31.8.09

Merenungkan Cita-cita Bersama Secangkir Teh

Judul Buku: Cita-cita
Penulis: M. Iqbal Dawami
Penerbit: Diva Press
Tebal: 234 halaman
Cetakan Pertama, Mei 2009

"Keberhasilan adalah hak kita. Datangkanlah keberhasilan dengan cara-cara yang baik; perhatikan penggunaan waktu Anda, lalu lihatlah apa yang terjadi kemudian."

-- Mario Teguh

Kata-kata Mario Teguh di atas rasanya tepat benar mewakili hidup komponis besar Beethoven, seorang musisi yang amat terkenal dan melegenda -- utamanya karena ia terus berkreasi ketika tuli total saat dan setelah berusia lima puluh tahun.

Beethoven menjadi komponis besar karena ketekunannya. H.A. Rudall, penulis biografinya, menyatakan, "Pada musim dingin atau musim panas, Beethoven bangun pagi saat matahari terbit. Kemudian, dia duduk di depan meja tulisnya, dan terus menulis sampai waktu makan siang yang biasanya dia lakukan pada pukul dua atau tiga sore. Pekerjaannya tidak pernah terputus kecuali untuk berjalan-jalan mencari udara segar, tapi selalu dengan menuliskan notes untuk menuliskan inspirasi segar yang didapatnya saat berjalan."

Karya-karyanya kemudian bertahan lama, diakui banyak kalangan sebagai karya-karya yang hebat. Tanpa perjuangan yang keras, tidak mungkin ia bisa sehebat itu. Memang ada juga musisi yang sangat cerdas, seperti Mozart "Sang Anak Ajaib". Dalam sebuah buku disebutkan bahwa Mozart adalah orang yang sangat tergesa-gesa, selain suka berfoya-foya. Dibandingkan Beethoven, keteraturan dan kedisiplinannya dalam berkarya rasanya jauh berbeda.

Namun, tak bisa disangkal, musik-musik Mozart yang mewakili ekspresi-ekspresi spontan yang berawal dari kelelahannya, adalah musik-musik yang luar biasa. Sayangnya, Mozart mati muda. Beberapa orang beranggapan ini juga terjadi karena kekurangteraturan hidupnya.

Mozart dan Beethoven. Dua pribadi, dua kebiasaan. Dari keduanya kita dapat bercermin. Tak banyak orang yang lahir seperti Mozart. Ia dianugerahi Tuhan kecerdasan musikal yang sangat tinggi. Anggapan ini bukan berarti bahwa kemahirannya mencipta lagu tak perlu diasah dengan berlatih secara serius, namun lebih berdasarkan kenyataan bahwa dia memahami musik lebih cepat. Berbeda dengan Mozart, Beethoven lebih menyisakan jejak kehidupan yang lebih mungkin ditiru oleh pembaca riwayat hidupnya secara alami.

Ketelitian, kemahiran, dan keapikan sebuah karya lahir dari inspirasi tanpa henti yang terus digali dan dipelajari dalam hidup seseorang yang bercita-cita.

Nah, kali ini, Anda tidak sedang membaca sebuah ulasan atas buku tentang musik. Dalam buku inspirasi dan motivasi karya Iqbal Dawami ini, secuil kisah hidup Beethoven yang sangat menarik ini, rasanya sangat mewakili pesan penulisnya tentang hakikat hidup: kita harus memiliki cita-cita. Iqbal, lewat puspa-ragam kisah, ilustrasi dan pemikiran yang disampaikannya dalam buku ini, secara tegas hendak menggarisbawahi apa yang pernah dinyatakan John C. Maxwell: "Lebih baik Anda memiliki cita-cita dan kemudian tak berhasil meraihnya, daripada tak pernah memilikinya."

Dalam buku ini terdapat 23 renungan yang sarat dengan hikmah dan petuah. Semuanya merupakan artikel lepas pada awalnya, tak saling bersinggungan satu dengan yang lain. Yang menjadi benang merahnya adalah sebuah niat yang muncul dari penulisnya agar pembaca dapat mengubah kelemahan/kegagalan menuju optimisme/kekuatan hidup.

