20.7.10

Perayaan yang Megah atas Hidup, Petualangan, dan Ketuhanan

Judul buku: Life of Pi (Kisah Pi)
Penulis: Yann Martel
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2004
Tebal buku: 446 halaman

"Tidak perlu khotbah mengguntur dari mimbar, tidak perlu segala macam cercaan dari gereja-gereja yang payah, tidak perlu tekanan dari rekan-rekan sebaya, cukup satu kitab suci menunggu untuk menyampaikan salam, lembut sekaligus ampuh, bagai kecupan gadis kecil di pipi."

-- Life of Pi, halaman 298

Piscine Molitor Patel. Nama yang unik itu disingkat dengan panggilan Pi. Dan novel ini adalah kisah hidupnya. Kisah hidupnya yang menggetarkan karena penuh gejolak, sekaligus mengharukan. Hidupnya penuh liku karena ia adalah seorang remaja yang sedang memasuki masa puber. Namun, ia merayakan pubertasnya dengan pencarian akan Tuhan. Bagi Pi, Tuhan adalah misteri yang senantiasa menggugah rasa ingin tahunya.

Yann Martel mengisahkan kehidupan Pi dengan narasi yang amat detil. Ia adalah seorang pencerita yang mengalir, tak terlalu terikat pada urutan waktu. Sebuah contoh, ada kisah saat Pi sedang berada di Montreal yang dikisahkannya lebih dulu daripada di Pondicherry -- padahal Montreal adalah saat-saat dewasa Pi, sementara Pondicherry adalah tempat Pi menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai kelemahan; kadangkala orang bernostalgia dengan melompat-lompati segala batasan waktu.

Yann Martel juga seorang pencerita yang lucu. Ini terutama tampak di bagian-bagian awal cerita ini. Pertemuan Pi dengan beberapa guru spiritualnya adalah salah satunya. Nanti kita akan melihat bagaimana Pi bisa memiliki lebih dari satu keyakinan. Ia juga seorang yang realistis; ia mempertanyakan lagi romantika yang selama ini mungkin diperjuangkan para pecinta satwa: biarkan makhluk hidup bebas, biarkanlah mereka hidup dalam alam terbuka.

Padahal, binatang tak jauh beda dengan manusia yang selalu ingin rumah yang nyaman untuk ditinggali dan makanan yang terhidang tepat waktu. Dua hal ini, bila oleh seorang pemilihara hewan diperhatikan dengan baik akan membuat hewan-hewan tinggal lebih nyaman dalam peliharaan daripada dilepaskan di alam terbuka yang penuh dengan persaingan dan perkelahian.

Tentang Ketuhanan, dan Keberagamaan Pi

Hal yang pertama kali membuat kisah ini menjadi memiliki daya tarik adalah apa yang dinyatakan oleh seorang tokoh di dalamnya, yaitu Francis Adirubasamy, bahwa kisah yang akan diceritakannya ini akan "membuat orang percaya kepada Tuhan." Tuan Adirubasamy kemudian menghadirkan Pi sebagai tokoh ceritanya. Pi kemudian bercerita kepada si penulis, jadilah cerita ini sebagai sebuah kisah nostalgia dengan sudut pandang aku sebagai pencerita.

Dulu, sempat tersiar kabar bahwa novel ini dibuat berdasarkan kisah nyata. Namun, kemudian beredar kabar bahwa Kisah Pi adalah novel fiktif. Walaupun fiktif, hal yang menarik untuk disimak adalah bagaimana Yann Martel membangun kisah ini sehingga menjadi benar-benar hidup -- sehingga tampak seperti betulan terjadi. Inilah yang tampaknya membuat ia akhirnya diganjar penghargaan Man Booker Prize untuk novelnya ini.

