26.1.10

Demi Masa Depan Anak

Judul Buku: I Can (Not) Hear
Penulis: Feby Indirani dan San C. Wirakusuma
Editor: Christian C. Simamora
Penerbit: Gagas Media
Tebal: 352 halaman
Cetakan pertama, Oktober 2009

***

Memiliki seorang anak yang normal secara fisik dan psikis, kemungkinan (besar) tak akan mendatangkan banyak masalah, terutama dalam mengajaknya berkomunikasi, belajar, bahkan bermain. Para orang tua tinggal menentukan suatu pola pembelajaran dan pendidikan yang tepat, maka kemungkinan (besar) anak itu akan baik-baik saja. Sebuah keluarga yang bahagia pun terbentuklah. Namun, berbeda dengan Sansan, panggilan akrab San C. Wirakusuma. Ia memiliki anak yang tuli karena sebuah serangan virus. Anaknya itu bernama Gwen.

Oleh keterangan Dokter Goh yang ada di Queen Mary Hospital Hongkong, penyebab ketulian Gwen adalah sebuah virus bernama CMV (cytomegalovirus). Begitu mendapatkan kabar ini, maka Sansan dengan segenap daya-upayanya mencari kesembuhan. Ia dan suaminya telah mencoba berbagai pengobatan alternatif, berdoa memohon kesembuhan, menghadapi seorang dokter yang ketus, mengurusi tugas-tugas rumah tangga yang berat dan anak yang susah diajak berkomunikasi dan mengerti. Namun kesembuhan tetap tak terjadi pada Gwen.

Pada usia 17 bulan, akhirnya Gwen dipasangi cochlear implant, sebuah alat bantu pendengaran yang canggih, yang membuatnya kian mahir berkomunikasi. Namun, tantangan tak berhenti di situ. Gwen perlu banyak berlatih memperhatikan, mendengarkan dan berbicara. Sebelum itu, beberapa alat bantu pendengaran telah dipasang, namun hasilnya tidak maksimal. Upaya mendatangkan kesembuhan bagi Gwen pada akhirnya membuat Sansan mengambil keputusan membawa Gwen ke Australia, berpisah dari suaminya, membesarkan anak itu seorang diri.

Kisah-kisah bagaimana Sansan mendidik putrinya ini dihadirkan cukup menyentuh oleh kedua penulis. Tidak diceritakan sekilas proses kreatif penulisannya: apakah buku ini ditulis dengan cara Sansan menuturkannya kepada Febi Indirani, atau mereka menuliskannya bersama-sama. Namun, tanggal, kejadian, ekspresi orang-orang, cuaca dan situasi di hampir semua kejadian yang ada di buku ini terkisahkan dengan cukup detil dan menarik. Pembaca dibawa untuk masuk dalam kehidupan keluarga Sansan.

Kisah-kisah Sansan dan Gwen akan menginspirasi para pembaca, utamanya para guru Sekolah Luar Biasa, para pendidik, dan para ibu tentunya. Kisah ini sudah cukup baik tergarap dari awal hingga akhir, namun sayang dalam beberapa halaman masih tampak beberapa kesalahan penulisan berupa tanda baca dan ejaan. Editor dan penulis kiranya dapat memperhatikan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan ini bila nantinya buku ini dicetak ulang.

Hal-hal yang berkaitan dengan dunia kedokteran, pendidikan, atau psikologi tak banyak dikisahkan dengan detil dalam buku ini. Porsi terbesar adalah penggambaran kondisi sebuah keluarga yang memiliki anak yang "tak sama" seperti anak yang lain. Dari sinilah buku ini memiliki keunikannya tersendiri. Kita diajak untuk menghayati dan belajar bagaimana mendidik seorang anak yang tak bisa mendengar; juga memahami perasaan ibu yang melahirkan dan membesarkannya.

