26.11.09

Ketika Irman Maju ke Depan

Sinta maju ke depan kelas, memainkan pianikanya dengan baik sekali. Lagu Apuse ia selesaikan dengan tuntas. Nilainya seratus. Kemudian ia menyanyi. Lagunya Garuda Pancasila. Suaranya merdu dan bening. Seisi kelas terpana mendengarnya. Kelas yang tadi lemas, kini senyap beberapa kejap -- dibius kemerduan.

Sinta telah membuat perbedaan pada ujian praktek Kesenian hari ini. Tepukan tangan terdengar riuh rancak ketika ia selesai menyanyi.

Setelah Sinta maju, ada Ina, Adi, Anton, Abduh dan Yohanes. Permainan pianika mereka ada yang baik, ada yang buruk. Nyanyian mereka ada yang sumbang, ada yang merdu.

Tibalah giliran Irman. Ia berada pada urutan absen ke-11 dari 25 anak, namun memilih diuji terakhir. Ia berkata semalam tak bisa tidur. "Ibuku sakit keras, Bu Trisya," katanya padaku dengan lirih. Ia adalah anak yang telapak tangannya selalu berkeringat ketika berpikir. Ia mudah sekali mengantuk. Ia susah berkonsentrasi untuk sesuatu yang dikerjakannya. Ia pergi ke kantin sendirian setiap istirahat. Ia jarang tersenyum, kecuali padaku -- senyumnya pun tipis sekali. Ia membiarkan ejekan beberapa teman yang suka mengatainya penakut dan banci. Sesekali kulihat matanya merah menahan tangis. Namun demikian, ia tak banyak bicara; tak pernah juga mengadu ketidakadilan yang tampaknya sering mendera jiwanya. Dan kudengar-dengar, ibunya sendirian membesarkan Irman. Pekerjaannya tidak jelas, walau uang sekolahnya tak pernah terlambat dibayar. Kata orang-orang, ibunya bekerja di luar kota. Ia tinggal bersama pembantunya di dekat sekolahku di Sidoarjo.

Ketika nama Irman kupanggil, aku segera mengingat saat sebulan lalu ketika ia maju untuk bernyanyi. Begitu kecil suaranya, namun tak tega aku membentaknya untuk menyaringkan suaranya setelah memintanya berkali-kali agar bernyanyi lebih keras. Ia memandang ke arah langit-langit kelas ketika bernyanyi. Ia menuntaskan lagu Garuda Pancasila tanpa ada satu pun nada sumbang terkeluarkan. Namun, pada waktu itu, ia mendiamkan seluruh kelas dengan cara yang jauh lebih hebat daripada yang dilakukan Sinta barusan.

Kini, aku tak sabar melihatnya memainkan pianika dan bernyanyi. Ketika ia maju, aku melihat beberapa tetes air jatuh dari tangan kanannya yang sedang tidak memegang pianika. Aku tertunduk seketika setelah melihat tetesan-tetesan itu. Betapa ia terlihat seperti orang tua -- lemah, ringkih, dan tanpa daya.

Ia kemudian memasangkan tangan kirinya pada bagian bawah pianikanya. Dipasangkan peniupnya, lalu hendak ditiupnya pianika itu. Aku memandang bibir dan jarinya bergantian selama beberapa detik, menunggunya meniup pianika itu. Ia melirik sebentar ke arahku, aku mengangguk. Ditiupnya pianika itu, akhirnya.

Tak ada kesalahan sama sekali. Sempurna. Seisi kelas bahkan bertepuk tangan demi mendengar nada-nada itu tersuarakan. Sementara di depan kelas, pianika Irman dan lantai di sekitar ia berdiri penuh tetesan keringat.

Namun bagian yang kuharapkan menjadi bagian terbaik belum tiba. Aku menunggu Irman memperdengarkan suara merdunya -- dengan lebih lantang -- kali ini. Aku memintanya mengambil nafas beberapa saat sebelum ia bernyanyi. Aku membesarkan hatinya dengan menyatakan suaranya bagus dan merdu. Seisi kelas bahkan kini sabar menunggu.

Ketika Irman sudah siap mengangkat suara untuk bernyanyi, tiba-tiba, dari jendela kelas aku melihat seseorang yang kukenal datang menuju kelasku. Pembantu Irman yang datang. Dari kejauhan tampak matanya sembab. Ada apa gerangan?

"Ibu Irman ada di rumah sakit, Bu Trisya," katanya kepadaku.