Iqbal adalah penulis yang kaya akan perspektif. Sebagian kisah atau ilustrasi yang ia gunakan di tiap-tiap artikelnya di buku ini mungkin sudah pernah Anda baca di internet. Namun, cara Iqbal mengurai dan menghadirkan penafsiran dari tiap kisah yang diangkatnya, terasa segar dan lain. Kita jadi betah menikmati apa yang disuguhkannya.

Selain itu, Iqbal adalah penulis yang berdimensi luas. Di buku ini kita akan mendapati artikel-artikel dengan beragam latar atau ilustrasi. Ada yang membahas hidup seorang penulis. Ada yang diangkat setelah menyaksikan sebuah film. Ada yang digarap dengan merenungkan dalam-dalam tentang hakikat dan hal-hal seputar cinta dan waktu. Semuanya menuntun kita untuk mengingat lagi -- juga merenungkan, bahkan menemukan -- apa yang harus kita utamakan dalam kehidupan ini, meraih cita-cita dan mengatasi berbagai persoalan hidup.

Sebagai saran penutup, bab-bab dalam buku ini, tak perlulah dibaca terburu-buru. Masing-masing menyediakan renungan yang indah dan tersendiri untuk dihayati. Ibarat meminum teh, kala malam seorang diri -- kita tak buru-buru menghabiskannya. Kita menyeruputnya pelan-pelan, menikmati kehangatan yang dihadirkannya di leher dan perut kita. Dan, meminum teh rasanya bukan hanya tepat menjadi ibarat bagi cara menikmati buku ini. Bila Anda suka meminum teh, rasanya akan nikmat sekali membalik-balik lembaran buku ini dalam kesunyian malam, ditemani secangkir teh.

Sidoarjo, 20 dan 31 Agustus 2009

Sidik Nugroho
Rakyat jelata yang sering gembira, penikmat buku dan teh, dan pengejar cita-cita yang agak malas.

27.8.09

potret

: untuk dua anugerah terbesar selain keselamatan

mencoba kueja
arti hening dan remang
yang diresahi nyanyian wanita itu sesekali
dengan sedikit bising dan sumbang
bersama hadirat suci pagi demi pagi
yang mengurai yakinnya yang teguh:
"anak-anakku dalam memori,
serah kuhaturkan dalam genggamanMu,
senantiasa"

coba-coba kupetakan
segala rekam-jejak
lelah tubuh dan daya-juang pria itu di masa lalu
ketika angin pagi mendesiri raganya sambil pergi
sunyi, dari kota ke kota, pagi demi pagi
resah dan asa berpadu di jiwa:
"anak-anakku dalam angan,
sejahteralah masa depan mereka,
selalu"

sidoarjo, 27 agustus 2009
: malam, setelah memandangi sebuah potret dua manusia

Rekonstruksi Pembelajaran Budaya

oleh: Sidik Nugroho*)

Kecolongan Budaya

Dalam tulisannya di Jawa Pos tanggal 24 Agustus 2009, dosen dan peneliti pariwisata Universitas Widya Kartika Surabaya, Dewa Gde Satrya, mengajukan pertanyaan yang menempelak rasa kepemilikan kita atas beraneka kekayaan budaya bangsa: "… apakah kita telah memanfaatkan secara optimal warisan-warisan mahakarya itu sembari melestarikannya di zaman modern ini, ketimbang menggandrungi produk budaya modern dari negara asing (Barat)?"

Tulisannya itu mengurai dengan telak hal-hal apa saja yang selama ini telah kita pinggirkan dalam elemen-elemen budaya kita. Utamanya, ini berkaitan dengan yang baru-baru ini terjadi: klaim tari Pendet yang dilakukan oleh Malaysia – sesuai judul tulisannya Klaim Tari Pendet oleh Malaysia. Ya, Malaysia bukan hanya kali ini mencolong budaya kita. Sebelum ini, mereka mengklaim angklung, Reog Ponorogo, batik, dan yang cukup menghebohkan adalah lagu bertajuk Rasa Sayange sebagai milik mereka.