Contohnya ketika suatu hari Gwen diundang pada pesta ulang tahun temannya bernama Aaron. Waktu itu Gwen masih menggunakan alat bantu pendengaran yang lebih sederhana daripada cochlear implant. Oleh terapisnya yang bernama Ivy, Sansan diminta untuk selalu mengenakan alat itu pada Gwen. Namun, karena alat itu tentunya akan mengundang berbagai reaksi dan pertanyaan dari orang di sekitar Gwen, Sansan tak memasangkan alat tersebut di pesta ulang tahun Aaron.

Suasana pesta yang riuh dan penuh keriangan tak dinikmati oleh Gwen yang tak bisa mendengarkan apa-apa. Sansan tidak memasangkan alat bantu pedengarannya karena ingin Gwen tampak seperti anak normal lainnya. Namun, keinginan ini justru membuat Gwen tampak tak seperti anak lain: Gwen tidak menikmati pesta yang sedang berlangsung, sementara mereka yang lain bergembira ria. Sansan mengalami dilema.

Ya, pergulatan batin seorang ibu dikisahkan dengan baik dalam buku ini. Demi cintanya kepada si anak, Sansan mengambil lagi kuliah S2 jurusan Special Education, sebuah jurusan yang banyak mempelajari tentang pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Saat-saat ia membesarkan anaknya sendirian sambil kuliah, ia mengenang: "Masa-masa itu saya harus benar-benar disiplin, membagi waktu antara kuliah, mengerjakan tugas-tugas makalah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan mengurus serta melatih Gwen."

Dengan lugas Sansan juga menguraikan argumen-argumennya yang penting tentang perlakuan yang harus kita berikan kepada tiap anak agar memperoleh kesempatan yang sama untuk bertumbuh-kembang menjadi pribadi yang seutuhnya. Anak-anak adalah anugerah Tuhan, dan para orang tua yang berbahagia adalah mereka yang menghargai anugerah itu dengan berjerih lelah mendatangkan kebahagiaan dan masa depan yang indah bagi mereka.

***

Sidoarjo, 8-9 Januari 2010

Sidik Nugroho
Guru anak-anak SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo

***

Resensi ini dimuat di koran Jawa Pos, 24 Januari 2010

21.1.10

anak itu dan kripik tempenya

"kula kelas gangsal, pak."
demikian ia menjawabku ketika kutanya
ia masih sekolah apa tidak

rambutnya klimis
senyumnya selalu tipis
dengan sepeda mini yang ia kayuh
santai ia membuat malu
para bajingan yang korup
yang menghiasi
lembar-lembar koran

akan kutunggu kripik tempemu
nikmat, mungkin buatan ayahmu
titip salam buatnya
ingin kuyakinkan dia
bahwa hidupnya bermartabat

memiliki anak sepertimu
yang tak pernah malu
menitipkan kripik tempe
di warkop itu buatku

kriuk kriuk, renyah sekali
ah, teman kecilku
segeralah datang lagi

kopi, koran, buku
dan lagu-lagu dangdut
yang selalu sertaiku
di warkop itu
kurang asoi tanpa
kripik tempemu

***

sepulang dari warkop cak min, 20 jan 2010;
di warkop melihat kripik tempe yg tgl 1 bungkus

19.1.10

aku tadi merokok, tuhan

aku tadi merokok, tuhan
kata seorang teman gerejaku itu dosa
itu merusak bait allah
tapi teman gerejaku itu hobi makan anjing dan babi
sampai kolesterolnya tinggi sekali
masuk rumah sakit karenanya
jadi, bait allahnya rusak sekali

aku tadi merokok, tuhan
tapi tidak kecanduan kok
hanya mengisapnya sesekali
ditemani buku yang indah sekali
sehingga malam mingguku yang sepi
jadi sedikit berseri

aku tadi merokok, tuhan
dan waktu merokok ingin minum bir
kata temanku itu juga dosa
padahal aku tidak mabuk
bahkan tidak pernah mabuk
hanya ingin menghangatkan badan
pada malam di kota malang yang sejuk

aku tadi merokok, tuhan
dan mendengarkan musik rock
temanku bilang lagi-lagi itu dosa
padahal musik itu membangkitkan semangat
dan mengusir kepedihan hati

aku tadi merokok, tuhan
bolehkah aku besok tetap ke gereja?
aku takut diusir temanku
yang gendutnya mirip babi itu

