"Waktunya tidur," kata Tuan Badrika. "Tapi... aku ingin berkeliling sebentar." Ia lalu melesat dan melayang dengan pelan ke beberapa arah dari tempat api unggun mereka malam itu berada, juga membawa beberapa tombak yang dibuatnya. Tari dan Pak Wahyu memperhatikan melesatnya Tuan Badrika dengan khidmat.
"Tari," kata Pak Wahyu. "Walau kau lihat bapak ini sudah tua, bapak sebenarnya masih mahir memainkan pedang."
Mata Tari yang tadinya menatapi kekelaman, kini membelalak menatap Pak Wahyu ketika mendengar sebuah kata. "Pedang, Pak?" Benaknya diliputi kegentaran.
"Ya, bapak membawanya dalam tas itu," kata Pak Wahyu menunjuk tas yang ia letakkan agak jauh dari api unggun. Ketika berkata-kata ia tampak agak resah.
"Maksud saya, apakah itu akan digunakan dalam waktu dekat ini? Saat ini? Sekarang? Untuk apa?" tanya Tari bertubi-tubi.
Pak Wahyu bimbang hendak menjawab apa. "Entahlah, Tari... dari pembicaraan tadi, aku menangkap adanya... yah... tanda-tanda bahaya di sekitar sini. Kurasa...," Pak Wahyu memotong kata-katanya, beranjak menuju ke tas yang ia bawa sambil melanjutkan kata-katanya, "Kurasa... yah... Tuan Badrika merasakan hal yang sa...."
"Auuuuuuwww...." Suara panjang bagai membelah langit terdengar, memutus pembicaraan Tari dan Pak Wahyu.
"Paaak!" teriak Tari sambil melompat dari tempat ia duduk, lalu minta digendong Pak Wahyu.
"Auuuuuuwww...."
"Nah... yang kurasakan sangat tepat, Tari. Ingatkah kau, dan tahukah kau bunyi apa itu?"
"Ingat, Pak. Itu dari cerita Tuan Badrika. Bunyi serigaaalaaa...." katanya dengan gemetar.
"Aku harus menghadapinya, Tari. Kau, berdirilah saja di balik pohon itu," kata Pak Wahyu menunjuk sebuah pohon yang agak jauh.
Suara auman serigala tampak makin keras dan bahkan bertambah jumlahnya. Di balik pohon Tari menggigil dan memanggil-manggil, "Tuan Badrika... Si Buta Berseruling... Tuan Badrikaaa... Si Buta Berseruliiing... selamatkan kami! Selamatkan kamiii!!!"
"Hei, serigala-serigala jahanam! Keluar kalian!" begitu Pak Wahyu berteriak. Teriakannya sangat keras. Namun selama beberapa saat hanya suara auman yang kian lama kian dekat saja yang terdengar.
"Keluar kaliaaan!!!" teriak Pak Wahyu. "Dan kau, Tari, diamlah!"
Ia menghunus pedang yang telah ia ambil dari tas bawaannya. Hampir bersamaan, seekor serigala melompat ke arahnya. Untung saja serigala itu bukan berasal dari belakang, tapi sampingnya. Serigala itu melompat cukup tinggi. Pak Wahyu kini telah siap menghadapinya. Keduanya saling berhadapan kini, sama-sama melangkah pelan-pelan. "Hmmm," serigala itu menggumam seram, menampakkan sebagian giginya yang sangar. Pak Wahyu tapi tampak tak gentar.
"Majulah," kata Pak Wahyu, seolah-olah menganggap bahwa hewan keji itu bisa bicara.
Dan hewan itu pun melompat, menyerang pundak kanannya. Pak Wahyu berhasil mengelak, berguling di tanah. Selama beberapa saat kemudian, tampak keduanya saling serang dan bertahan. Dari balik pohon Tari memberanikan dirinya untuk melihat pertarungan sengit itu. Dia sangat berharap Tuan Badrika lekas datang memberikan pertolongan.
Pak Wahyu dengan lincah telah berhasil menancapkan pedangnya di leher serigala pertama. Ketika mencabut pedangnya itu, serigala-serigala lain lalu muncul. Jumlahnya ada tiga ekor, dan mereka kini sedang menatap Pak Wahyu geram, seolah-olah hendak menuntut balas kematian temannya. Pak Wahyu mundur beberapa langkah, dan kini tampak gentar.
"Tuan Badrika...," desah Tari di balik pohon. "Maukah kau datang menolong Pak Wahyu?" Ia sedih melihat pria yang hampir tua dan perutnya agak buncit itu mengumpulkan segenap taktik dan kekuatan menghadapi serigala-serigala yang ganas.
Serigala kedua melompat menerjang kaki kanan Pak Wahyu. Dengan satu gerakan cepat Pak Wahyu menyingkir, sambil sekuat tenaga menghunus pedangnya menghantam kaki serigala itu sampai putus. Tanpa pikir panjang, Pak Wahyu menusukkan pedang itu ke dalam perut serigala si kaki putus. Lolongan panjang nan pilu terdengar di udara, disusul dua lolongan lain yang menyiratkan kegeraman, dan amarah yang amat ngeri.
