4.11.10

Daya Tahan Penulis Opini

Tony Widiastono, mantan redaktur opini harian Kompas, bercerita kalau suatu ketika ia mendapat kiriman e-mail dari seorang penulis yang gigih luar biasa. "Ini adalah tulisan saya yang ke-150," kata penulis itu. "Saya sudah mengirim 149 opini selama ini. Bila naskah ini pun tetap ditolak, saya tak akan pernah berhenti menulis." E-mail itu serta-merta membuat Pak Tony terpana. Ia pun membalas e-mail itu, menyertakan beberapa pengarahan yang penting untuk diperhatikan si penulis.

Inilah kisah yang disampaikan Pak Tony dalam seminar Guru Menulis di Media Massa yang dihelat Kompas, Surya, dan Ikatan Guru Indonesia (IGI) pada tanggal 31 Oktober 2010 lalu di gedung PDAM Surabaya. Dalam ceritanya, ada satu pengarahan yang diberikannya kepada penulis itu, yang penting untuk disimak bersama. Itu berkaitan dengan fokus penulis yang perlu diasah oleh setiap penulis pemula.

Bapak Sunarko, Wakil Pimpinan Redaksi Surya, yang turut menjadi pemateri juga menegaskan kalau seorang penulis pemula perlu memiliki self-branding yang baik. Self-branding ini adalah proses yang terbentuk lewat proses yang cukup lama karena si penulis terus bertekun dan melakukan penelusuran yang mendalam atas suatu tema, atau bahkan sub-tema yang spesifik. "Semakin spesifik tema dan bahasan tulisan Anda, maka Anda akan menjadi penulis yang membangun self-branding yang baik."

Hal ini dapat dilihat dengan para tokoh yang kemudian dikenal luas karena sering menulis tema yang sama seperti Effendi Ghazali (komunikasi-politik), J. Sumardianta (resensi buku), atau Samuel Mulia (parodi dan gaya hidup). Para penulis ini dikenal luas karena sejak awal telah membangun dunia atau bidang penulisan yang khusus. Begitulah para penulis dan karya-karyanya bisa sedemikian besar merebut hati para pembaca: mereka menelurkan dan mengurai gagasan yang unik.

Namun, perlu diingat, bahwa tiap penulis pasti pernah mengalami kegagalan. Apalagi para penulis artikel opini, sebuah tulisan dengan usia pendek. Berbeda dengan karya yang tak harus memuat isi yang aktual seperti cerpen atau puisi, atau resensi buku yang mungkin masih bisa dibuat setelah setengah tahun bukunya terbit, opini adalah tulisan yang dibuat berdasarkan pengamatan atas situasi yang aktual dan masih hangat diperbincangkan. Bukan hanya aktual, opini tak jarang juga membutuhkan riset berupa pemikiran tokoh lain atau data-data pendukung.

Baik Pak Tony, Pak Sunarko, bahkan Ibu Endah Imawati (redaktur opini harian Surya) yang turut pula menjadi pemateri, bersaksi bahwa artikel opini yang dikirim ke desk redaktur bisa mencapai puluhan dalam sehari. Resiko tulisan ditolak tentunya tak terabaikan. Karena itu, para penulis opini perlu memiliki daya tahan yang lebih tinggi dibandingkan penulis cerpen dan puisi, misalnya. Cerpenis yang karyanya ditolak bisa mengirimkan karyanya ke koran atau majalah lain; sementara penulis opini yang karyanya ditolak, karyanya yang bersifat aktual itu akan basi bila dicobanya untuk dikirimkan ke media lain -- karena tema yang aktual mudah berganti dalam hitungan hari. ***

Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penulis lepas

1.11.10

Dua Refleksi Film (Catatan Lawas)

1. Men of Honor

Sutradara: George Tillman Jr.
Pemain: Robert De Niro, Cuba Coding Jr.

Sulit melupakan akting dari Robert De Niro dan Cuba Gooding, Jr. dalam Men of Honor! Banyak adegan menyentuh dalam film ini yang tak terlupakan. Ini adalah film yang berangkat dari kisah nyata tentang penyelam-penyelam Angkatan Laut Amerika. Di dalam film ini Robert De Niro berperan sebagai Leslie William Sunday dan Cuba Gooding, Jr. sebagai Carl Brashear.