tapi kalau aku diusir
ya tidak apa-apalah, tuhan
mungkin aku akan ke warkop lagi
nyumet rokok, membuka firmanmu
dan merenungkannya
bersama iringan musik rock
dan ditemani sekaleng bir dingin

malang, 16 januari 2010

16.1.10

Sejarah yang Amburadul, Dunia Anak, dan Persahabatan yang Indah

Sebuah resensi dan refleksi film berjudul The Boy in the Striped Pyjamas. Sinopsis, aktor, dan data-data film lainnya bisa dicek di http://www.imdb.com/title/tt0914798

MUNGKIN hanya sedikit film yang berani menampilkan kemuraman hampir di sepanjang jalan cerita. Seperti film ini, The Boy in the Striped Pyjamas. Film ini menghadirkan tokoh anak-anak -- anak-anak yang indentik dengan kebahagiaan dan kemerdekaan. Film ini juga menghadirkan dialog dan adegan-adegan yang hampir secara keseluruhan bisa dipahami oleh anak-anak. Sejauh ini saya berpendapat bahwa sebuah cerita untuk anak-anak tak baik bila dikisahkan terlalu muram; namun di sisi lain film ini rasanya cukup beralasan untuk ditampilkan begitu muram mengingat latar belakang sejarahnya.

Tokoh utama dalam film ini adalah Bruno, seorang anak laki-laki usia delapan tahun, putra dari seorang komandan tentara Nazi Jerman. Seperti anak-anak lain, Bruno menyukai keceriaan dan kegembiraan. Suatu ketika ia harus pindah karena ayahnya dipindahtugaskan. Rumah baru mereka tampak terpencil, jauh dari keramaian. Dan tak jauh dari rumah baru itu, ada sebuah kamp konsentrasi untuk orang-orang Yahudi.

Di rumah barunya Bruno merasakan kesepian yang mendalam. Kakaknya, Gretel, yang mulai beranjak remaja, memiliki dunia yang lain, dunia yang mulai bertabur asmara. Bruno tak begitu cocok dengan kakaknya itu. Bruno tidak punya teman, bahkan sekolah pun tak ada di dekat rumahnya. Ia diajar oleh seorang guru tua yang mengenakan sepeda engkol, yang datang dua kali seminggu.

Sosok guru Bruno ini sangat kaku dan picik. Mata pelajaran yang berulang-ulang diajarkannya adalah Sejarah. Sejarah dan Sejarah. Sejarah kehebatan orang Jerman. Sejarah orang Yahudi yang semuanya merupakan bangsa terkutuk. Sejarah yang menjadi abdi penguasa untuk kelanggengan sebuah rezim dan kediktatoran Hitler. Sejarah yang amburadul.

Guru Sejarah ini, bandingkanlah sejenak dengan profesor tua yang ada dalam sebuah cerita Narnia -- begitu kontras. Dalam Sang Singa, Penyihir dan Lemari Ajaib dikisahkan seorang profesor tua yang lebih dari satu kali menanyakan kepada Peter, Edmund, Lucy dan Susan: Apakah yang diajarkan sekolah masa kini untuk anak-anak? Begitu terbuka pemikiran profesor tua itu, mengharapkan anak-anak mendapatkan sebuah pendidikan-pengajaran yang pantas bagi dirinya masing-masing.

Guru Bruno ini lambat laun menanamkan keraguan pada diri Bruno tentang orang-orang Yahudi. Padahal, karena kesepian yang mendera dirinya, ia memiliki seorang sahabat Yahudi! Ya, dengan nekat ia melanggar perintah orang tuanya untuk tak melewati batas-batas tertentu di rumah mereka. Dari pelanggaran itu, ia pun bertemu dengan Shmuel, seorang anak Yahudi berkepala botak, menggunakan baju dan celana bergaris-garis mirip piyama, bergigi ompong, namun begitu ia sayangi, di kamp konsentrasi dekat rumah barunya.

