26.10.10

Tua-tua Keladi yang Tak Kunjung Tua

Menjelang jam empat dini hari, Frank Moses (Bruce Willis), seorang pensiunan CIA, terbangun dari tidurnya. Seperti hari-hari lainnya, ia tampak kurang bersemangat menjalani hari ini. Hidupnya agak berseri dengan kehadiran seorang wanita yang belum pernah ia temui bernama Sarah Ross (Mary-Louise Parker), seorang pegawai di kantor pensiunan. Selama beberapa waktu mereka saling bicara lewat telepon untuk hal-hal yang pribadi, bukan hanya soal kiriman uang pensiun.

Di dini hari ini, segerombolan orang tak dikenal menyerang rumahnya secara tiba-tiba. Tiga orang menyusup diam-diam ke dalam rumahnya. Dengan tangkas Frank mengalahkan mereka bertiga, bahkan para penyerang lain yang berada di luar rumahnya. Strategi yang dipakai Frank dalam mengalahkan musuh-musuhnya sungguh tak terduga -- salah satunya memanaskan beberapa peluru senapan di atas panci penggorengan sehingga menimbulkan ledakan seperti orang sedang berbaku-tembak. Ya, tembak-menembak terjadi begitu bising di awal film ini.

Rumah Frank yang berada di Cleveland amburadul, nyaris runtuh total. Ia pun pergi ke Kansas, menuju ke rumah Sarah. Sarah terkejut dengan kedatangan Frank yang tiba-tiba. Frank bahkan menyatakan bahwa ia sedang diburu oleh orang-orang yang berniat membunuhnya. Sarah kaget bukan kepalang, tak menduga pertemuan pertamanya dengan Frank menjadi seperti ini. Tanpa penjelasan panjang-lebar, Sarah kemudian "diculik" oleh Frank demi keamanan mereka bersama. Frank membawa Sarah menemui beberapa teman lamanya untuk menyingkap motif di balik penyerangan terhadap dirinya.

Sampai di sini, RED menyuguhkan kisah yang sangat menghibur untuk diikuti. Walaupun memuat berbagai kisah persekongkolan dari hasil rekaan, adegan demi adegan yang ditampilkan lebih banyak menghibur daripada membebani penonton untuk mengetahui siapa dalang di balik semua konflik ini. Persekongkolan yang dibangun di film ini bahkan sampai melibatkan rencana pembunuhan wakil presiden. Persekongkolan yang mengingatkan saya pada sebuah film lain, Salt.

Aktor dan aktris yang berlaga di film ini juga menyuguhkan akting yang apik. Selain Sarah, ada sederet tokoh lain yang berjuang menyelamatkan Frank dari orang-orang yang memburunya. Ada Victoria (Helen Mirren) yang begitu kalem namun sering juga beringas. Ada juga Joe (Morgan Freeman), Marvin (John Malkovich), dan Ivan (Brian Cox) yang sering tampil kocak dan tak terduga.

Tokoh-tokoh yang sudah tua ini (kecuali Sarah Ross) bergabung menjadi sebuah tim yang harus berhadapan dengan seorang agen CIA, William Cooper (Karl Urban). Anggota tim Frank ini adalah teman-temannya di tahun 80-an dulu. William diperintahkan untuk memburu Frank dan beberapa orang lain yang menjadi saksi peristiwa pembunuhan massal di Guatemala pada tahun 1981 yang dilaporkan seorang wartawan New York Times.

Film yang diadaptasi dari novel grafis ini membuat saya serta-merta teringat pada Danny Ocean dan timnya dalam tiga film Ocean's Eleven, Ocean’s Twelve, dan Ocean's Thirteen. Kemiripan di antara keduanya adalah banyaknya adegan yang berisi kejutan tak terduga ketika para jagoan beraksi mengecoh musuh.

Film lain yang saya ingat adalah Expendables yang juga kurang-lebih bertema cerita sama. Para jagoan di kedua film ini juga berlatar-belakang sama. Mereka adalah orang-orang yang sudah tua – atau sedang beranjak tua -- yang terlambat menikah atau memang tak bisa menikah karena tuntutan tugas. Tingkah-polah tim yang beranggotakan orang-orang tua yang dibentuk Frank ini seolah-olah hendak menggarisbawahi bahwa usia tua tak pernah menghalangi cinta untuk tumbuh atau bersemi kembali. Dan usia tua juga tak pernah menjadi halangan untuk bisa tampil kocak, liar, dan tak terduga.