"Dan kini dia sedang...." Ia tak melanjutkan apa yang hendak dikatakannya. Ia memohon ijin kepadaku agar membawa Irman ke rumah sakit. Irman tiba-tiba menangis. Isakannya pelan, namun air matanya deras mengalir.

Aku melepas kepergian keduanya tanpa banyak bicara.

***

Waktu ujian praktek telah berlalu. Irman tak lagi menjadi muridku. Ia datang di awal semester ini, dan menghilang menjelang akhir semester ini. Ia menghilang begitu cepat -- seperti hawa sejuk yang buru-buru pergi di Sidoarjo ketika pagi beranjak siang.

Ibunya telah menghadap Sang Khalik ketika Irman maju ke depan kelas untuk bernyanyi, atau mungkin sebelum memainkan pianika, atau mungkin juga sebelum ia dipanggil maju ke depan kelas. Seorang pria telah berlaku kejam pada ibunya di malam sebelum Irman diuji bernyanyi dan memainkan pianika. Seorang pria yang jadi pelanggannya. Ibu Irman, yang ternyata bekerja sebagai wanita penghibur di Tretes, sedang tidak sehat, namun memaksa diri tetap bekerja malam itu.

Akhir tahun akan segera datang. Ujian akhir semester akan segera digelar. Irman masih menyisakan jejak yang dapat kutelusuri. Aku berharap dapat menemukannya.

***

Sidik Nugroho
Sidoarjo, satu hari setelah Hari Guru 2009

23.11.09

sidoarjo

untuk cak oke, wong krembung

embun tak hanya menyisakan uap samar,
ketika diambung hangat cahaya mentari di pagi kelam,
di sekuntum atau hanya sekelopak bunga merah muda.
namun di segenap penjuru kota
: jejak mereka berupa kabut putih menggantung di angkasa!

uh la la... pemandangan beda, cak!

di pagi yang belum jangkep ini,
terasa air di bak mandi lebih hangat
mengena kaki yang telah terhembus angin beberapa menit

wajah-wajah sumringah mencari nafkah
bagai lupa pada segala kesah
akibat debu dan panas yang bikin gerah

"... and i think to myself, what a wonderful world,"
kunyanyikan kali ini; padahal biasanya,
kunyanyikan lagu malaysia itu
: "suci dalam debu"

sidoarjo, 23.11.2009
isuk-isuk, sak durunge budal kerjo

19.11.09

Waktu: Sang Penguji Cinta

Di suatu pulau kecil, Cinta tinggal bersama-sama dengan Kesedihan, Kekayaan, Kebahagiaan dan Kecantikan. Suatu hari ada banjir besar datang.

Kekayaan lewat, dan Cinta dibiarkannya dengan alasan perahunya sudah penuh harta benda. Kebahagiaan lewat, juga menaiki sebuah perahu. Namun, teriakan minta tolong Cinta tak didengarnya -- saking bahagianya ia menemukan perahu. Kecantikan kemudian lewat. Tatkala dilihatnya Cinta yang basah kuyup dan kotor, ia tak peduli. Terakhir, lewatlah Kesedihan. Ketika melihat Cinta, ia menyatakan dirinya sedang terlalu sedih atas banjir yang sedang terjadi.

Cinta sendirian -- tanpa teman. Saat pulau itu hampir tenggelam total, lewatlah sebuah perahu. Cinta dibawanya serta... diselamatkannya. Ternyata, pendayung perahu itu bernama Waktu. Mengapa Cinta diselamatkan Waktu?

"Sebab, hanya Waktu yang tahu seberapa besar nilai sebuah Cinta," kata seseorang.

"L'uomo misura il tempo e il tempo misura l'oumo," kata sebuah pepatah Italia. Manusia mengukur waktu dan waktu mengukur manusia. Demikian pula keberadaan cinta dalam diri seseorang -- hanya waktu yang bisa mengukurnya.

Saudara, dalam dunia yang serba instan seperti sekarang ini, kita semakin gamang menerka sebuah cinta yang asli. Banyak kejahatan dilakukan atas nama cinta. Banyak bukti diminta demi meyakinkan sebuah keberadaan cinta. Tanpa kesetiaan dan komitmen cinta kerap diumbar demi memuaskan nafsu. Namun, pada akhirnya, hanya cinta yang disertai ketulusan yang akan tetap bertahan ketika waktu mengujinya. (~s.n~)

"Cinta yang asli tahan uji; sementara yang palsu tak mampu menahan diri."