Pi dikisahkan sebagai seorang anak remaja yang benar-benar haus akan siraman rohani. Di sebuah bagian, Yann Martel menggambarkan Pi sebagai seorang remaja yang "... suka lari ke mana-mana dan ingin tahu segala sesuatu" (halaman 60). Karena hal ini, Pi menganut tiga agama sekaligus karena memiliki pengalaman yang terhitung supranatural atas tiga agama tersebut. Ia memiliki keyakinan sebagai seorang Hindu karena terpesona dengan kisah-kisah para dewa-dewi yang ia yakini bersangkut-paut dengan segala yang terjadi dalam kosmos; ia terpesona dengan filsafat yang dimuat dalam ajaran-ajaran Hindu.

Ia terpikat pada Kristus yang awalnya ia sangsikan mengapa mau mati di kayu salib demi menebus dosa manusia. Setelah bertanya-tanya, ia kemudian terpesona akan kasih Kristus itu. "Sebab kalau Allah di salib itu adalah Allah yang bersandiwara menampilkan tragedi manusia, maka Kasih Kristus menjadi Sandiwara Kristus belaka" (halaman 91). Dan ia pun memutuskan yakin bahwa apa yang Kristus lakukan bukan sekedar sandiwara.

Ia juga tertarik pada cara-cara orang Islam mengadakan salat. Ia suka sekali membaca Qur'an, dan mendapati suatu keyakinan bulat bahwa Islam adalah ajaran perdamaian. "Aku berani mengatakan bahwa siapa pun yang telah belajar memahami Islam dan semangat yang terkandung di dalamnya, pasti akan mencintai ajaran ini. Islam agama yang indah, yang mengajarkan persaudaraan dan ketaatan" (halaman 101).

Apa yang Pi terus gumuli akhirnya membuat ia tampil sebagai remaja yang berbeda dari remaja sebayanya. Suatu ketika tiga guru agamanya bertemu dan masing-masing dengan cara yang lucu berdebat tentang agama siapa yang paling benar. Ketiga guru ini saling menyindir dan mempertahankan bahwa agamanya yang paling benar. Justru Pi yang tampil sebagai pendamai, mencengangkan mereka bertiga dengan menyatakan ia akan memeluk ketiga keyakinan itu.

Pi suka sekali dengan hal-hal seputar ketuhanan, tapi ia juga mempunyai seorang guru yang tidak percaya pada Tuhan. Guru yang sangat dia kagumi itu bernama Mr. Kumar. Mr. Kumar yang gemuk dan berkaki kecil membuat Pi takjub karena memiliki berbagai penjelasan yang logis atas segala sesuatu yang terjadi dalam kebun binatang. Mereka membicarakan genetika, hal-hal tentang hewan, dan berbagai hal tentang sains lainnya saat Mr. Kumar berkunjung di kebun binatang milik ayah Pi.

Petaka Terbesar dalam Hidup Pi

Februari 1976, pemerintahan Tamil Nadu digulingkan oleh Delhi. Saat itu terjadi pergolakan politik, dan Mrs Gandhi semakin menjadi-jadi kediktatorannya. Akibat hal ini, Santosh Patel, ayah Pi, berniat memindahkan semua hewan milik mereka menuju ke sebuah negeri lain: Kanada. Dari Madras kapal itu berlayar tanggal 21 Juni 1977, dan pada tanggal 2 Juli, kapal itu tenggelam di Samudera Pasifik. Apa penyebabnya, tak diceritakan. Kisah beranjak ke bagian dua, saat Pi terombang-ambing di Samudera Pasifik.

Di sinilah Yann Martel menunjukkan kehebatannya sebagai seorang pencerita. Ia dengan sangat tekun dan teliti mengisahkan apa saja yang terjadi pada Pi. Ia mengisahkan dengan detil bentuk sekoci Pi (ilustrasi yang ada di sampul depan berbeda jauh dengan penggambaran Yann Martel), perilaku hewan yang beserta dengan Pi, suasana di laut, perasaan yang terus berkecamuk dalam diri remaja Pi, juga kisah-kisahnya yang unik tentang cara-cara bertahan hidup.