"Selama ini kebudayaan dipinggirkan. Pemerintah dan masyarakat tak lagi peduli," kata budayawan Radhar Panca Dahana, mengomentari hal ini. Dalam catatan sejarah Orde Lama, konflik antara Indonesia dengan Malaysia cukup tegang, walau kemudian di masa Orde Baru tampak harmonis. Namun, di masa kini mereka mulai menyulut kembali ketegangan konflik dengan perlakuan yang tidak baik terhadap beberapa Tenaga Kerja Indonesia (TKI), klaim produk budaya, dan melanggar batas wilayah RI. Terhadap hal yang terakhir, Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan reaksi cukup berani dengan menyatakan negara kita siap berperang untuk menjaga kedaulatan.

Jati Diri yang Punah

Ketegangan konflik yang dimuarakan dalam tindakan kekerasan atau perang yang bersimbah darah menjadi ciri khas negara-negara kapitalis yang merasa kuat dan cenderung serakah. Imbasnya belum tentu kemenangan dan kejayaan, namun bisa jadi keterpurukan. Nah, rasanya kita perlu memikirkan solusi lain yang perlu ditempuh mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah dengan bagaimana kita mengemas pembelajaran budaya dalam kelas-kelas di sekolah-sekolah kita.

Radhar Panca Dahana dan Dewa Gde Satrya benar. Kita telah kehilangan rasa memiliki – juga kehilangan upaya memikirkan manfaat – produk-produk budaya kita. Kita menyantap lahap-lahap produk-produk budaya kapitalis yang disuapkan lewat iklan, film, produk, dan siaran-siaran di televisi, sementara melupakan budaya bangsa sendiri dalam pendidikan kita.

Sementara itu pula, muncul pihak lain yang anti-kapitalis, yang resah melihat Amerika dan Barat menancapkan berbagai pengaruhnya di dunia global. Mereka kemudian melakukan kekerasan dengan mengadakan teror dan ledakan bom di mana-mana sebagai wujud perlawanan.

Kapitalisme tumbuh subur di negeri yang permai, yang telah didirikan dengan perjuangan para nasionalis yang mengucurkan darah. Terorisme diminati di negeri yang kini telah kehilangan pegangan dan lupa sejarah. Jikalau ini terus-menerus berlangsung, kita tidak akan pernah tahu akan jadi apa kita nantinya.

Merangkai Pembelajaran Budaya

Pembelajaran budaya, dalam kurikulum kita saat ini, paling tidak termaktub dalam tiga mata pelajaran, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budi Pekerti. (Yang terakhir disebut tidak diajarkan di semua sekolah.) Sayangnya, ketiga bidang studi ini kalah saing bila dibandingkan dengan pelajaran ilmu pasti atau sains seperti Matematika, Kimia, atau Fisika. Sejak Indonesia berprestasi dan kini punya andil dalam berbagai perhelatan, lomba atau olimpiade bidang-bidang studi ilmu pasti tersebut, pembelajaran budaya tampak kian dinomorduakan.

Tentunya, prestasi-prestasi dalam bidang ilmu-ilmu pasti tersebut mengharumkan nama bangsa; tak serta-merta bisa dijadikan alasan untuk menuding kurangnya kegairahan pembelajaran budaya. Yang vital disoroti adalah bagaimana pembelajaran budaya itu sendiri diajarkan, sehingga tampak menarik sekaligus menantang. Dari situ para pengajar ilmu-ilmu sosial-budaya semestinya bercermin dan berefleksi: jika selama ini ada beraneka event yang merangsang para siswa untuk berlomba-lomba mengikuti suatu perlombaan sains, apa yang dapat dibuat untuk menggairahkan siswa mempelajari budaya?

Perlu ada upaya rekonstruksi dalam pembelajaran budaya – untuk mengasah kembali nasionalisme dan menumbuhkan kecintaan pada budaya bangsa sendiri. Rekonstruksi ini, paling tidak mencakup dua hal utama yang perlu diperhatikan.