Itulah yang terjadi pada Frank, yang kepadanya judul film ini ditujukan: RED (Retired: Extremely Dangerous). Walaupun sangat berbahaya dan liar, Frank juga sosok yang romantis. Ia mendapati cintanya bersemi lagi ketika menelepon Sarah berulang-ulang untuk menanyakan cek pensiunnya. (Ia sengaja merobek beberapa cek pensiunnya agar bisa menelepon Sarah lagi dan lagi.) Itu juga yang dialami Ivan dan Victoria -- cinta mereka bersemi kembali ketika mereka terlibat dalam misi yang dihelat oleh Frank ini.

Dan, usia memang tak pernah menjadi penghalang bagi Marvin untuk (tetap) menjadi seorang penembak yang jitu. Dalam sebuah adegan, ditampilkan Marvin beradu tembak dengan seorang wanita yang memanggilnya Old Man. Dongkol dengan panggilan itu, wanita yang menggunakan senjata yang lebih canggih dan besar ditantangnya beradu tembak dengan sebuah pistol kecil yang ia miliki. Ketika mereka sama-sama menembak, kedua peluru yang ukurannya berbeda jauh bertemu di udara. "Duar!" Ledakan terjadi. Si wanita itu terbakar, lalu lenyap terkena ledakan.

Sebuah film kadang memuat pesan dan kritikan tingkat tinggi, menantang pikiran kita untuk menelusuri berbagai pelik dan kemelut yang terjadi atas suatu masyarakat atau bangsa. Namun ada juga yang tampil tanpa ambisi politis atau tendensi khusus lainnya, tak juga memuat berbagai sindiran dan bersusah-payah merepresentasi keadaan masyarakat. Nah, RED adalah jenis yang kedua. Kita hanya perlu menyimaknya dengan duduk rileks sambil sering tertawa dan menyadari: para tua-tua keladi di film ini memang tak pernah ingin menjadi tua. (*)

Sidik Nugroho, penikmat film

***

Judul film: RED
Sutradara: Robert Schwentke
Pemain: Bruce Willis, Mary-Louise Parker, Morgan Freeman, John Malkovich, Helen Mirren
Skenario: Jon Hoeber dan Erich Hoeber (Berdasarkan novel grafis karya Warren Ellis dan Cully Hamner)
Tahun rilis: 2010

18.10.10

Rekam-Jejak Pengembaraan Buku 2008-2010

Sekitar awal tahun 2008, niat untuk mengulas sebuah buku mulai muncul dalam diri saya. Niat itu muncul karena sebelumnya saya suka membuat semacam catatan reflektif setelah menonton film. Ya, karena tak tahu banyak dengan hal-hal yang berhubungan dengan hal-hal teknis perfilman, sampai sekarang saya lebih suka menyebut catatan yang saya buat tentang film sebagai suatu refleksi berdasarkan film, bukan ulasan film. Melihat ulasan-ulasan di majalah film seperti Cinemags atau Movie Monthly saya yakin kalau catatan saya tentang film memang belum pas disebut ulasan film.

Nah, pada saat berhadapan dengan buku, saya tak menemukan banyak hal teknis yang terlalu membebani saya untuk mengulasnya. Kebetulan, beberapa tahun silam saya juga pernah membeli buku karya Daniel Samad yang berjudul Dasar-dasar Meresensi Buku. Setelah menemukan buku ini (kalau tidak salah sekitar tahun 2005-2006), saya pernah meresensi dua buku yaitu Di Bawah Sinar Lampu Merkuri karya Slamat P. Sinambela dan Diciptakan Seperti Sebuah Tarian karya Arie Saptaji untuk saya pajang di situs gratisan Geocities (fasilitas dari Yahoo!). Namun, saya tak banyak menekuni resensi buku. Saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menulis renungan atau refleksi berdasarkan film.

Tak seperti film, buku membuat saya lebih nyaman menyusun sebuah ulasan. Tantangan pertama datang dari guru menulis saya, Arie Saptaji. Dia bilang kalau saya sempat, buatlah sebuah resensi untuk sebuah bukunya, Warrior: Sepatu untuk Sahabat. Selama beberapa hari kemudian saya membaca buku itu, lalu meresensinya. Saya mencoba untuk mempublikasikan resensi itu di koran, tapi gagal dimuat.