Catatan: Terima kasih untuk Iqbal Dawami yang sudah menghadirkan ilustrasi menarik tentang cinta dan waktu dalam bukunya berjudul Cita-cita. Terima kasih untuk Pak Johannes Sumardianta yang telah menampilkan adagium Italia yang kukutip. Kubuat renungan ini untuk Blessing, dan Wahyu Indah, seorang anggota FPKM (Forum Penulis Kota Malang) yang akan segera mengakhiri masa lajangnya.

14.11.09

Petualangan Karena Kenangan Itu

"Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka." (Pengkhotbah 4:9)

Sepasang insan sejak kecil membangun kebersamaan hingga salah satu dari mereka meninggal. Di masa-masa mereka hidup bersama setelah menikah, kesahajaan dan kesetiaan mewarnai hari-hari hidup mereka. Namun sayang, mereka tak mempunyai seorang putra. Si pria yang telah tua, suatu hari, karena kesepian yang mengusik hidupnya, akhirnya memutuskan berpetualang dengan cara yang aneh.

Ia mengikatkan ribuan balon gas pada rumahnya. Rumahnya terangkat dan petualangan ke belahan dunia lain pun bermula. Bekal dan pemantik niat si pria berpetualang adalah sebuah buku diari peninggalan istrinya. Di sana terdapat sebuah gambar air terjun yang sangat ia harapkan untuk dikunjunginya suatu ketika. Harapan yang gagal -- si istri telah meninggal duluan.

Pada akhirnya, si pria tua berhasil sampai ke air terjun itu. Air terjun yang jauh dari tempat tinggalnya. Sebuah air terjun yang indah. Sebuah air terjun yang berhasil ia capai karena ia tak mau melupakan impian orang yang paling ia kasihi -- yang telah lama menjadi impiannya juga. Walau istrinya telah tiada, ia jelajah dunia untuk menyatakan kasihnya.

Film kartun berjudul Up ini mengetuk naluri kita untuk senantiasa mengasihi. Kenangan akan orang yang dikasihi, dipadu dengan memori akan kebersamaan dengannya yang membuat kita tahu apa isi hati terdalamnya, ternyata membuat hidup ini amat bermakna. Ya, kebersamaan kita dengan seseorang, yang menyatukan mimpi-mimpi kita dengannya, akan menjadi hal yang paling membentuk kehidupan kita. (~s.n~)

Baca resensi yang indah dari film Up di sini.

12.11.09

Yang Diharapkan Ketika Kembali

Hampir tiap akhir pekan saya pulang ke Malang sejak dua setengah tahun lalu. Saya bekerja di Sidoarjo, sementara kedua orang tua saya tinggal di Malang. Ada saat-saat yang selalu saya tunggu setiap akhir pekan ketika kembali bertemu dengan keluarga. Saat-saat ketika saya dan orang tua saling bercerita di meja makan tentang kehidupan kami masing-masing.

Juga, saat-saat ketika seorang keponakan saya yang masih balita dulu selalu menyambut saya ketika mendengar bunyi pagar rumah dibuka. Dia akan berlari keluar, menyerukan nama saya, lalu minta digendong. Dia senang kalau saya ajak melihati kambing-domba dan beberapa ikan di kolam yang ada di dekat sawah di sekitar perumahan kami.

"Setiap orang yang baru tiba dari bepergian jauh selalu mengharapkan seseorang menunggunya di stasiun atau bandara. Setiap orang ingin menceritakan kisahnya dan membagi kepedihan hati atau sukacitanya dengan keluarganya, yang menunggunya untuk pulang," kata seorang yang bijaksana.

Hal itu memang benar. Itulah yang membuktikan bahwa manusia tak dapat hidup sendiri. Manusia mengharapkan adanya orang lain ketika ia kembali dari suatu tempat. Ketika kita menutup diri untuk diterima orang lain, sesungguhnya tindakan ini akan mengecilkan arti diri kita yang sesungguhnya. Jurang yang dalam berupa prinsip atau tujuan hidup memang dapat menjadi pemisah sebuah relasi. Namun, kita tetap dapat dikasihi, meskipun kadang orang yang mengasihi kita tak selalu sejalan-sepikiran dengan kita. (~s.n~)

9.11.09

Kepahlawanan Maximilian Kolbe

"Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya." (Yohanes 15:13)

Bila Anda pernah membolak-balik buku sejarah, atau menonton film "Schindler's List", "Life is Beautiful", atau "Anne Frank", Anda mungkin akan tahu bagaimana situasi pada zaman Nazi berkuasa. Serba muram, tanpa harapan.