Shmuel si Yahudi suka makan. Hampir setiap hari Bruno si Jerman mengunjungi sahabat barunya itu. Bruno membawakan baginya cokelat, kue, dan sandwich dari rumah. Shmuel selalu lapar. Ia tiap hari harus bekerja keras bersama para tawanan di kamp konsentrasi. Hari demi hari Bruno mengunjunginya, dan ikatan persahabatan yang indah pun terbentuklah di antara mereka berdua.

Sayangnya, persahabatan ini dibatasi sebuah terali kawat yang tajam dengan tinggi sekitar dua meter. Mereka tak bisa berangkulan atau berkejar-kejaran. Bruno membawakan bola untuk bermain voli, raket badminton, dan papan catur agar mereka berdua bisa main bersama. Namun bermain voli dan badminton akan membahayakan keduanya, karena kamp konsentrasi tempat Shmuel tinggal dijaga ketat: Ada anak yang kedapatan bermain, nyawa mereka bisa melayang. Mereka berdua pun hanya bisa bermain catur menggunakan koin-koin plastik.

Dan inilah adegan yang memilukan namun juga mengundang tawa: Papan catur yang hanya bisa diletakkan di luar terali kawat, membuat Shmuel tak bisa meraih koin-koin plastik itu. Ia hanya menunjuk-nunjuk, dan Bruno yang menggerakkan koin-koin Shmuel seperti yang ditunjukkan kepadanya. Beberapa kali Bruno salah menggerakkan koin-koin itu, Shmuel tertawa-tawa lepas. Shmuel yang bergigi ompong, kotor, dan tentunya bau, kini sedang tertawa-tawa riang dengan Bruno, anak seorang komandan yang selalu tampil rapi dan tampan.

Di sini kita mungkin akan tertawa sejenak, pun sambil merenungkan: Betapa masa kanak-kanak adalah masa bermain, masa yang akan selalu tepat diisi dengan persahabatan yang ceria. Sejarah dengan segala kepalsuan dan kepentingannya tak dapat merenggut masa-masa ini. Anak-anak diciptakan untuk menikmati hidup, bukan merenung dengan kaku, disuapi ideologi yang tidak asyik, apalagi bermuram durja.

Anak-anak dalam film ini mengingatkan saya pada sebuah film lain, Schindler's List, yang juga berlatar masa Nazi Jerman. Ya, gadis kecil berbaju merah di film itu! Di sekujur film yang tertampil sepia, hanya satu warna yang cukup "menyilaukan": merah menyala. Gadis kecil yang tersesat di antara serangkaian pembantaian, mencari-cari, bersembunyi. Ia pun kemudian lenyap.

Hingga film ini berakhir, saya masih sangsi apakah film ini pas diputar untuk anak-anak. Persahabatan antara Shmuel dan Bruno terjalin begitu manis hingga akhir cerita. Porsi terbesar dalam film ini bahkan tentang Bruno, bukan tentang Nazi Jerman dan penyiksaan terhadap orang-orang Yahudi. Semua anak-anak akan memahami cerita persahabatan yang indah ini. Namun, karena jalan ceritanya yang muram, para pendamping -- baik guru atau orang tua -- harus menjelaskan latar belakang masa dan peristiwa besar dalam sejarah yang terjadi di balik film ini. Karena tanpa pendampingan kita, film ini akan menyisakan memori yang terlalu pilu untuk dikenang. Walaupun adegan dalam film tidak bisa dicium, namun asap yang mengepul dari sebuah gedung tinggi di kamp konsentrasi, yang mengganggu benak Bruno selama berhari-hari karena baunya tercium olehnya dengan begitu menyesakkan, dapat menyisakan memori yang kelam.

Ya, di film ini ada sebuah penggambaran yang cukup traumatik, yaitu holocaust, pembunuhan massal atas orang-orang Yahudi di sebuah kamar besar yang disemprot dengan gas. Elie Wiesel, seorang survivor holocaust (orang yang selamat dari pengalaman holosaust), dan pemenang hadiah Nobel, menyimpulkan pengalamannya: "Orang yang pada mulanya adalah seorang manusia menjadi tawanan dan tawanan itu menjadi nomor dan nomor itu menjadi abu."