Kegagalan itu mendorong saya untuk meresensi buku lebih baik lagi. Saya akhirnya bertemu dengan tiga guru lain, para resensor, yaitu Nur Mursidi, Hernadi Tanzil, dan Iqbal Dawami. Saya membaca dan mempelajari resensi-resensi mereka di blog mereka masing-masing. Saya belajar bagaimana cara mengirimkan resensi yang baik ke koran. Saya juga belajar satu hal yang menyenangkan, yaitu bagaimana memohon kiriman buku ke penerbit untuk dikirimkan buat saya, agar saya tidak selalu membeli buku yang mau diresensi. Saya jadi lumayan sering dapat buku gratis -- asyik lho!

Nah, sejak awal tahun 2008 hingga Oktober 2010, inilah buku yang pernah saya buatkan resensi. Judul-judul di bawah ini tidak saya susun berdasarkan waktu pembuatan resensi, tapi secara acak. Bila berminat membaca, semua resensi ini dapat Anda temukan di blog saya, atau silahkan googling saja.

Buku-buku Fiksi:

1. Warrior, Sepatu untuk Sahabat - Arie Saptaji
2. Novel Pangeran Diponegoro, Menggagas Ratu Adil - Remy Sylado
3. Pria Cilik Merdeka - Terry Pratchett
4. My Life as a Fake - Peter Carey
5. Kembang Jepun - Remy Sylado
6. Ma Yan - Sanie B. Kuncoro
7. Gajah Sang Penyihir - Kate DiCamillo
8. Tangan untuk Utik - Bamby Cahyadi
9. Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia - Agus Noor
10. Garis Perempuan - Sanie B. Kuncoro
11. Kumpulan Budak Setan - Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad
12. Ciuman di Bawah Hujan - Lan Fang
13. Teman Empat Musim - Ida Ahdiah
14. Bob Marley - Kumpulan cerita Sriti.com
15. Mata Keenam - Melody Carlson
16. Guardians of Ga'Hoole (Diculik!) - Kathryn Lasky
17. Olenka - Budi Darma
18. Rani dan Tiga Harta Peri (Tinker Bell) - Kimberly Morris
19. Demi Allah, Aku Jadi Teroris - Damien Dematra
20. The Highest Tide - Jim Lynch
21. Life of Pi - Yann Martel
22. Sang Pencerah - Akmal Nasery Basral

Buku-buku Nonfiksi:

1. Pacaran Asyik dan Cerdas - Arie Saptaji
2. Simply Amazing - J. Sumardianta
3. I Can (Not) Hear - Feby Indriani dan San C. Wirakusuma
4. Cita-cita - Iqbal Dawami
5. Dari Kepompong Menjadi Kupu-kupu - H.D. Iriyanto
6. Peta 50 - Tempat Makan Makanan Favorit di Malang - Haryo Bagus Handoko
7. Mendongkel Yesus dari Takhta-Nya - Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace
8. Sukses Wirausaha Laundry di Rumah - Haryo Bagus Handoko
9. It's a Wonderful Life - Arie Saptaji
10. Amira and Three Cups of Tea - Greg Mortenson
11. Darah-Daging Sastra Indonesia - Damhuri Muhammad
12. The Power of Creativity - Peng Kheng Sun

Tiap buku memiliki kekhasan masing-masing. Ada buku yang begitu menyentuh seperti I Can (Not) Hear, It's a Wonderful Life, Teman Empat Musim atau Garis Perempuan. Ada buku yang tegang, imajinatif, dan membuat penasaran seperti Kumpulan Budak Setan, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, Olenka, Tangan untuk Utik, atau Life of Pi. Ada yang begitu inspiratif seperti Cita-cita dan Amira and Three Cups of Tea. Ada yang begitu ringan seperti dua buku yang ditulis oleh Haryo Bagus Handoko. Ada juga yang lumayan berat dicerna dan menantang seperti Ciuman di Bawah Hujan, Darah-Daging Sastra Indonesia, atau Mendongkel Yesus dari Takhta-Nya. Ada juga yang isinya campur-baur, namun tiap bagiannya memiliki keasyikan dan kenikmatan yang berbeda ketika dibaca seperti Bob Marley. Tidak bisa saya sebutkan semua kesan saya untuk semua buku di atas. Silahkan mampir ke resensi-resensi saya bila hendak tahu lebih jauh buku yang pernah saya ulas.