Pertama, modifikasi sumber belajar. Hal ini berkaitan dengan sering dikeluhkannya buku pelajaran ilmu-ilmu sosial yang monoton: kurang dinamis, banyak menghapal dan terkesan datar. Kurikulum sekarang sebenarnya telah memberikan cukup ruang untuk memantik dinamika itu. Dengan penetapan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam tiap mata pelajaran yang sudah menjadi acuan baku dalam pengembangan bahan ajar, mestinya buku-buku pelajaran sekarang dikemas lebih memikat dan memancing minat belajar para peserta didik.

Kedua, inovasi guru dalam mengemas pembelajaran; juga termasuk memodifikasi atas sumber belajar. Sedapat mungkin, ilmu-ilmu sosial dan budaya tersaji menarik dengan metode dan pendekatan yang beragam – tak melulu berisi ceramah. Guru-guru juga perlu memiliki penghayatan yang baik atas nilai-nilai luhur bangsa ini – yang perlu senantiasa diwariskan kepada para peserta didik. Meminjam istilah St. Kartono, seorang guru di Yogyakarta, seorang guru semestinya "tak hanya numpang hidup dari pendidikan, tapi menghidupi pendidikan."

Kalau bukan anak-anak didik kita yang kini masih sekolah, siapa lagi yang akan tetap mempertahankan budaya negeri ini? Semoga para guru dan pendidik tergugah untuk merekonstruksi kelas-kelas pembelajaran budaya kita. Baiklah kita berkaca pada sejarah yang menyebutkan bahwa bangsa ini di masa lalu memiliki banyak guru dan pendidik yang hebat. Ya, kalau mereka tidak hebat, Malaysia tidak mungkin mengimpor para pengajar dari negeri ini di masa lalu, 'kan? (*)

*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo

22.8.09

Tolok Ukur Kehidupan Bermartabat

Sidik Nugroho*)

Judul Buku: Simply Amazing, Insprasi Menyentuh Bergelimang Makna
Penulis: J. Sumardianta
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: xv + 188 halaman
Cetakan pertama, April 2009

"Doa melahirkan percaya, percaya melahirkan cinta, cinta melahirkan pelayanan, pelayanan melahirkan perdamaian," begitu Bunda Teresa suatu ketika pernah berujar. Kata-kata ini tepat benar bila disandingkan dengan hidup seorang biarawan bernama Yusuf Biliarta Mangunwijaya, yang akrab disapa Romo Mangun.

Suatu ketika Romo Mangun diundang berbagi gagasan tentang reformasi dalam sebuah acara. Ia menyanggupi asalkan anak-anak asuh yang dibawanya turut serta. Mereka lalu dibawa ke Restoran Morolejar di lereng Gunung Merapi.

Setelah berbicara ngalor-ngidul soal kenegaraan, anak-anak asuh Sang Romo terpana-pana melihat suguhan restoran yang memikat dan memantik air liur: gurame bakar asam manis komplet dengan nasi rojolele yang mengepulkan asap! Mereka pun makan dengan lahap sampai kekenyangan.

Saat itu Sang Romo melihat ada makanan yang tak dihabiskan. Anak-anaknya menyatakan mereka sudah terlalu kenyang. Romo akhirnya meminta remah-reman makanan tidak habis itu untuk dituang ke piringnya. Adegan itu membuat penyelenggara acara terharu. Namun, kalau Anda mengenal siapa Romo Mangun, Anda tahu bukan hanya saat itu, tapi di sepanjang hidupnya, ia adalah tokoh yang sangat greteh (cermat) dalam soal makanan.

Kita yang seringkali menyia-nyiakan makanan, mungkin dapat berefleksi dari cerita ini: Kesederhanaan hidup mendatangkan kebahagiaan. Yang lebih membahagiakan lagi adalah ketika dalam kekayaan yang kita miliki, kita tetap hidup sederhana karena berempati atas kehidupan orang lain yang menderita, seraya berderma untuk menunjang kesejahteraan orang lain. Memang, kemewahan tak selalu buruk, namun kemewahan yang didasari niat pamer dan berfoya-foya sangatlah buruk. Hidup irit itu baik, namun bila selalu medit dan kikir dengan berdalih sedang mengirit itu amat jelek.