Pi selamat dalam sebuah sekoci yang panjangnya delapan meter. Awalnya, seekor hyena, zebra, dan orang utan bernama Orange Juice beserta dengannya. Seekor hewan lain, seekor harimau Bengal seberat 225 kg, bernama Richard Parker, justru baru diketahui keberadaannya oleh Pi di bawah terpal sekoci setelah hewan-hewan yang lainnya satu per satu mati karena berkelahi dalam sekoci.

Bagaimana Pi menaklukkan dan bisa hidup bersama harimau buas yang bisa memangsanya kapan saja menjadi bagian yang sangat menarik diikuti. Yann Martel tampak mempunyai pengetahuan yang luas dalam ilmu perilaku hewan. Ia menyebutkan, setidaknya tiga hal, yang membuat seekor harimau bernama Richard Parker dapat takluk pada manusia bernama Pi. Pertama adalah suara -- dalam hal ini Pi menggunakan peluit yang ia tiup keras-keras demi menunjukkan superioritasnya. Kedua adalah keberanian Pi untuk tahan beradu tatapan mata dengan Richard Parker sampai ia mennjukkan tatapan yang tak fokus pada mata Pi. Dan ketiga adalah bagaimana Pi mencoba masuk ke teritori yan dimiliki Richard Parker.

Bagian ketiga terkisah amat menarik. Demi upayanya menerobos benteng berupa teritori yang dibangun si harimau, Pi seringkali berada di teritori hewan itu sambil membunyikan peluitnya. (Hewan sering menandai teritorinya dengan air seni dan kotorannya.) Pi bahkan suatu ketika iseng mengambil kotoran hewan itu karena tertarik pada bentuknya. Pi mendapati kotoran itu sangat keras, sekeras batu karang. Awalnya ia malah berencana hendak memakan kotoran itu, namun ia merasa kotoran itu lebih cocok dijadikan peluru senapan untuk berburu badak.

Mungkin memakan kotoran hewan adalah gagasan yang terlampau dilebih-lebihkan, tapi bila kita membayangkan bagaimana Pi terkatung-katung di tengah Samudera Pasifik selama tujuh bulan lebih, dan kemudian menyimak apa saja yang dimakannya, kita jadi tahu bahwa Yann Martel tak hanya sedang bercanda. Pi jadi terbiasa memakan ikan mentah, darah penyu, dan bahkan sempat memakan daging manusia. (Manusia yang ia makan dagingnya dikisahkan menjelang akhir kisah, saat Pi nyaris mati dan tidak lagi memiliki kekuatan untuk bertahan hidup. Tiba-tiba ada seorang manusia yang juga menggunakan sekoci muncul di sebelahnya, tapi kemudian dihabisi oleh Richard Parker. Daging manusia itu disantap oleh Richard Parker dan Pi, walau Pi hanya memakannya bebrapa cuil untuk bertahan dari kelaparannya.)

Ratusan halaman digunakan Yann Martel untuk menggambarkan apa saja yang terjadi dalam hidup Pi saat ia berada di tengah lautan. Namun, membaca buku ini tak bisa disamakan dengan menonton film Cast Away yang dibintangi Tom Hanks -- bila Anda yang pernah menontonnya merasa ada kesamaan di dalamnya. Cast Away lebih banyak mengisahkan petualangan seorang pria tersesat di sebuah pulau; namun Kisah Pi sebagian besar terjadi di Samudera Pasifik.

Dari keseluruhan kisah di lautan mahaluas itu, setidaknya ada dua hal yang paling mengesankan dari Pi. Pertama adalah persahabatan yang terbentuk dalam diri Pi dan Richard Parker. Mulanya ia sangat ketakutan dengan Richard Parker. Bahkan sepanjang kebersamaan mereka, Pi selalu didera rasa takut. Ia kuatir kalau-kalau Richard Parker tiba-tiba mengoyak-ngoyak badannya sampai hancur -- bisa saja hal itu terjadi. Namun, hal itu tak terjadi -- bukan semata-mata karena dikarang-karang tidak terjadi -- karena Pi selalu belajar bagaimana memahami perilaku hewan itu.