Seorang pria yang menganggap dirinya sebagai "Penerus Tugas-tugas Martin Luther yang Belum Selesai" dan menebarkan ajaran bahwa semua orang Yahudi itu perlu dibasmi karena merekalah bangsa yang membunuh Yesus, tampil menguasai dunia. Adolf Hitler namanya. Kamp-kamp konsentrasi dibangun. Kamp-kamp untuk menampung mereka yang suatu saat akan dibunuh.

Juli 1941, seorang tahanan perang menghilang dari Auschwitz, sebuah kamp konsentrasi Nazi bagi orang Yahudi di sebelah selatan Polandia. Para Nazi berang. Jika dalam waktu 24 jam tahanan itu tak ditemukan, 10 orang dari 600 orang di sana akan secara acak dipilih untuk dibunuh.

Waktu itu tiba. Seorang mantan serdadu akan turut dibunuh. Francis Gajowniczek namanya. Ketika menerima hukuman itu, Gajowniczek berteriak, "Oh anak-anakku, istriku yang malang!"

Keributan lalu muncul. Seorang pria yang dikenal suka membagi makanannya, ringkih, dan suka membimbing orang lain mengucapkan doa pengakuan dosa tampil ke depan. Ya, dia seorang imam Katolik. Dia berkata, "Saya ingin menggantikan tempat salah satu dari para tahanan ini." Dia menunjuk kepada Gajowniczek. "Yang itu."

Pria itu bernama Maximilian Kolbe. Ia seorang pria yang terbiasa hidup menderita sejak kecil.

Maximilian Kolbe dan 9 tahanan itu lalu dibawa ke sel bawah tanah, di sebuah blok. Di sana mereka disiksa dengan tidak diberi makan dan pakaian yang layak. Hingga dua minggu, hanya empat dari sepuluh orang yang bertahan hidup. Dan Pastor Kolbe meninggal terakhir, di hari ke-15, setelah disuntik mati.

Maximilian Kolbe, pria asal Polandia yang ringkih namun cerdas itu telah menggenapkan ajaran Kristus tentang kasih. Seorang pahlawan yang tak berjuang dengan senjata, namun menyerahkan dirinya sebagai pengganti orang lain. Mungkin, beberapa orang menganggap perbuatannya adalah tindakan putus-asa. Tidak. Dia tidak berputus-asa, namun hidup dengan penuh harapan.

Dia telah menentang Nazi lewat tulisan-tulisannya di Ksatria Immakulata, sebuah majalah yang dipimpinnya, yang telah terbit puluhan ribu eksemplar. Majalah itu merupakan produk dari sebuah gerakan yang dipimpinnya bernama Milisi Maria Immakulata. Gerakan ini lebih banyak memfokuskan perhatian kepada keimanan dan perubahan sosial. Sebuah gerakan yang bagi sebagian rohaniwan Katolik disayangkan untuk dipilih Kolbe, karena bisa saja ia memiliki karir cemerlang -- mengingat ia sudah mendapat gelar doktor filosofi di usia 21 tahun, dan kemudian gelar doktor teologi di usia 22 tahun.

Sejak ditangkap oleh Nazi pada tanggal 17 Februari 1941 karena telah dicap sebagai penentang paham Nazi, ia sering mengalami siksaan berat. Bersama 320 tahanan ia dijejalkan dalam sebuah gerbong yang panas ketika ditangkap. Suatu hari ia terantuk dan jatuh ketika sedang memikul kayu. Ia harus dirawat dan hanya mendapat jatah makanan setengah dari biasanya. Jatah setengah itu pun masih sering dibaginya lagi untuk beberapa tahanan lainnya.

Mengenang kepahlawanan, kasih, dan segenap hidupnya, seorang pria lain akhirnya menggelarinya Santo pada tanggal 10 Oktober 1982. Ia digelari "Santo Pelindung dari Abad Kesulitan Kita". Pria yang menggelarinya adalah Paus Yohanes Paulus II, yang semasa hidupnya juga merasakan panggilan Allah ketika Nazi mengobrak-abrik Polandia, negerinya, pada tahun 1939. Dalam sebuah film berjudul "Karol, a Man who Became Pope", diceritakan dengan indah panggilan yang menjamah hati Karol Wojtyla, sehingga ia akhirnya menjadi Paus.

Kekejaman rasialis telah membangkitkan para pahlawan. Sebagian pahlawan bersenjata, namun sebagian tak bersenjata. Yang terakhir berjuang dengan keberanian yang lebih besar -- walau kerap tidak populer dan tampak kurang maskulin. Maximilian Kolbe adalah satu di antaranya. Tentang hidupnya, Paus Yohanes Paulus II berkata:

"Berjuta-juta orang telah dikorbankan oleh kesombongan dari kekuasaan dan kegilaan dari rasialisme. Tetapi di tengah-tengah kegelapan tersebut bersinarlah tokoh Maximilian Kolbe. Di atas ruang kematian yang besar tersebut melayang-layanglah firman kehidupan-Nya yang ilahi dan kekal: kasih yang penuh penebusan."