Demikianlah beragam pemikiran tentang hidup yang bersahaja, yang disajikan lewat rekam jejak kehidupan para tokoh yang ditemui penulisnya lewat buku Simply Amazing ini. Penulis bernama J. Sumardianta, yang adalah seorang guru Sosiologi SMA De Britto di Yogyakarta ini, merangkai 34 kisah yang menawan dan menyentuh hati. Pak Guru, sapaan akrab untuk penulis, mengumpulkan lagi tulisan-tulisannya -- yang sebagian besar adalah esai-esai tentang perbukuan yang pernah dimuat di media cetak -- yang kemudian dijadikan satu dalam buku ini.

Esai-esai ini umumnya tak tampil dengan bahasa yang berat atau akademis, namun sangat inspiratif. Selain inspiratif, kata-kata yang dipilih Pak Guru benar-benar selektif. Pak Guru lihai memadukan berbagai pribahasa dan falsafah Jawa, slogan atau idiom Yunani, kutipan Hadits, hingga kata-kata retoris beberapa motivator sehingga esai-esainya tampil memikat dan berbobot.

Bobot tulisan-tulisan dalam buku ini juga terletak pada cara pandang Pak Guru dalam menyampaikan gagasan-gagasannya seputar kehidupan yang bermartabat. Martabat, dari esai-esai Pak Guru, sesungguhnya tidak ditentukan dari seberapa kaya dan tenarnya diri kita, tapi dari seberapa tinggi penghargaan yang kita berikan bagi tiap jerih-lelah dan upaya meraih kebahagiaan dalam kejujuran, integritas dan pengorbanan.

Mbah Setyowikromo adalah pria bersahaja yang amat bermartabat. Ia memiliki istri bernama Khatijah. Setiap pagi Khatijah menyuguhkan teh hangat sebelum Mbah Setyo jualan arang ke Yogya yang jaraknya sekitar 40 kilometer dari Desa Suko, tempat mereka tinggal. Jualan arang tak mendatangkan untung banyak, sehari berkisar antara 2 hingga 5 ribu rupiah.

Hasil kecil dari pekerjaan yang telah digeluti Mbah Setyowikromo sejak zaman Belanda ini serta-merta membuat Mbah Setyo tak pernah jajan waktu di Yogya. Ia hanya makan sekali sehari, setelah istrinya yang berdagang daun jati menunggunya tiba di rumah. Dari hidup yang sederhana itu, keduanya ternyata masih sempat menabung. Tujuannya menabung adalah agar bisa menyumbang uang 20 hingga 25 ribu rupiah bila tetangga punya hajatan. "Masak kalau kami diberi bingkisan dengan lauk ayam goreng utuh, kami tega memakannya begitu saja?" kata Khatijah.

Perjuangan, tekad, dan pandangan hidup sepasang suami istri yang dikisahkan ulang oleh Pak Guru dari buku karya Sindhunata Segelas Beras untuk Berdua ini rasanya menjadi cermin yang bening nian bagi gaya hidup manusia-manusia perkotaan yang kadang mencari uang dengan cara tidak halal, sering tidak setia, lupa membalas kebaikan dari orang lain, dan telah rabun akut dalam melihat -- juga turut berempati atas -- upaya-upaya orang lain dalam memaknai dan menghargai hidup.

Upaya Pak Guru menghadirkan esai yang inspiratif sarat dengan balutan nilai-nilai spiritual lintas agama. Dalam sebuah bab Pak Guru mengurai dengan gamblang butir-butir pemikiran Al Ghazali (1058-1111) atas karyanya berjudul Ihya' Ulum Al-Din. Ia menyebut Al Ghazali sebagai pemikir terbesar etika politik Islam yang menekankan pentingnya tasawuf. Tasawuf berperan dalam membangun ortodoksi Islam dengan mengedepankan sufisme sebagai upaya pendisiplinan jiwa yang bermartabat.