Ketika akhirnya Pi selamat sampai di sebuah pantai di Meksiko, ia sedih kehilangan Richard Parker yang pergi begitu saja dari hidupnya. Richard Parker, yang selalu membuatnya waspada, akhirnya ia sadari sebagai sosok yang membuatnya bertahan hidup.

Kedua adalah bagaimana Yann Martel mengaitkan masa remaja Pi yang sarat dengan pencarian akan Tuhan sebagai bagian yang turut menentukan kelangsungan hidup Pi saat terombang-ambing di tengah samudera. Ada saat-saat ketika Pi memandangi bintang-bintang di langit, kesepian, bersembahyang di dalam sekoci kecil yang berada di lautan mahaluas, yang membuat kita jadi merenung tentang keajaiban semesta.

Ada satu bagian yang mengisahkan saat Pi mengalami kilat dan guruh yang terasa begitu dekat sehingga lautan yang berada di sekitarnya menjadi putih seketika. Saat itu hatinya takjub, namun merasa tidak berdaya. Saat-saat itu, kita jadi merasa kesia-siaan rasanya lebih pas untuk dijadikan sebagai makna bagi hidup yang dipertahankan. Saat-saat yang dramatis itu selalu membuat Pi mengenang Tuhan, merindukan kitab-kitab suci untuk dibaca seperti yang dikutip pada bagian di muka, bukannya membaca puluhan ribu kali buku panduan keselamatan yang ia temukan dalam sekoci.

Saran Pembacaan dan Sedikit Perbandingan

Ada novel yang bisa dibaca dengan cepat; ada novel yang mesti dibaca dengan pelan. Kisah Pi adalah jenis kedua. Kita tidak bisa menikmati novel ini dengan membacanya tergesa-gesa. Jadi, jikalau Anda mengharapkan sebuah petualangan yang ingin Anda nikmati setiap detilnya, Kisah Pi pas buat Anda.

Membaca Kisah Pi saya teringat pada The Highest Tide karya Jim Lynch. Setidaknya ada tiga hal yang mirip atas kedua novel ini. Pertama adalah kedua tokohnya sama-sama seorang remaja pria yang beranjak dewasa: Pi menyukai hal-hal yang berbau ketuhanan, sementara Miles dalam The Highest Tide lebih penasaran dengan binatang-binatang laut dan sesekali anatomi tubuh wanita. Kedua adalah keduanya sama-sama bercerita tentang laut: The Highest Tide lebih banyak membahas keindahan laut dan kisahnya sebagian besar ada di pantai, sementara Kisah Pi lebih banyak membahas tentang perjuangan dan petualangan Pi yang bertahan hidup di lautan mahaluas. Ketiga, kedua tokoh utamanya (dianggap) memiliki semacam kekuatan supernatural yang membuat mereka tampak ajaib bagi para pembaca: Pi, seperti yang disebut tadi, membuat orang percaya kepada Tuhan, sementara Miles nyaris dianggap sebagai dewa karena orang-orang menganggap alam sedang mengatakan sesuatu kepadanya.

Ya, tampaknya kisah-kisah tentang laut dan petualangan di dalamnya selalu menggugah kesadaran kita betapa luasnya alam raya, dan betapa kecil arti dan keberdayaan kita saat menjadi salah satu penghuni di dalamnya. Bila dalam The Highest Tide kita dibuat takjub dengan berbagai narasi yang digunakan Jim Lynch untuk menggambarkan berbagai spesies laut, Yann Martel dalam Kisah Pi membuat kita tercengang akan berbagai kisah petualangannya yang penuh gejolak, yang dikisahkan dengan amat hati-hati. Nah, lewat novelnya ini, ia telah berupaya dengan semegah mungkin merayakan hidup, petualangan, dan ketuhanan dalam kisah seorang pria kecil bernama Pi.***

Sidik Nugroho
Malang-Sidoarjo, 17-19 Juli 2010