Masih ada enam buku, yaitu Keep Your Hand Moving karya Anwar Holid, The Ninth karya Ferenc Barnas, Beginning Theory karya Peter Barry, Bulan Celurit Api karya Benny Arnas, Musim yang Menggugurkan Daun karya Yetti A.Ka dan sebuah buku kumpulan puisi delapan penyair muda (disunting oleh Pringadi Abdi Surya) berjudul Teka-teki tentang Tubuh dan Kematian yang resensinya sudah saya buat, sedang saya buat, atau sedang saya rencanakan untuk diresensi sampai akhir Oktober. Buku yang sudah saya resensi belum bisa saya tampilkan secara online karena beberapa pertimbangan.

Dari pengalaman ini, saya beranggapan kalau meresensi buku tak selalu mudah. Kadang melelahkan. Saya mengindahkan prinsip yang dimiliki oleh Hernadi Tanzil, guru saya itu. Ia berkata suatu waktu kepada saya saat kami chatting, "Saya tidak akan meresensi buku sebelum saya selesai membacanya." Buku yang tebalnya ratusan halaman, dibaca beberapa minggu, lalu dibuatkan resensinya, belum tentu dimuat koran. Membacanya saja kadang melalahkan bila kondisi pikiran dan tubuh lagi tak menentu. Belum lagi mendapat kenyataan kalau resensi itu ditolak. Tapi, itulah yang sering saya alami: resensi yang sudah saya buat di atas lebih banyak yang ditolak koran daripada yang dimuat. Mungkin analisis saya kurang tajam, atau bahasanya kurang mantap, atau apalah. Yang jelas dan pasti, keputusan memuat resensi ada di redaktur koran, dan mereka yang lebih tahu jawaban mengapa sebuah resensi layak dimuat atau ditolak.

Namun, terlepas dari semua penolakan yang pernah saya terima, saya menganggap meresensi buku sebagai pekerjaan yang mengasyikkan. Saya suka melakukannya di warung kopi. Ruang kamar kos saya kadang begitu tampak membosankan: empat tembok yang sama selalu saya hadapi. Di warkop ada suasana berbeda yang asyik buat meresensi buku. Nah, pekerjaan apa lagi yang dapat saya lakukan di warkop selain meresensi buku -- daripada tengak-tenguk seperti orang stres?

Oya, satu hal yang terakhir, gara-gara saya suka meresensi buku-buku sastra sejak awal tahun ini, beberapa orang menjuluki saya esais, bahkan ada yang menyebut saya kritikus sastra. Duh, rasanya kok berat ya julukan itu? Jujur, saya tidak tahu apa beda esai, kritik, atau resensi. Identitas yang saya cantumkan di akhir resensi biasanya "Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo", atau "pembaca dan penikmat sastra Indonesia". Bagi saya, tulisan yang saya buat sebagai ulasan atas sebuah karya sedapat mungkin saya ulas dengan apreasiasi dan timbangan yang memadai. Bila ada wacana dan ilustrasi yang termuat di dalamnya (yang tampaknya menjadi salah satu syarat bagi esai atau kritik), saya menganggap itu sebagai selingan atau pemanis ulasan.

Bulan depan, rencananya saya akan berhenti meresensi buku dulu. Saya ingin melakukan variasi sedikit. Seperti yang saya sebutkan, kadang melelahkan mencerna sebuah karya, mengapresiasinya, lalu menganalisisnya. Mungkin sampai bulan Maret 2011, saya berhenti sejenak mengulas buku, dan beralih mengerjakan karya-karya kreatif saya sendiri yang belum saya ketahui apa itu -- mungkin menulis cerpen, puisi, novel, atau buku, atau apalah yang lainnya.

Demikianlah catatan ini dibuat. Kiranya dunia perbukuan dan sastra Indonesia selalu marak dengan ulasan dan apresiasi dari para pembacanya.

Malang-Sidoarjo, 17-18 Oktober 2010
Sidik Nugroho

16.10.10

Potret Pengucapan Syukur yang Bersahaja

Judul buku: It's a Wonderful Life
Penulis: Arie Saptaji
Penerbit: Gloria Graffa
Tebal: 184 halaman
Cetakan pertama, 2010

"Les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis."