Sidik Nugroho, 9 November 2009
Dari beberapa sumber

4.11.09

Dua Baju untuk Boneka Jessica

Pengantar: Cerpen anak ini pertama-tama ditulis untuk Jessica Lestari, keponakanku, saat dia berusia hampir tiga tahun dan mulai lancar bicara. Ke mana-mana Jessica selalu membawa sebuah boneka Teddy warna putih yang ia beri nama Pepeng.

JESSICA ulang tahun! Kini dia berusia tiga tahun! Sebagai hadiah ulang tahunnya, aku memberikan sebuah boneka Teddy Bear yang agak besar. Betapa ia senang dengan pemberian itu. Setiap hari ia tidur sambil memeluk boneka itu. Aku dan ibu senang sekali bila melihatnya tertidur pulas.

Seminggu setelah ulang tahunnya, aku, Ibu dan Jessica pergi ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan kami. Ketika kami mampir ke toko pakaian, Jessica memperhatikan sebuah baju kecil untuk bayi yang dipajang di etalase toko itu. Ia tak mengatakan apa-apa. Ibu membelikan Jessica beberapa pakaian baru untuk di rumah.

"Kak...," kata Jessica ketika ia mau tidur di malam hari.

"Ada apa, Dik?" kataku.

"Bonekaku kelihatannya kalau malam kedinginan. Kacian ya.... Mau tidak Kakak belikan baju untuknya?"

Oh tahulah aku mengapa tadi siang ia memperhatikan baju itu. Aku berpikir sejenak. Ya, anak kecil memang pikirannya kadang-kadang tak bisa ditebak.

"Boneka kan benda mati, Jessica. Boneka tidak bisa kedinginan," kataku menjelaskan.

Tapi Jessica berkilah. "Manucia caja bica kedinginan, apalagi boneka!"

Aku menjelaskan juga kepadanya bahwa boneka tak mempunyai nyawa dan perasaan, tapi ia tetap berkilah. Akhirnya, ia tidur juga, walaupun dengan wajah agak merengut.

Malang, kotaku, memang dingin, apalagi di awal musim hujan seperti sekarang. Jessica baru saja sembuh dari sakit. Salah satu penyebab sakitnya juga hawa dingin di kota ini. Jessica tampaknya tak ingin bonekanya sakit.

Ketika bangun di pagi hari Jessica merengut. Ibu juga telah mengetahui kalau Jessica ingin bonekanya dipasangi baju. Tapi, ibu mengatakan kalau belum sempat pergi ke pasar.

Ibuku menjadi guru di sebuah SD swasta. Ayahku kerja di luar kota, seminggu sekali baru pulang ke Malang. Aku sendiri sudah sekolah kelas 5 SD sekarang. Bila kami semua pergi, Jessica diasuh oleh nenekku.

"Nanti ibu belikan baju yang cocok buat adikmu ya," kata Ibu pagi itu.

"Benelan? Nanti Jeci tunggu lho...."

"Iya, pasti ibu belikan. Biar tidak kedinginan."

"Aciiik.... Bonekaku cayang... jangan cakit ya.... Kakak akan celalu melindungimu," kata Jessica kepada boneka itu sambil memeluknya dan membawanya ke mana-mana. Ia selalu menganggap boneka itu adiknya. Aku dan ibu berpandangan sambil tersenyum melihat tingkah Jessica.

Ketika ibu kembali ke rumah, ternyata ibu lupa membelikan baju untuk boneka Jessica. Ibu pulang agak terlambat karena rapat. Setelah rapat, ia lupa ke pasar! Jessica menangis tersedu-sedu. Kasihan sekali, dia kecewa. Tapi untunglah ia segera mengantuk, dan kemudian tidur. Sore harinya ibu tak sempat membelikan baju kecil itu untuk Jessica karena arisan. Ibu merasa bersalah.

"Sayang, ibu minta maaf ya. Besok pasti ibu belikan."

"Benelan? Jangan lupa lagi lho.... Nanti kacian bonekanya nangic."

"Ya, pasti ibu belikan, Nak."

Malam itu Jessica tidur dengan riang setelah sebelumnya ia berkata, "Dik, becok kamu gak kedinginan lagi. Malam ini tidul dengan tenang ya...."

