidoarjo.
Ketika nama Irman kupanggil, aku segera mengingat saat sebulan lalu ketika ia maju untuk bernyanyi. Begitu kecil suaranya, namun tak tega aku membentaknya untuk menyaringkan suaranya setelah memintanya berkali-kali agar bernyanyi lebih keras. Ia memandang ke arah langit-langit kelas ketika bernyanyi. Ia menuntaskan lagu Garuda Pancasila tanpa ada satu pun nada sumbang terkeluarkan. Namun, pada waktu itu, ia mendiamkan seluruh kelas dengan cara yang jauh lebih hebat daripada yang dilakukan Sinta barusan.
Kini, aku tak sabar melihatnya memainkan pianika dan bernyanyi. Ketika ia maju, aku melihat beberapa tetes air jatuh dari tangan kanannya yang sedang tidak memegang pianika. Aku tertunduk seketika setelah melihat tetesan-tetesan itu. Betapa ia terlihat seperti orang tua -- lemah, ringkih, dan tanpa daya.
Ia kemudian memasangkan tangan kirinya pada bagian bawah pianikanya. Dipasangkan peniupnya, lalu hendak ditiupnya pianika itu. Aku memandang bibir dan jarinya bergantian selama beberapa detik, menunggunya meniup pianika itu. Ia melirik sebentar ke arahku, aku mengangguk. Ditiupnya pianika itu, akhirnya.
Tak ada kesalahan sama sekali. Sempurna. Seisi kelas bahkan bertepuk tangan demi mendengar nada-nada itu tersuarakan. Sementara di depan kelas, pianika Irman dan lantai di sekitar ia berdiri penuh tetesan keringat.
Namun bagian yang kuharapkan menjadi bagian terbaik belum tiba. Aku menunggu Irman memperdengarkan suara merdunya -- dengan lebih lantang -- kali ini. Aku memintanya mengambil nafas beberapa saat sebelum ia bernyanyi. Aku membesarkan hatinya dengan menyatakan suaranya bagus dan merdu. Seisi kelas bahkan kini sabar menunggu.
Ketika Irman sudah siap mengangkat suara untuk bernyanyi, tiba-tiba, dari jendela kelas aku melihat seseorang yang kukenal datang menuju kelasku. Pembantu Irman yang datang. Dari kejauhan tampak matanya sembab. Ada apa gerangan?
"Ibu Irman ada di rumah sakit, Bu Trisya," katanya kepadaku.
"Dan kini dia sedang...." Ia tak melanjutkan apa yang hendak dikatakannya. Ia memohon ijin kepadaku agar membawa Irman ke rumah sakit. Irman tiba-tiba menangis. Isakannya pelan, namun air matanya deras mengalir.
Aku melepas kepergian keduanya tanpa banyak bicara.
***
Waktu ujian praktek telah berlalu. Irman tak lagi menjadi muridku. Ia datang di awal semester ini, dan menghilang menjelang akhir semester ini. Ia menghilang begitu cepat -- seperti hawa sejuk yang buru-buru pergi di Sidoarjo ketika pagi beranjak siang.
Ibunya telah menghadap Sang Khalik ketika Irman maju ke depan kelas untuk bernyanyi, atau mungkin sebelum memainkan pianika, atau mungkin juga sebelum ia dipanggil maju ke depan kelas. Seorang pria telah berlaku kejam pada ibunya di malam sebelum Irman diuji bernyanyi dan memainkan pianika. Seorang pria yang jadi pelanggannya. Ibu Irman, yang ternyata bekerja sebagai wanita penghibur di Tretes, sedang tidak sehat, namun memaksa diri tetap bekerja malam itu.
Akhir tahun akan segera datang. Ujian akhir semester akan segera digelar. Irman masih menyisakan jejak yang dapat kutelusuri. Aku berharap dapat menemukannya.
***
Sidik Nugroho
Sidoarjo, satu hari setelah Hari Guru 2009
3 comments:
Irman harus sekolah.
fiksi ya mas
betul, irman harus sekolah. iya nih, fiksi... :-D
Post a Comment