Dan abu itu mendatangkan bau. Bau itu kemudian menebarkan kemuraman sepanjang cerita.

Ya, inilah film yang muram, namun tetap perlu dan penting untuk ditonton bagi Anda yang menghargai dinamika persahabatan, dan indahnya kenangan-kenangan di masa kecil dulu.

Sidik Nugroho
Malang, 15-16 Januari 2010

***

CATATAN: Terima kasih untuk Ibu Rini (Anggraini D. Natali) yang telah meminjamkan film ini buatku. Terima kasih buat Denmas Marto (Arie Saptaji) yang pernah menyampaikan kutipan Elie Wiesel dalam situs Geocities-nya dulu (Kelompok 1).

15.1.10

Kepergian Penjaga Rumah

"... Penjagamu tidak akan terlelap. Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel." (Mazmur 121:3-4)

Mazmur 121

Anjing adik saya itu, di suatu pagi mengeluarkan darah terus-menerus dari lehernya. Jalannya tertatih-tatih dan ia tampak lemas. Beberapa hari kemudian kondisinya makin parah. Ia tak bisa berjalan dan hanya diam berbaring. Suaranya pun lemah sekali. Tak sampai seminggu berlalu, ia pun mati.

Sayangnya, penyebab kematian itu baru diketahui setelah ia mati. Ketika lehernya dibedah agak dalam oleh seorang kawan adik saya, ternyata ada sebuah peluru senapan angin yang bersarang di sana. Seorang saudara yang tinggal bersama adik saya menangis tersedu-sedu melepas kematian anjing itu.

Di Sekadau, pedalaman Kalimantan Barat, keberadaan seekor anjing cukup berarti untuk menjaga keamanan di kawasan sekitar rumah adik saya. Di sana sepi sekali.

Kepergian seekor hewan yang kita andalkan dan sayangi, dapat membekaskan kesedihan yang begitu dalam. Apakah Anda pernah kehilangan seseorang yang begitu Anda percayai, sayangi, dan andalkan? Kita menaruh harapan dan cinta buat mereka, namun dengan kuasa dan ijin-Nya Ia mengambil mereka dari hidup kita.

Inilah yang membuat kita semestinya belajar bahwa tak ada yang kekal di dunia ini. Apa pun yang kita andalkan dan harapkan dapat berganti, berubah, dan bahkan lenyap. Kita bahkan dituntut oleh-Nya untuk tidak percaya dan hidup bagi diri kita sendiri. Kita ditentukan untuk senantiasa bersandar pada Allah, yang telah berjanji menyertai kita hingga kesudahan zaman; juga yang walaupun langit dan bumi berlalu, firman-Nya akan tinggal tetap. (~s.n~)

"Semua orang datang dan pergi dalam kehidupan kita. Tuhan tidak pernah pergi, asal kita mau dan sadar untuk selalu datang kepada-Nya."

14.1.10

Kematian Pemain Organ

"Akhir suatu hal lebih baik dari pada awalnya..." (Pengkhotbah 7:8)

Filipi 3:1b-16

Pemain organ di sebuah gereja Katolik di Malang itu telah melayani sekian puluh tahun di gerejanya. Ia terkenal saleh dan bergaya hidup sederhana. Banyak orang mengenalnya sebagai pribadi yang santun dan bersahaja.

Suatu ketika ia mengalami serangan jantung. Saat itu ia sedang bermain organ. Beberapa mata yang menyaksikan momen itu melihatnya sedang sesak nafas, dan perlahan-lahan menggeliat, menundukkan kepala, dan akhirnya suasana ibadah kacau sejenak akibat kepalanya menghantam tuts-tuts organ.

Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit, dan dalam perjalanan menuju ke sana, ia pergi untuk selama-lamanya.

Kepergian ini membuat segenap keluarganya panik. Anaknya yang masih TK terpaksa dibawa ke Batu, ke rumah saudaranya, agar tidak histeris melihat kepergian ayahnya. Begitu cepat dan serba tiba-tiba kepergian ini terjadi. Kesedihan menjalar cepat di seluruh keluarga, juga jemaat yang ditinggalkan.