Bukan hanya ilmuwan luar negeri, Pak Guru juga mengisahkan beberapa ilmuwan Indonesia yang hidupnya diabdikan total bagi perkembangan ilmu. Adalah Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan terkemuka, yang pernah menyebutkan bahwa beberapa ilmuwan yang ada di Indonesia lahir karena bagi mereka, "hidup ini tidak ditentukan oleh nasi." Mereka mendalami sejarah karena mereka benar-benar cinta sejarah. Sartono pernah menceritakan beberapa orang yang hampir abai terhadap uang, mempelajari sejarah dengan ketekunan yang amat tinggi, hingga ilmu itu bagai menjadi sebuah jalan lain untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Semua kisah dalam buku ini pada akhirnya bermuara pada hakikat hidup manusia yang harus senantiasa kembali kepada fitrahnya: berkarya dan berbuat sesuatu. Fitrah itu, bila dipadu dengan minat dan kemampuan yang memadai, akan menghasilkan sesuatu yang berarti dan berguna. Hasrat yang besar adalah nafas dari perpaduan itu, yang memampukan seseorang untuk terus maju dan tak mudah menyerah. Tampaknya, inilah tolok ukur hidup bermartabat, yang menjadi jejak kembara Pak Guru atas buku demi buku, manusia demi manusia. ***

*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penikmat buku yang punya blog di http://tuanmalam.blogspot.com

19.8.09

Jejak Kembara Perenung Pluralis

Sidik Nugroho*)

Judul Buku: Simply Amazing, Insprasi Menyentuh Bergelimang Makna
Penulis: J. Sumardianta
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal buku: xv + 188 halaman
Cetakan pertama, April 2009

"Segala yang tidak kita berikan akan lenyap sia-sia," demikian pepatah India yang rasanya tepat benar menjadi roh dari buku Simply Amazing, Insprasi Menyentuh Bergelimang Makna karya J. Sumardianta ini. Penulis yang akrab dipanggil "Pak Guru" ini merangkai puluhan kisah yang sarat makna dan renungan dalam bukunya. Sehari-hari ia mengajar sebagai guru Sosiologi di SMA De Britto Jogja; dan kali ini Pak Guru yang getol membaca dan menulis ini mencoba memberikan hasil kembaranya kepada sidang pembaca.

Kembara Pak Guru dari buku ke buku, tokoh ke tokoh, tersaji dalam esai-esai yang berdaya tarik tersendiri lewat cara Pak Guru bertutur. Esai-esai puspa ragam yang dikumpulkan dalam buku ini telah tersebar di berbagai media massa sebelumnya. Esai-esai ini nyaman disimak, berdiksi mantap, dan memuat refleksi dengan gizi yang tinggi. Seperti Andy F. Noya yang mampu menguak sisi termenarik dari tiap orang yang diundangnya berbincang-bincang, Pak Guru juga menyuguhkan beraneka dimensi kekayaan batin dari tiap tokoh dan buku yang disebutnya -- yang ujung-ujungnya menghadirkan pencerahan belaka.

Di dalam buku ini ada esai dari buku Dominique Lapierre, pengarang novel City of Joy yang mahalaris. Buku Dominique yang di dalamnya mengisahkan seorang penarik angkong (di India disebut ricksaw) bernama Hasari ini sangat mempesona Pak Guru. Dalam bincang-bincang di Perpustakaan Umum kota Malang tanggal 31 Mei 2009 Pak Guru mengaku membaca buku dan menonton film adaptasi City of Joy berkali-kali. Hasari yang hidupnya bersahaja, biasa menanggung penderitaan, bahkan menjual anggota badannya di perusahaan pembuat alat peraga fakultas kedokteran untuk pernikahan Amrita putrinya, menyulut pengamatan Pak Guru yang jeli atas berbagai fenomena kemiskinan di negeri ini.

Kesahajaan, kemiskinan, dan penderitaan tampaknya selalu menjadi hal yang menarik bagi Pak Guru yang mengaku introvert dan menarik diri dari peredaran sosial ini. Dengan lugas dan tanpa tedeng aling-aling ia mengisahkan juga beberapa tokoh yang dalam kemiskinannya tetap hidup bermartabat, lalu mengaitkannya dengan kondisi jiwa rakyat bangsa ini yang makin lama makin hedonis, konsumtif, serba penuh kepalsuan dan tidak pernah puas. Hidup bermartabat dalam kemiskinan kemudian ia jadikan dasar untuk menelanjangi tayangan-tayangan "idiotainment" (olok-oloknya atas infotainment) yang hanya menghadirkan berita kawin-cerai, pesta pora, dan selingkuh para public figure; juga para politisi dan penguasa yang haus kekuasaan, berkedok pamrih dan keserakahan ketika mengatasnamakan berjuang demi rakyat dan keadilan.

