28.4.11

Kebobrokan yang Terselubung dalam Moralitas

Ketika Philip Yancey -- penulis terkenal itu -- masih kecil, ia mengenal seorang pria yang mengesankan. Pria itu sering dipanggil Big Harold. Ia suka mengawasi anak-anak yang riang gembira bermain di komidi putar. Ia juga meluangkan waktu bermain catur bersama mereka. Namun, di balik sikap ramahnya, Big Harold memiliki suatu sikap negatif yang parah: ia mudah menghakimi orang lain.

Ia juga membenci orang kulit hitam -- sama sekali tidak bisa toleran pada mereka. Ia mengkritik tajam segala sesuatu yang amoral dalam pandangannya lewat surat-surat yang ditulisnya. Ia berhasil menjadi seorang pendeta di sebuah gereja kecil di Afrika. Namun, di balik surat dan khotbah-khotbahnya yang menyuarakan moralitas, Big Harold ternyata menyimpan misteri lain.

Ia melakukan phone-sex, berlangganan majalah porno. Ia bahkan menggunting beberapa bagian majalah porno itu, dan mengirimkan guntingan itu kepada beberapa wanita, sambil menuliskan: "Ini yang akan kulakukan padamu." Moralitas yang begitu kuat ia suarakan dalam khotbah dan surat-suratnya ternyata tak pernah mengubah kondisi hatinya sendiri yang bobrok.

Moralitas seperti ini adalah legalisme, lawan dari anugerah. Orang yang terjebak dalam legalisme tahu hukum, tahu yang baik dan buruk, selalu tampak adil dan bijaksana, namun menjadi pribadi yang kaku dan gagal untuk mengupayakan hidup yang berkenan pada Allah. Sebaliknya, orang yang hidup dalam anugerah mengakui ketidakberdayaan dan ketidaksempurnaannya, tidak selalu tampak baik, namun selalu berusaha berkenan pada Allah dengan cara mengoreksi diri. ***

Homines sumus, non dei. (Kita manusia yang lemah, bukan dewa.)

~ Pepatah Latin ~

19.4.11

Potret Kehidupan Si Manusia Lajang

Bagi saya, film Up in the Air bukan sekedar drama komedi atau drama romantis biasa. Memang banyak bumbu romantika yang saya dapati dalam film ini. Namun, di sini saya melihat dengan utuh potret seseorang yang memutuskan hidup melajang, "menikahi" pekerjaannya yang terhitung langka. Manusia itu adalah Ryan Bingham (George Clooney) yang memilki pekerjaan sebagai tukang pecat karyawan di beberapa perusahaan besar.

Saya menduga, film ini sedikit-banyak berkaitan dengan krisis ekonomi yang terjadi di Amerika beberapa tahun silam. Banyak tenaga kerja harus dipecati oleh atasannya, karena atasannya bisa jadi sungkan melakukan hal tersebut -- apalagi pada diri anak buahnya tidak ditemukan alasan yang cukup kuat atau memadai untuk sebuah pemecatan. Akhirnya, jasa dari perusahaan Ryan dipakai perusahaan-perusahaan itu. Ryan didelegasikan pergi ke seantero Amerika, memecati karyawan-karyawan yang ditentukan oleh perusahaan-perusahaan yang memakai jasanya.

Menonton film ini saya jadi teringat seorang penulis yang mengarang buku I Married Adventures. Saya lupa siapa namanya -- ia seorang wanita yang jatuh cinta pada petualangan di tempat-tempat terpencil. Saya juga teringat Rachel Carson dalam novel The Highest Tide yang hidup melajang karena jatuh cinta setengah mati pada laut. Saya, bahkan sampai mengingat salah satu judul (kalau tidak judul film, mungkin judul buku) yang disebut Stephen King dalam memoarnya yaitu I Married a Monster from Outer Space -- hahaha, kali ini saya sedang bercanda. (Tapi sungguhan, film atau buku yang disebut King itu benar-benar ada lho.)

Intinya, begitu banyak orang yang tidak memiliki alasan bagus mengapa mereka belum juga (mau) menikah, padahal segenap keberadaan dirinya sudah membuatnya layak menikah. Pada Ryan, saya menemukan alasan yang sangat bagus dan logis: dia hidup dari pesawat ke pesawat, hotel ke hotel, dan punya pengamatan yang jeli atas kehidupan pernikahan orang-orang di sekitarnya yang dinilainya lebih banyak gagal daripada berhasil. Saya jadi teringat sebuah cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam buku kumpulan ceritanya. Di sana, seorang tokohnya berkata, "Perceraian ternyata sama indahnya dengan pernikahan itu sendiri."

Dalam beberapa kesempatan, Ryan menyampaikan ceramah yang unik berjudul What's in Your Backpack? (Apa yang Ada dalam Ranselmu?). Di ceramah-ceramahnya, secara garis besar Ryan mengemukakan pendapatnya yang lugas: sederhanakan hidupmu, tak perlu memasukkan banyak hal dalam hidupmu, tak perlu membebani hidupmu dengan apa pun. Bayangkanlah, bila hal-hal yang perlu Anda tangani hanya ada di dalam ransel yang Anda bawa pergi untuk berkelana ke mana-mana.