~ Victor Hugo

"Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan," demikian yang tertulis dalam buku klasik karya Victor Hugo, Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati. Hidup adalah kefanaan, dan tiap manusia tidak pernah tahu kapan menjemput ajalnya masing-masing. Sayangnya, tak jarang begitu banyak orang yang menyia-nyiakan hidupnya karena merasa mendapat banyak hal yang tidak pantas.

Kekecewaan, kehilangan dan segala kepahitan yang dialami seseorang bisa terjadi sedemikian parah. Tak jarang, segala hal tak baik tersebut membuat seseorang memutuskan mandek untuk meraih hal yang berharga dalam hidup ini, bahkan mengakhiri hidupnya. Lewat bukunya, Arie Saptaji ingin menunjukkan hal-hal yang semestinya membuat kita bersyukur.

"It's a wonderful life," kata-kata yang menjadi judul buku ini sama persis dengan judul sebuah film klasik yang melegenda. Kisahnya tentang seorang bankir, George Bailey, yang hampir kehilangan segalanya karena hutang dan kealpaan asistennya. Semasa kecil ia juga mengalami kecelakaan yang membuat sebuah telinganya tuli. Di masa muda ia juga mengurungkan niat untuk menjelajah dunia karena ayahnya menghendaki ia meneruskan bisnis keluarga.

Namun, keluarga yang ia miliki adalah anugerah terbaiknya. Titik balik terbesar dalam hidupnya ia dapatkan ketika menyadari betapa istri, keempat anaknya dan orang-orang di sekelilingnya adalah anugerah-anugerah yang tak bisa ditukar dengan apa pun. Nah, seperti George Bailey yang tak luput dirundung malang, Arie Saptaji mengisahkan banyak hal yang pribadi dalam bukunya ini: hal-hal yang membuat hidupnya pantas disyukuri.

Dalam sebuah bagian, Arie mengisahkan Amadeus Aaron, anaknya yang meninggal hanya lima jam setelah ia lahir prematur. Dengan lugas dan tegar Arie menuliskan catatan dan renungannya tentang kepergian Amadeus yang mendadak dan tidak diharapkan siapa pun. "Sepanjang kebaktian penghiburan, saya hanya bisa menatap langit Yogya yang biru cerah bertabur serpihan awan putih," tulisnya dengan lirih dan indah. Di masa lalu, seorang penyair terkenal bernama J.E. Tatengkeng juga menuliskan puisi yang begitu lirih atas kepergian anaknya yang baru saja lahir:

Anak kami Tuhan berikan
Anak kami Tuhan panggilkan
Hati kami Tuhan hiburkan
Nama Tuhan kami pujikan

Seperti itulah sebuah potret pengucapan syukur yang Arie suguhkan. Tulisannya membuat kita terpana dan merenung: betapa kehidupan dapat ditilik dari sisi yang lain. Tulisannya membuka mata batin yang tertutup oleh kedegilan hati, dan menjelaskan daya lihat kita yang kabur untuk memahami maksud dan rencana Tuhan.

Dalam bagian-bagian lain Arie mengisahkan dan mengajak pembaca merenungkan banyak hal seputar kehidupan sehari-hari dalam keluarga: hal-hal yang bersahaja dan terkesan remeh-temeh seperti bagaimana memilih tayangan yang baik di televisi, meluangkan waktu berjalan-jalan bersama anak-anak, mensyukuri berkat yang diberikan Tuhan dalam keluarga lewat pekerjaannya sebagai seorang penulis dan penerjemah.

Ibarat lagu, apa yang Arie tuliskan sama seperti yang pernah dinyanyikan Welyar Kauntu, "Bila Engkau tak besertaku, kami tak mau berjalan. Kuperlu Tuhan pimpin langkahku dengan kasih karunia-Mu." Nyanyian yang dikembangkan dari beberapa ayat di Keluaran 33 ini mewakili butir-butir renungan yang Arie sampaikan.

SELAIN hal-hal di atas, Arie juga menceritakan sebuah kisah yang menggugah tentang pertemuannya dengan sahabatnya di dalam penjara. Sahabatnya ini adalah salah satu contoh kegigihan hidup yang nyata. Ia mengingatkan kita pada sosok Rubin Carter yang diperankan Denzel Washington dalam film Hurricane. Di dalam penjara si sahabat ini tidak mandek dan bersedih hati. Ia malah suka menulis. Suatu hari ia menulis sebuah resensi atas buku The Impact (karya Arie Saptaji juga) dan menjadi pemenang.