Billy (William) Sunday semula berkedudukan sebagai Master Chief. Beberapa kasus kekerasan yang dilakukannya membuat ia mendapatkan hukuman dan diturunkan pangkat. Ia bertemperamen keras dan liar. Ia suka berkelahi dengan istrinya yang cantik, Gwen (Charlize Theron). Sedangkan Carl Brashear adalah seorang pemuda kulit hitam tegar yang berpegang pada komitmennya untuk menjadi penyelam. Di film ini, ia selalu terlihat teguh dan tenang saat menghadapi segala perlakuan buruk yang diterimanya.

Kita bisa belajar tentang makna iman dari film ini. Iman berarti pantang menyerah! Dan, iman itulah yang dimiliki Carl Brashear sehingga ia pada akhirnya bisa menjadi penyelam. Untuk mencapai semua ini ia harus mengalami konfrontasi dengan rekan-rekan sependidikannya di Sekolah Selam (U.S. Navy Dive & Salvage School) di Bayonne, New Jersey, yang semua memusuhinya kecuali Snowhill (Michael Rapaport) yang gagap; karena saat itu tak ada satupun orang Negro yang memiliki kesempatan untuk menjadi penyelam! Ia juga harus sabar menghadapi Billy Sunday yang keras. Ia harus menghadapi Jo, gadis yang akhirnya dinikahinya karena kurang setuju bila Carl menjadi penyelam. Saat menempuh pendidikan selam, ia kehilangan ayah tercintanya yang berwibawa dan sangat dihormatinya. Pendeknya, ia mengalami 1001 halangan!

Halangan terbesar yang dihadapi Carl untuk tetap menjadi penyelam adalah saat ia mengalami kecelakaan yang membuat kaki kirinya harus dipotong dan mengenakan kaki palsu. Ini terjadi setelah ia menjadi pahlawan karena menemukan hulu ledak seberat 50 megaton di lautan pesisir Spanyol. Karena kecelakaan ini, Kapten Hanks (David Conrad) menyatakan supaya ia beristirahat sebagai penyelam. Namun, ia tak mau dan bersikeras tetap menjadi penyelam.

Tekad ini harus dibayar dengan harga yang mahal! Di pengadilan, Carl diijinkan kembali menjadi penyelam hanya bila ia mampu berjalan sebanyak 12 langkah dengan mengenakan pakaian selam seberat 290 pon! Nah, inilah bagian yang paling menyentuh dalam film ini. Didampingi Billy, Carl akhirnya mampu menyelesaikan 12 langkahnya dengan gemilang! (Jangan lewatkan dialog menarik antara Carl dan Kapten Hanks serta pemberian hitungan 12 langkah oleh Billy yang diselingi teriakan-teriakan untuk memberi semangat kepada Carl!)

Dua tahun setelah kejadian ini, Carl akhirnya menjadi orang Negro pertama yang berpangkat Master Diver dalam Angkatan Laut Amerika. Ia membuat sejarah sebagai orang pertama yang diamputasi dan tetap bekerja sebagai penyelam yang bekerja penuh selama 9 tahun berikutnya.

Dicaci maki, ditolak dan diperlakukan tidak adil telah menjadi bagian hidup Carl Brashear semasa ia memperjuangkan cita-citanya menjadi penyelam. Namun, ia bertahan dan tetap berpegang pada komitmen dan terus berjuang dengan gigih. Kira-kira apakah yang membuatnya berlaku demikian? A-S-N-F. Empat huruf yang diukir ayah Carl pada sebuah radio yang ia rakit sendiri. A Son Never Forgets (Seorang anak lelaki yang tidak akan terlupakan). Radio ini ia berikan kepada Carl saat ia meninggalkan keluarganya untuk menjadi penyelam. Saat itu ia berpesan supaya Carl jangan menjadi sama dengannya: petani miskin yang bekerja untuk orang lain dari Sonora, Kentucky.