Seekor serigala lain menyerang dengan ganas dan cepat. Serangannya tak main-main: ia selalu membuka mulutnya untuk menerkam dada Pak Wahyu. Pak Wahyu hanya bisa menghindar. Pak Wahyu tampak gelagapan ketika seekor serigala berikutnya juga turut membantu temannya -- kali ini menyerang-nyerang tangannya.
Mungkin telah ada setengah jam Pak Wahyu bertarung melawan empat serigala ini -- dua telah terbunuh tadi. Dan kini ia terpojok, tumitnya menyentuh sebuah batang pohon. Ia bersandar, meletakkan pedang di belakang kakinya. Ya, ia sedang memancing mereka. Tertarik pancingan itu, serigala yang selalu menyerang dadanya melompat cepat. Pak Wahyu tak mengelak, namun dengan sigap menyandarkan tangan kanannya di batang pohon tempat ia bersandar, lalu memegang pedang itu dengan kedua tangannya, dan....
Pedang yang berkilauan itu masuk menusuk jantung serigala itu.
Tari berpolah seperti anak yang hendak buang air: ia menggetarkan badannya ketika melihat serigala yang ganas itu melolong dahsyat menjemput maut. Menggelikan, namun sekaligus menggetarkan: hidung serigala itu menempel di hidung Pak Wahyu!
"Pak Wahyu, awas!" kata Tari begitu melihat serigala terakhir datang mendekatinya. "Lari, Pak, lari!" katanya. Pak Wahyu segera menyingkirkan serigala yang mati sambil menciumnya itu, tapi tak sempat mencabut pedangnya. Kini, Tari benar-benar tak merasa geli! Ia takut, benar-benar takut karena melihat Pak Wahyu dikejar-kejar serigala itu. Karena lelah, akhirnya Pak Wahyu jatuh tertelungkup. Ia membalikkan badannya, dan pasrah ketika serigala itu perlahan-lahan mendekati dirinya.
Tibalah saat yang paling menggentarkan dalam hidup Tari. Ia melihat serigala itu mulai berlari kecil menuju tubuh Pak Wahyu yang terkapar. Ia lalu melompat, seakan-akan hendak mencabik-cabik tubuh pria yang telah menyalakan amarah tak terkata di dalam dadanya.
Namun, amarah dalam dada serigala itu berujung petaka.
"Wuuus... wuuus...!!!" Dua tombak dengan amat laju kini bersarang di perutnya, tembus hingga ke sisi perutnya yang lain.
Ia tak sempat melolong -- mati dalam diam. Dan kini, Pak Wahyu pingsan ketika tubuh serigala yang cukup berat itu menimpa tubuhnya.
Tuan Badrika datang. Ia melayang turun dari sela-sela pepohonan dengan sangat santai. "Kasihan, Pak Wahyu. Ayo, Tari, bantu angkat serigala sialan ini dari tubuh Pak Wahyu yang tersayang."
Tari yang masih diliputi ketakutan sekaligus kelegaan bertanya, "Ke mana saja tadi, Tuan Badrika?"
"Aku tadi juga memburu serigala-serigala yang lain. Mereka agak jauh dari sini, dan kuyakin mereka akan ke sini. Namun, kini semuanya sudah aman. Mari kita minum teh dulu malam ini. Pak Wahyu juga butuh banyak minum. Tari, ambillah air," kata Tuan Badrika sambil menyerahkan panci yang mereka gunakan untuk merebus air.
Tari menurut walau takut. Ketakutannya selalu berhasil ia kalahkan sejak ia memutuskan untuk maju, berpetualang, dan berharap menemukan keajaiban dari tiap petualangan yang ia alami kali ini.
"Tuhan, terima kasih untuk perlidunganmu bagi Pak Wahyu," katanya berbisik. Dan kini ia mengingat Nina, adiknya yang manis. Ia mampu menahan kangennya, hingga tak ada satu air mata pun yang menetes ketika panci yang dibawanya kini sudah penuh dengan air. Saat itulah ia makin sadar, bahwa ia kini sedang benar-benar ada dalam petualangan! Ia melihat pertarungan, bahaya, manusia setengah resi yang bisa terbang, dan kejadian-kejadian lainnya yang dahsyat. Betapa ia bersyukur!
Ia pun kembali kepada Pak Wahyu dan Tuan Badrika dengan sukacita.
~s.n~
Sidoarjo, 18 Februari 2009, hampir tengah malam
3 comments:
duh, ngeri amat nih ceritanya. Jadi berasa nonton film deh.
Halo pak. Nie, angel. Ceritanya lumayan serem. cerpen ini cuma selesai segini ya? Cerpennya kalau terlalu banyak dialog gak pa2 ta?
@ Angel: Hai Angel. Ini cuplikan novel yang sedang kugarap. Menurutku menarik, lalu ku-posting. Terlalu banyak dialog gpp, asal yang didialogkan penting. Tq.
Post a Comment