Ada tiga hal lain dalam buku ini yang awalnya terasa agak melenceng dari bagian-bagian lain. Itu adalah bagian tentang Paskah, Natal, dan Kenaikan Kristus. Terasa agak melenceng, karena tiga bagian ini tak membahas hal-hal yang terjadi sehari-hari. Terutama pada bagian tentang Kenaikan Kristus, Arie menghadirkan bahasan yang agak teologis.

Namun, dengan menyertakan bagian-bagian ini, agaknya Arie hendak menggarisbawahi bahwa kelahiran, kematian-kebangkitan dan kenaikan Kristus adalah peristiwa-peristiwa yang penting. Dari ketiganya kita memperoleh alasan mengapa kita perlu senantiasa bersyukur dalam hidup dan yakin bahwa nantinya, setelah kita menjalani kehidupan yang fana ini, ada upah yang akan kita terima dalam kerajaan Allah dan kehidupan kekal.

BEGITULAH Arie Saptaji menyampaikan catatan-catatannya yang reflektif tentang kehidupan. Di antara dua puluh lebih buku lain yang sudah ia tulis, baru buku ini yang terasa begitu pribadi. Di dalamnya juga ada foto-foto pribadi yang disertakan: foto keluarga, foto pernikahan, foto ketika ia mengantar anaknya bersekolah, juga foto ketika ia menimang Amadeus Aaron, putranya yang telah tiada.

"Lewat hidupmu yang hanya lima jam, engkau memperlihatkan betapa kasih Allah itu adalah gunung kekuatan kita. Kami akan meneruskan perjalanan. Di depan tak ayal masih akan ada badai," demikian beberapa bagian "surat perpisahan" yang Arie tuliskan untuk Amadeus Aaron.

Dum vita est, spes est. Ketika masih ada kehidupan, di situ pula masih ada harapan, demikian Cicero pernah menulis suatu ketika. (*)

Sidoarjo, 1-2 Oktober 2010

1.10.10

Fabel yang Digarap Penuh Kesungguhan

Judul Buku: Guardians of Ga’ Hoole (Diculik!)
Penulis: Kathryn Lasky
Penerjemah: T. Dewi Wulansari
Tebal buku: 338 halaman
Cetakan pertama, 2010

Aku telah menyelamatkan diriku dengan memberi kepercayaan kepada sayap-sayap muda. Terberkatilah mereka yang percaya, mereka pasti terbang.
~ Doa kuno burung hantu, Diculik!, halaman 245

BILA kita memperhatikan buku-buku untuk anak dan remaja yang dijual di toko-toko buku besar, maka tampak jelas bahwa dongeng dan epik-fantasi cukup digandrungi akhir-akhir ini. Cerita-cerita tentang manusia yang hidup di negeri khayalan – atau pun di planet Bumi – dikisahkan dengan antusias oleh para pencerita. Namun, masih banyak kisah yang melulu menghadirkan makhluk-makhluk yang sama seperti peri, kurcaci, kuda sembrani, raksasa, dan sejenisnya.

Sebaliknya, cerita-cerita tentang hewan atau fabel, tampaknya masih digarap kurang maksimal. Banyak penulis yang menghadirkan fabel dalam bentuk cerita bergambar atau kumpulan cerita pendek yang tipis-tipis. Ada juga cerita yang ditambahi dengan berbagai pesan moral secara tersurat, seakan-akan para pembaca tidak dapat memetik sendiri pesan itu.

Lewat bukunya Guardians of Ga’ Hoole – dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul Diculik! – Kathryn Lasky melakukan penelusuran yang total atas burung hantu: dari cara bertelurnya, perkembangan bentuk tubuhnya, jenis-jenis burung hantu, juga perilaku dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Lewat drama yang cukup menghentak sejak awal cerita, Kathryn menyuguhkan bacaan yang menarik disimak hingga tuntas.

Cerita di buku ini menghadirkan seorang burung hantu muda bernama Soren. Ia baru saja sangat gembira karena memiliki adik perempuan yang manis bernama Eglantine. Dia sangat menyukai nama itu. Ketika melihat adiknya lahir, betapa ia sayang padanya. Tak lama setelah kelahiran itu, kedua orang tua Soren memutuskan untuk pergi berburu, mencari makanan untuk persediaan di musim dingin yang akan segera tiba.