***

KETIKA pulang sekolah, aku mendapati Jessica sedang memotong-motong kain lap yang ada di dapur seorang diri. Nenek sedang memasak di dapur.

"Untuk apa ini, Dik?"

"Untuk bikin baju Teddy," katanya.

"Jessica dari tadi mengguntingi lap itu. Tadi nenek sudah mencegahnya, tapi dia selalu melawan," kata Nenek. "Dia takut mamanya lupa lagi; terus nanti malam bonekanya kedinginan."

Aku berpikir sejenak. Dan... aku dapat ide!

"Kakak dulu punya kain yang tidak terpakai lho. Kainnya berwarna-warni. Ini kan kainnya jelek kalau untuk Teddy. Nanti Teddy kasihan karena bau kainnya enggak sedap."

"Maca cih? Mana kainnya?"

"Ada di lemari. Yuk kita lihat!"

Mata Jessica berbinar-binar ketika kain itu kutunjukkan kepadanya. Berwarna biru, merah dan hijau dengan garis-garis oranye. Ada juga gambar hati merah muda bertaburan acak di seluruh kain. Kain itu dulu akan kupakai untuk membuat celana pendek, tapi tidak jadi.

"Waaah, kita buat baju Teddy pakai kain ini? Wiiih, baguc cekaleee. Yuk kita buat!" katanya penuh semangat.

"Jangan kita yang buat, kan ada Pak Sodik yang bisa menjahit."

"Oh iya, ya.... Kita ke cana yuk!"

Siang itu aku dan Jessica membawa Teddy dan kain itu ke Pak Sodik, tukang jahit yang tinggal dekat perumahan kami. Kami berdua berjalan kaki. Kugandeng tangan adikku itu dengan sepenuh rasa sayang. Untunglah Pak Sodik cukup sabar sehingga ia mau saja ketika diminta membuatkan baju untuk boneka Jessica.

"Nanti malam paling sudah jadi. Datanglah ke sini. Ongkosnya lima ribu saja."

Kami lalu pulang. Ketika sampai di rumah, ibu juga datang dari sekolah.

"Bu... Bu... tadi aku cama kakak menjahit baju untuk adik!" katanya riang menyambut ibu.

"Oh ya? Ini ibu juga membawa sebuah baju kecil untuk adikmu."

"Mana, Bu?" tanya Jessica tak sabar.

Lalu ibuku menunjukkan sebuah baju kecil yang berwarna merah muda dan biru. Dan, aku ingat, itulah baju yang dipandangi Jessica ketika beberapa hari lalu kami pergi ke pasar.

"Ohhh, ini kan baju yang aku lihat dulu! Baguc cekaaaleee!"

Ibu dan aku berpandangan sambil tersenyum. Ah, ternyata ibu juga tahu kalau waktu itu Jessica melihati baju itu.

"Telima kacih, Bu! Telima kacih!"

"Nah, berarti adik kita ini sekarang punya dua baju. Nanti kalau salah satu bajunya kotor harus diganti dengan yang lain. Ingat itu, Jessi?" kata ibu.

Jessica tak menjawab apa-apa, hanya mengangguk dengan wajah senang. Ia lalu masuk ke kamar dan berteriak, "Hole!" berulang-ulang. Ia gembira sekali. Ibu dan aku hanya geleng-geleng kepala.

Beberapa saat kemudian Jessica menyanyikan lagu yang ia karang sendiri: "Betapa cenang hatiku, adikku punya dua baju."

***

Sidik Nugroho, Malang, 2007

1.11.09

Ke Pujon, ke Selorejo

Pujon, Kecamatan 1000 Sapi

Tidak seperti perjalananku ke Jembatan Suramadu dua minggu lalu, kali ini aku memang telah membuat rencana jauh-jauh hari sebelum pergi ke Pujon. Awalnya aku berencana ke Pujon dan Coban Rondo, sebuah tempat wisata air terjun, namun urung karena aku ingin sekali melihat sawah-sawah yang ada di Ngantang.

Jam 10 pagi aku berangkat dari Malang. Perjalanan ke Pujon yang melintasi kota Batu kutempuh sekitar sejam. Jarak Malang-Batu 17 kilometer, sementara Batu-Pujon sekitar 6 kilometer. Sebenarnya bisa lebih cepat dari sejam; ini karena sebelum ke Pujon aku mampir dulu di sebuah warung di Payung.