Bagaimana dengan Anda? Apa tujuan hidup Anda dan sudahkah Anda berjuang keras mencapainya? Bila belum, baiklah kita belajar dari film ini agar di dalam mencapai tujuan hidup kita... tak akan menyerah! ***

(Sidik Nugroho, Malang, 12 Februari 2004)

2. Awakenings

Sutradara: Penny Marshall
Pemain: Robert De Niro, Robin Williams, Julia Kavner

"Hal-hal yang terindah dalam dunia ini tidak bisa dilihat atau disentuh, namun dirasakan dalam hati," demikianlah kata Helen Keller, seorang pengacara terkenal yang tuli dan juga buta. Hal yang sama berlaku dalam film ini.

Film Awakenings mengisahkan perjuangan seorang dokter bernama Malcolm Sayer (Robin Williams) di dalam menangani pasien yang mengalami gangguan syaraf akut (post-encephalitic). Penyakit ini membuat orang yang mengalaminya tidak bisa melakukan apa-apa dan harus dibantu oleh orang lain bila melakukan sesuatu. Kebanyakan, mereka yang menderitanya hanya bisa duduk diam di atas kursi roda. Gejalanya seperti penyakit Parkinson, namun lebih parah. Dalam pekerjaannya, Dr. Sayer dibantu dengan Eleanor Costello (Julia Kavner) yang setia. Ia bekerja di Chronic Hospital di Bronx.

Suatu hari di musim panas tahun 1969 kejaiban terjadi. Seorang kimiawan datang ke Chronic Hospital dan di hadapan dokter-dokter di sana, ia mempresentasikan tentang kemungkinan kesembuhan akibat pemberian suatu ramuan kimia bernama L-Dopa. Ramuan ini akhirnya digunakan sebagai percobaan pada Leonard Lowe (Robert De Niro). Keesokan harinya, Leonard sembuh! Ia melakukan apa yang paling suka dilakukannya sejak kecil: menulis namanya, Leonard.

Pemberian obat akhirnya diberikan kepada lima belas orang pasien, dan keajaiban terjadi: mereka semua sembuh! Mereka semua diajak berjalan-jalan dan bersenang-senang.

Satu peristiwa yang tidak kalah menarik adalah tumbuhnya cinta di dalam hati Leonard terhadap seorang gadis cantik bernama Paula (Penelope Ann Miller). Gadis ini dengan setia mengunjungi ayahnya dan membacakan kisah-kisah olahraga buat ayahnya yang mengalami sakit hampir serupa (karena sebelum sakit, ayahnya sangat menyukai olahraga).

Nah, inilah bagian yang paling menyentuh buat saya. Waktu itu, Paula hendak meninggalkan Leonard di rumah sakit karena jam kunjungan sudah berakhir. Kata-kata terakhir yang diucapkan Leonard kepadanya, "Ayahmu tahu. Ayahmu tahu kalau kau mengunjunginya." Lalu, Paula meninggalkannya.

Sayang, pengaruh L-Dopa hanya berlangsung selama musim panas di tahun 1969. Setelah itu, mereka semua kembali dalam keadaan yang semula. Mereka semua hanya bisa duduk diam di atas kursi roda. Menyedihkan. Namun, memang demikian yang terjadi -- film ini berangkat dari kisah nyata.

Sebelum film ini berakhir, Dr. Sayer menyampaikan pidatonya. Ia berkata bahwa, "Jiwa manusia lebih kuat dari pada obat manapun dan itulah yang harus dipelihara." (Human spirit is more powerful than any drugs and that was must be nursed.) Leonard telah mengatakan kepada Paula bahwa orang-orang yang sakit seperti ayahnya bisa merasakan kehadiran orang lain yang memberikan kasih sayang dan perhatian. Ketenangan jiwa atau hati manusia karena kasih dari orang lain di dalam kasus seperti ini lebih penting daripada obat. Helen Keller benar, yang terindah (bagi beberapa orang) mungkin tidak bisa dilihat dan disentuh, namun bisa dirasakan dalam hati. ***

(Sidik Nugroho, Malang, 25 Januari 2004)

Catatan: Saya sempat lupa pernah membuat catatan kecil atau refleksi atas dua film ini. Terima kasih buat Mas Arie Saptaji yang sudah sharing link-nya. Dulu, dua catatan ini dipublikasikan di website yang keren: www.geocities.com/denmasmarto. :-D