Soren mendadak terjatuh dari atas pohon ketika sedang berdiri di pinggir lubang sarangnya. Ia sedang mengintip keluar, menunggu kedatangan kedua orang tuanya yang sebenarnya masih lama tiba. Soren yang masih belum bisa berjalan di dahan apalagi terbang, meminta abangnya, Kludd, untuk menolongnya. Bukannya menolong, Kludd yang sinis malah menyalah-nyalahkannya dan menertawakannya.

Tiba-tiba Soren diculik! Ia dibawa ke sebuah tempat bernama Sekolah untuk Burung Hantu Yatim Piatu. Di sekolah itu ia bertemu dengan Gylfie, seekor burung hantu perempuan yang selalu punya rasa ingin tahu. Persahabatan mereka terjalin begitu alami dan manis. Mereka berdua selalu saling mengingatkan bahwa saat itu pikiran mereka sedang dikacaukan oleh pimpinan sekolah yang jahat.

Di sekolah itu ada semacam penomoran dan penggantian nama yang membingungkan para burung hantu yang diculik dan ditawan. Nah, di sinilah cerita tentang kedua burung hantu ini jadi agak membingungkan. Selain karena terjemahan dalam edisi Indonesia dilakukan kurang luwes, pada bagian ini, konflik utama yang mau dijadikan fokus cerita agak bercabang-cabang. Bagian yang sebenarnya bisa tampil lebih menggigit, malah jadi terasa bertaring tumpul.

Namun, pada intinya, penculikan yang dilakukan terhadap Soren, Gylfie, dan bahkan ribuan anak burung hantu lainnya di sana, membuat mereka lupa akan jati-dirinya. Mereka dibuat bingung sehingga perlahan-lahan lupa bahwa mereka adalah makhluk-makhluk istimewa yang diciptakan untuk terbang tinggi di malam hari. Soren dan Gylfie menolak untuk melupakan diri mereka.

Dengan bantuan Grimble, seekor burung hantu yang nyaris lupa-diri akibat dibingungkan, mereka berhasil terbang dan melarikan diri pada akhirnya. Mereka terbang bersama doa turun-temurun para burung hantu, seperti yang dikutip dalam pembukaan di atas.

DALAM waktu dekat, film adaptasi atas buku ini juga akan ditayangkan di bioskop-bioskop di Indonesia dengan judul Legend of the Guardians: The Owls Of Ga' Hoole. Bila disimak di situs legendoftheguardians.warnerbros.com, visualisasi yang dibuat atas beberapa karakter dari buku ini sangat manis dan lucu. Film ini akan diangkat dari tiga buku awal yang dikarang oleh Kathryn Lasky: The Capture, The Journey dan The Rescue; sementara buku ini adalah terjemahan dari seri pertama, The Capture.

Jadi, buku ini nantinya mungkin hanya akan teradaptasi menjadi sepertiga kisah dalam keseluruhan film, walau kita semua tentunya tahu, bahwa sebuah buku atau novel, ketika diadaptasi menjadi sebuah film, lebih cenderung menjadi lebih pendek akibat terjadinya beberapa pemangkasan. Berbeda dengan adaptasi atas novelet atau cerpen, yang justru terjadi sebaliknya. Apalagi buku ini terhitung tebal, nantinya mungkin akan banyak bagian yang hilang.

Terlepas dari bagaimana film itu nantinya hadir di hadapan para penyuka kisah fantasi, totalitas yang ditunjukkan Kathryn Lasky dalam penggarapan buku tentang kisah Soren dan kawan-kawannya ini sungguh besar. Dalam fantasticfiction.co.uk/l/kathryn-lasky dicatat, masih ada 16 judul lain yang menjadi sekuel buku pertama ini. Kathryn Lasky selama ini memang menghabiskan waktunya untuk mengamati perilaku dan morfologi burung hantu. Awalnya ia berencana menulis buku nonfiksi tentang burung hantu, namun kemudian menyadari bahwa tugas itu tidak mudah: burung hantu baru muncul di malam hari, dan mereka suka sekali bersembunyi. ***

Sidik Nugroho
Malang, 25 September 2010