Payung adalah nama kompleks warung tenda permanen yang ada di sepanjang jalan Kota Batu bagian atas hingga mendekati Pujon. Beberapa warung di sini kebanyakan membuat betah pengunjungnya karena dari sini tampak pemandangan Kota Batu. Banyak orang pacaran di sini kalau malam Minggu. Di warung ini aku menggunakan kekerku melihat motor dan mobil yang berjalan dari Batu menuju Pujon yang berliuk-liuk dan mendaki.

Ada pemandangan yang menarik ketika aku berada di Payung: Beberapa pria muda sepertiku mengendarai sepeda gunung di sepanjang jalan di Payung. Gear yang memutar rantai sepeda mereka disetel pada yang paling kecil, untuk memudahkan genjotan-genjotan mereka. Aku salut pada semangat dan kekuatan mereka. Mengingatkanku pada Forrest Gump yang suka lari-lari.

Selama satu jam berikutnya aku berkeliling di wilayah Pujon. Pujon adalah sebuah kecamatan yang 75% penduduknya bermatapencarian sebagai peternak sapi perah. Selain peternakan, Pujon juga sebuah daerah pertanian. Banyak orang menanam kopi di Pujon.

Ketika hendak mengunjungi kantor pusat koperasi susu, aku dikabari kalau para karyawan dan pimpinannya sedang ada acara syukuran pada hari ini. Aku akhirnya berbincang-bincang dengan Pak Bambang, satpam yang menjaga sebuah kantor unit (cabang) koperasi susu di Pujon. Selain satpam, dia juga seorang peternak sapi perah.

Pak Bambang bercerita kalau dalam sehari bisa didapatkan 100 ton susu perah dari seluruh penduduk Pujon yang dijual ke koperasi. Koperasi kemudian menjual susu itu ke Nestle. Penduduk menyetor susu dua kali sehari: jam 6 pagi dan jam 4 sore. Seekor sapi perah yang sehat dapat menghasilkan 15 liter susu sehari, sementara harga susu per liter yang dibeli koperasi adalah Rp.3000,oo. Namun, keuntungan sekitar Rp.45.000,oo per hari untuk seekor sapi itu belum dipotong biaya perawatan dan makanan sapi.

Dalam bulan-bulan tertentu (biasanya di awal tahun) juga ada musim perah. Pada saat ini produksi susu biasanya meningkat agak drastis. Selain musim ini, para peternak mendapatkan perahan yang cukup banyak ketika sapi yang mereka miliki baru melahirkan.

Begitulah cerita-cerita tentang susu dan sapi dari Pak Bambang, seorang satpam yang tampak bijak, ramah dan senang bicara. Pak Bambang kemudian memberitahuku kalau tak jauh dari kantornya ada sebuah kandang besar yang dihuni banyak sapi. Kandang itu milik koperasi. Namun aku tak berhasil melihat kandang itu karena dikunci. Orang-orang yang menjaga kandang itu turut diundang acara syukuran yang diadakan koperasi.

Kutancap gas sepeda motorku menuju Ngantang, yang berjarak sekitar 14 kilometer dari Pujon. Ya, di Ngantang-lah Waduk Selorejo itu berada.

Selorejo, Waduk di Lahan yang Subur

Tak sampai setengah jam dari Pujon, aku sampai di Ngantang. Sama seperti di Pujon, udara di sini terasa sejuk. Aku tak langsung menuju ke Selorejo, namun berkendara satu kilometer lebih jauh, menuju sebuah warung persinggahan di Desa Sidorejo yang berpemandangan indah.

Di warung persinggahan ini aku ngopi sejenak. Aku ngopi di Warung Bu Renggo. Dari warung-warung persinggahan di sini, kita dapat melihat hampir seluruh bagian Waduk Selorejo dan lahan pertanian yang sangat luas. Hijau dan subur. Lahan pertanian ini, hampir seluruhnya ditanami padi.

Waduk Selorejo terbagi menjadi dua bagian besar. Keduanya tapi tetap menyatu dengan adanya sebuah bagian waduk mirip sungai. Waduk ini dibangun pada tahun 1963, dengan memanfaatkan sumber air dan sungai-sungai lebar yang mengalir di wilayah Pujon dan Ngantang. Sungai-sungai lebar itu oleh penduduk setempat dinamai "konto". Tujuh tahun kemudian, pada tahun 1970, bendungan yang menghadang aliran air dari sebuah konto terbesar jadi. Perlu waktu dua bulan untuk mengairi wilayah Waduk Selorejo di seberang bendungan agar tertutup air. Waduk ini memiliki luas sekitar 640 hektar. Di musim kemarau, luas itu dapat berkurang karena air menguap.

Aku sempat tidur hampir sejam di warung Bu Renggo. Di sana ada tikar lesehan disediakan. Padahal habis ngopi, kok ngantuk ya?

