30.9.10

"keluarga tetaplah keluarga"

: catatan kecil setelah menyaksikan aftershock.

"sudah banyak musibah yang kita alami. sudah banyak orang yang mati. baiklah kita tetap bersama." ~ aftershock

awalnya, aku merasa apes pergi ke bioskop sutos xxi di sby yang jaraknya 15 km dr rumah kosku: begitu sampai di sana, karcis utk film aftershock yang tayang jam 20.00 tinggal 1 biji, dan bangku itu ada di barisan paling depan, di bagian tengah!

namun, itulah bagianku. dan hingga film berakhir, aku tidak merasa menyesal pernah duduk di bangku depan menyaksikan film ini.

setidaknya aku mencatat ada 4 hal yang membuatku beranggapan kalau aftershock pantas dapat 4 dari 4 bintang yang tersedia, atau 10 dari 10 bintang yang tersedia.

pertama adalah potret film ini yang tersaji begitu utuh atas kemalangan sebuah keluarga. negeri yang luluh-lantak, nyawa-nyawa yang habis melayang, dan kepedihan yang besar di china akibat gempa tektonik itu tak membuat para sineas kehilangan fokus untuk menyajikan banyak kisah atau banyak keluarga. ya, hanya satu keluarga yang disorot.

inilah yang membuatku sadar: penderitaan sehebat apa pun yang terjadi di sebuah masyarakat atau bangsa, justru bisa dimaknai lebih dalam saat melihat satu keluarga yang mengalaminya, tidak secara keseluruhan memandangnya.

kedua adalah solidaritas yang terbentuk dalam diri seseorang karena ia pernah mengalami hal yang sama. lewat film ini aku diingatkan dengan begitu banyak orang -- bahkan kadang juga terjadi pada diriku sendiri -- yang kulihat acuh dan tak ambil pusing dengan penderitaan orang lain. bila seseorang sudah pernah tergoncang begitu hebat, dan orang itu masih memiliki hati nurani yang lembut, maka ia akan tergerak untuk menjadi relawan dan penolong untuk meringankan orang lain yang terkena goncangan serupa.

ketiga adalah jalinan kasih di antara para tokohnya. tanpa terlalu banyak bumbu romantika yang kelewatan, film ini menghadirkan kisah kasih yang membumi. terutama, aku terkesima dengan kasih-sayang sepasang suami-istri tentara yang begitu besar terhadap seorang anak yatim.

terakhir adalah kasih ibu yang kadang disalahmengerti oleh anak-anaknya. di dalam aftershock aku dibuat terpana bagaimana seorang ibu tetap bertahan pada tradisi dan keyakinan yang dimilikinya, juga ketabahannya untuk menanggung penderitaan pasca gempa raksasa yang terjadi. pergulatan batin seorang ibu yang bimbang dan diliputi trauma benar-benar ditampilkan maksimal.

***

inilah sebuah film yang pantas menjadi teman refleksi bagi orang-orang yang pernah mengalami penderitaan akibat malapetaka atau kehilangan. aku tidak bisa membayangkan perasaan mereka yang selamat dari tsunami aceh -- atau mereka yang rumahnya terendam lumpur lapindo -- bila menonton film ini.

sebuah keluarga tercerai-berai akibat malapetaka. waktu terus berjalan, trauma akibat malapetaka susah dihapuskan... namun pada akhirnya, hasrat untuk kembali lagi bersama satu keluarga terus ada. kisah-kasih dalam keluarga dengan segala kenangan dan penderitaan yang ada di dalamnya adalah bahasa yang kurasa akan selalu indah untuk disimak. karena, seperti yang dinyatakan salah satu tokohnya:

"keluarga tetaplah keluarga."

sidoarjo, 29 sept 2010

23.9.10

Ratna Telah Pergi

Tadi siang, pas nongkrong di warkop, aku dan beberapa yang turut nongkrong bersama di sana, terpana melihat seorang TKW yang habis digebuki dan diperkosa dalam sebuah siaran berita. Ia merintih dari atas ranjang. Lalu aku teringat renungan ini, yang pernah kubuat beberapa tahun silam, tentang seorang TKW.

***

"Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya." (Mazmur 116:15)

7 September 2008. Hari masih pagi, hampir jam tujuh. Hari itu Minggu, dan saya sedang menyetrika baju untuk pergi ke sebuah gereja yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya di Surabaya. Saya diundang teman saya untuk pergi ke sana.

Ketika menyetrika, dengan jelas saya mendengar siaran televisi dari kamar teman kos saya. Berita menyebutkan seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang baru saja meninggal dunia. Namanya Ratna.

Yang menarik dari berita itu: tidak ada satu pun saudara Ratna yang mengantarkan kepergiannya saat ia sakit beberapa hari hingga menuju ke liang lahat. Hanya beberapa temannya seprofesi. Sejenak kegiatan menyetrika saya hentikan, dan merenung: betapa pedih hatinya ketika saat-saat menjelang kematiannya. Sebatang kara, menderita.

Beberapa minggu kemudian, saya mendengar kata-kata menarik dari seorang pendeta. Ia mengutipnya dari D.L. Moody, seorang pendeta kenamaan di masa lalu. Kurang-lebih Moody menyatakan, "Betapa banyak karangan bunga yang kita berikan bagi seseorang ketika ia meninggal. Betapa mulia kata-kata yang kita pujikan bagi orang-orang yang telah pergi. Dan kita lupa, bahkan enggan, untuk melakukan hal yang sama semasa mereka masih hidup."

Memang, Ratna kasus yang lain -- ia pergi sendiri. Nah, pernahkah kita berpikir tentang orang-orang terdekat kita yang suatu saat juga akan pergi? Ketika membayangkan mereka suatu saat tak lagi dapat membuka matanya, sebaiknyalah di saat ini kita membahagiakannya, dengan cara apa pun yang dapat kita lakukan. ***

"Semua penyakit berakar pada ketiadaan atau keringnya cinta." (Dr. Bernie Siegel)