Akhir hidup yang tak tahu kapan kita jelang, sudahkah kita sering memikirkannya? Beberapa orang bahkan tak pernah berpikir tentang kematian. Mari kita waspada. Kedapatan setia ketika nyawa kita diambil adalah suatu hal yang penting untuk senantiasa ada di benak kita.

Akhir hidup yang memuliakan Allah mungkin tak harus dalam suasana yang tampaknya rohani, seperti bermain organ di gereja. Tuhan ingin apa pun yang kita perbuat didasari dengan niat untuk memuliakan-Nya. Karena, seperti kata Paulus, "... hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan." (~s.n~)

12.1.10

Kesombongan yang Tersamar

"Keangkuhan merendahkan orang, tetapi orang yang rendah hati, menerima pujian." (Amsal 29:23)  

Di sebuah persekutuan doa, ada beberapa jemaat yang datang beribadah menggunakan mobil-mobil bagus. Ada juga beberapa yang datang dengan mobil usang. Seorang dari mereka yang datang dengan mobil usang selalu saja memarkir mobilnya jauh-jauh. Seseorang bertanya kepadanya, "Mengapa mobil Anda selalu diparkir jauh-jauh?"

Dengan nada bicara merendah ia menjawab, "Ah... mobil saya kan jelek. Nanti kalau saya sudah punya mobil bagus, saya akan parkir bersama yang lainnya."

Sekilas, apa yang ia sampaikan menyiratkan pernyataan yang wajar. Namun, kalau ditelisik lebih dalam, ini adalah sebuah pernyataan yang berawal dari kesombongan. Sebabnya, orang itu merasa keberadaan dirinya belum cukup layak untuk bersanding dengan orang-orang lain sekomunitasnya. Bila saat itu ia mendapatkan dirinya berkeberadaan terbalik, yaitu lebih hebat dari orang lain, bisa jadi ia akan mencari cara untuk menujukkan bahwa dirinya berbeda. 

Saudara, hati-hatilah dengan slogan atau ajakan "berani tampil beda". Di satu sisi itu memancing agar tiap orang menyadari keunikannya, bersyukur dan memuliakan Allah atas apa yang Allah anugerahkan khusus bagi dirinya. 

Tapi, di sisi lain, itu juga dapat menjadi suatu jerat yang membuat kita narsis -- selalu menganggap diri lebih baik atau lebih hebat daripada yang lain. Dan, ketika suatu hari kita menemukan kenyataan bahwa diri kita tidak lebih baik dan lebih hebat, kita pun berusaha untuk tetap tampil beda dengan melakukan mirip yang dilakukan pria yang memarkir mobilnya jauh-jauh itu tadi. (~s.n~)

Kata-kata hikmat: Menjadi apa adanya kerapkali jauh lebih penting daripada berusaha menjadi segalanya.

11.1.10

catatan porong 2

untuk wawan eko yulianto dan denmas marto

kini tak tersisa panas dan sengat
namun hujan penuh deru dan hawa yang bikin menggigil
mereka membawa cerita masa lalu
ketika hujan yang mesra mengguyuri atap rumah
dan menghadirkan lelap atau mimpi malam

kini lumpur berbaur dengan air hujan
mengalir melalui celah-celah tanggul di tepian jalan
pada aliran-aliran itu, aku kini mencari-cari

adakah mimpi yang masih tersisa di sini?

porong-sda, 10 jan 2010

7.1.10

rumah kecil

di dalam rumah kecil kita
ya kekasih
selalu ada roti yang segar
dan air yang tak pernah berhenti memancar

di rumah kecil kita
ya kekasih
ada bunga bakung yang indah
dan burung pipit
yang selalu mampir usir kuatir

di rumah kecil kita
ya kekasih
sayangnya tak ada bantal untukmu
atau kasur empuk penghalau lelah

sudahlah kawan
katamu ya kekasih
biar aku melipat-lipat rumah ini
menyelipkannya dalam hatimu
dalam relung hatimu

sn, sidoarjo, 040110, stlh ibdh pghbrn