***

Bila film Into the Wild -- atau bolehlah juga 127 Hours -- memotret dengan jeli keresahan anak muda yang mencari jati-diri lewat petualangan-petualangan yang ekstrem dan penuh gejolak -- meminjam istilah Bang Haji Rhoma -- "darah muda", Up in the Air menyuguhkan kisah petualangan yang dilakukan seseorang sambil ia bekerja. Petualang yang ini berdasi, usianya sudah paruh baya, hidupnya sangat mewah, sosoknya begitu elegan dan percaya diri saat tampil di tiap kesempatan.

Petualang ini, Ryan Bingham, pada akhirnya juga mendapati suatu kenyataan bahwa hidup sendiri terkadang meresahkan. Suatu ketika ia bertemu dengan Alex (Vera Farmiga) yang juga sering bepergian. Jalinan asmara antara dua insan high-class pun terbuhulkan. Seperti film-film drama romantis yang lain ala Hollywood, asmara itu pun dengan mudah berakhir di ranjang, mengingatkan kita pada satu lagu dangdut yang masih ngetren: Cinta Satu Malam.

Saat bertemu dengan Alex, batin Ryan jadi kian sering bergulat: menentukan mana yang lebih baik antara terus menyendiri atau tetap melajang. Saat ini pula, seorang adiknya yang hendak menikah mengajukan permintaan yang ganjil pada Ryan:

Potret adiknya yang sedang berangkulan dengan calon suaminya diperbesar, ditempel di sebuah karton. Ryan diminta untuk membawa potret yang besar itu sehingga tas bepergiannya tidak muat. Lalu, pada tempat-tempat terkenal di Amerika yang dikunjungi Ryan, Ryan diminta untuk memfoto potret besar itu -- dengan bantuan seseorang yang memegangkan potret itu tentunya -- dengan tempat-tempat terkenal itu menjadi background-nya.

Di sinilah film ini mulai menyuguhkan sesuatu yang tampak kontradiktif dengan apa yang telah terbangun begitu mulus sejak awal. Ryan mulai terombang-ambing, mulai bimbang dengan apa yang seharusnya ia putuskan. Dalam sebuah adegan dikisahkan Ryan tiba-tiba meninggalkan ceramahnya yang unik itu tadi. Ia hendak menghampiri Alex, mengajaknya menikah. Tampak dari gelagatnya di adegan itu, ia hendak melepas pandangan-pandangannya selama ini yang eksentrik tentang kesederhanaan hidup, kebahagiaan, dan pernikahan.


Namun, malangnya -- bisa juga justru beruntungnya -- ia mendapati Alex sudah bersuami dan memiliki anak. Ya, hubungan mereka berdua yang hanya terjadi beberapa kali tak menyingkap jati-diri Alex yang sebenarnya. Setelah itu -- inilah yang membuat saya ragu Ryan merasa malang atau beruntung -- saya bingung melihat ekspresi Ryan: ia tampak sedih, namun juga tampak santai saja, setelah ia mendapati keadaan Alex yang telah menikah itu.

***

Jason Reitman, sang sutradara, yang sebelumnya menggarap film Juno, tampaknya berupaya menyuguhkan pandangan yang jernih atas keputusan yang ditetapkan seseorang setelah ia bergulat sekian lama. Ia tak buru-buru, dan terjebak pada generalisasi yang kaku: mengisahkan perubahan drastis pada diri seseorang untuk menerima apa yang telah berlaku secara umum di masyarakat -- dalam hal ini orang dewasa sebaiknya dan sewajarnya menikah -- seperti yang tampak pada film My Big Fat Greek Weeding, misalnya.

Seperti Juno yang batinnya bergulat hebat ketika remaja 16 tahun ini harus mengandung bayi akibat sebuah hubungan seks iseng, Up in the Air juga mengajak kita untuk memahami sosok Ryan yang unik, yang bahkan di usianya yang telah paruh baya dilanda kebimbangan.

Kehidupan seseorang yang sudah mapan, sejahtera, dan juga sehat, di dalam anggapan masyarakat pada umumnya memang pantas diimbangi dengan pernikahan yang baik. Namun, sekali lagi saya nyatakan, Ryan memiliki banyak alasan yang bagus untuk bertahan hidup melajang dan bertualang sembari bekerja. Namun, pertanyaannya: sampai berapa lama alasan-alasan yang bagus itu bisa dipertahankan, ketika kesepian akibat kesendirian begitu susah ditepis?

Hanya Tuhan yang tahu -- oh, apakah itu alasan yang bagus? Entahlah.

***

Sidoarjo, 18-19 April 2011
Sidik Nugroho, penikmat film

Catatan: Saya juga sempat membuat ulasan atas film Juno. Silahkan mampir bila sudi dan sempat. Ini link-nya: Resensi Juno. Saya juga membuat ulasan film Into the Wild: Resensi Into the Wild