Setelah bangun tidur, aku memutar arah, menuju ke Waduk Selorejo.

Waduk Selorejo tampak agak sepi Sabtu ini. Kali ini, yang lebih banyak berkunjung adalah bapak-ibu dari beberapa rombongan yang tidak aku kenal. Bapak-ibu ini tampak senang, terutama mereka yang habis berkeliling waduk naik perahu motor. Bila menggunakan perahu dayung, daya tampung maksimalnya tiga sampai empat orang. Perahu motor bisa menampung selusinan orang. Namun, selain bapak-ibu itu, dalam kunjunganku beberapa kali ke sini, selalu ada saja para muda-mudi yang pacaran -- ya, kali ini pun ada. Aku mengeker mereka yang lagi asyik pacaran. Kelihatannya mesra sekali, pacaran di pinggir waduk. Asyik.

Dan yang juga mengasyikkan adalah ketenangan dan keheningan air di waduk ini. Nyaris tak ada gelombang di sini, kecuali bila sebuah perahu motor lewat. Aku sempat mengarang beberapa baris puisi untuk mengenang keheningan ini, namun puisi itu rasanya kurang kuat. Kutinggalkan saja akhirnya. Kurang asyik.

Di sekitar waduk ini banyak orang berjualan ikan bakar dan goreng. Ikan-ikan ini sebagian besar didapat dari memancing di Waduk Selorejo. Di waduk ini tersedia ikan nila, mujaer, tombro, wader, dan udang yang kecil-kecil. Dalam sehari bisa didapatkan 5 kuintal ikan dari Waduk Selorejo. Para nelayan di sini menangkap ikan menggunakan jaring yang lebar dan perahu dayung. "Ikan-ikan di sini tak pernah habis," kata seorang bapak yang berjualan minuman dan topi. "Orang-orang di pasar Ngantang kadang sampai nolak-nolak kalau ditawari ikan."

Karena hari masih siang, akhirnya aku tidur lagi di Waduk Selorejo. Aku mencari lokasi tidur di sebuah tempat yang agak sepi, di dekat cottage-cottage, di bagian timur lokasi wisata, dengan tujuan agar nantinya dapat mengambil gambar yang mantap kala mentari turun di barat. Cottage, atau rumah menginap di pinggir waduk ini, tampak anggun. Harga sewanya berkisar antara 400 ribu sampai 750 ribu per hari-malam. Perjalanan menuju ke sana melewati sebuah jembatan gantung yang cukup panjang, sekitar 50-60 meter. Jembatan gantung itu, bila dilewati, akan bergoyang-goyang. Ketika aku melintasinya, ada beberapa cewek yang juga lewat. Mereka teriak-teriak. "Wah, ndeso tenan," canda batinku.

Hari hampir sore ketika aku terbangun. Sayang, cuaca mendung. Aku hanya berhasil membuat beberapa gambar yang bagus. Hujan bahkan sempat turun sebelum waktu salat azhar. Ketika senja hampir usai, beberapa nelayan datang dengan perahu dayung mereka di sekitar tempat aku tadi berbaring dan tidur. Para nelayan inilah yang paling sering kukeker. Mereka tampak sabar sekali mencari ikan. Bersamaan dengan kedatangan para nelayan, hujan pun datang.

Untunglah hujan tidak lama mengguyur wilayah Ngantang. Hanya setengah jam. Saat hujan turun aku sempat kesal karena tak mendapatkan beberapa foto yang bagus. Padahal aku sudah menunggu momen itu. Ya, ini karena kameraku kamera lama. Foto bisa jadi bagus, kalau cuaca pun bagus. Tapi, tak apalah. Aku tetap bersyukur dengan apa yang kudapatkan pada perjalanan kali ini.

Sebelum pulang ke Malang, aku mampir lagi ke warung persinggahan di Sidorejo.

Hawa masih dingin, aku memesan segelas kopi lagi. Kali ini, aku tak lagi mengambil foto, hanya memandangi Waduk Selorejo dan sawah-sawah hijau yang perlahan-lahan gelap. Hanya beberapa lampu menyala, karena hanya sedikit rumah di sekitar Waduk Selorejo. Aku menikmati kopiku santai-santai hingga akhirnya kekelaman menjalari segenap angkasa yang terbentang di depan sepasang mataku -- kali ini tanpa keker.

Sidik Nugroho
Selorejo-Malang-Sidoarjo, 31 Oktober-1 November 2009

Catatan: Foto bisa di-klik untuk melihat gambar dengan lebih lega. Enjoy!