Namun, Pak Guru tak berkutat dalam kemiskinan melulu. "Kaya bermanfaat, miskin bermartabat", demikian salah satu judul tulisannya di buku ini. Dalam kembaranya yang lain atas berbagai buku dan tokoh, lahir pula ulasannya atas orang-orang berduit yang dianggapnya mencapai puncak keberhasilan karena menemukan cara-cara kreatif dalam menangani pergumulan hidup. Ia yakin akan kebenaran dari pernyataan Robert Holden: "Hanya jika Anda pernah terhempas di lembah ketiadaan paling kelam, Anda baru akan tahu betapa hebat dan nikmatnya berada di puncak gunung keberhasilan."

Setidaknya ada dua orang orang sukses yang bisa mewakili kekagumannya akan perjuangan hidup mereka. Pertama adalah Thomas Sugiarto, lewat bukunya berjudul Your Great Success Start from Now. Thomas disebut Pak Guru sebagai seorang yang telah mencapai financial and time freedom. Ia seorang penjual asuransi yang menerapkan cara kerja leveraging system (konsep bekerja dengan seribu tangan) demi mencapai cita-cita tak banyak menguras energi dan pikiran (pensiun) saat berusia 45 tahun, dan berpenghasilan semilyar pada tahun 2012 nanti.

Kedua adalah Dahlan Iskan, CEO grup Jawa Pos yang di kelas 3 SMA hanya mampu memiliki sepatu rombeng dan sepeda butut, dan sering ngiler di masa kecilnya ketika melihat teman-temannya minum dawet karena tidak punya uang untuk membelinya. Membaca buku karya Yu Shi Gan (nama Tiongkok Dahlan Iskan) berjudul Ganti Hati yang laris-manis, Pak Guru dengan jeli mengurai daya tahan hidup Dahlan Iskan, lalu mengaitkannya dengan pemikiran Sindhunata lewat puisinya berjudul Ngelmu Pring. Puisi bahasa Jawa ini, sebuah baitnya berbunyi: "Ora gampang tugel merga melur" (Tidak gampang patah karena lentur). Ya, kelenturan hati tercipta dalam sosok Dahlan Iskan akibat sudah biasa menanggung derita yang mendera jiwa-raganya sejak muda.

Pak Guru, dalam bukunya ini juga merangkai sekelumit kisah hidupnya sendiri. Ia berjuang menjadi seorang guru bermartabat yang selalu menghadirkan informasi terkini bagi murid-muridnya lewat membaca. Itulah alasan mengapa ia terjun untuk menulis sesuatu dari apa yang dibacanya di sela-sela kesibukan mengajar. Ia juga mengisahkan SMA De Britto yang guru-gurunya rajin menulis. Ada St. Kartono pengarang buku Menebus Pendidikan yang Tergadai di sana yang disebutnya sebagai orang yang memulai tradisi menulis di kalangan guru SMA De Britto. Hingga kini, tulisan-tulisan Pak Guru masih menghiasi berbagai media cetak, utamanya tulisan berjenis ulasan buku. Di Indonesia, penulis ulasan buku masih terbilang sedikit. Bagi Anda yang ingin menakar kadar suatu buku dengan lebih dalam dan inspiratif; sehingga menjadikan sebuah esai atau ulasan lebih bernas dan menarik untuk dibanca tuntas, buku ini sangat baik untuk menjadi acuan.

Pak Guru pun fasih menarik benang merah muatan penting sebuah buku dengan berbagai adagium, kutipan, atau idiom berbahasa Latin. Falsafah Jawa bertaburan di sepanjang buku. Kutipan hadits juga ada. Nilai-nilai Hindu bersanding manis bersama kutipan dari biarawati seperti Bunda Teresa. Kisah-kisah yang ada di buku ini tertutur begitu lugas: tak menghiraukan latar belakang agama, suku-bangsa, atau status sosial. Semuanya merupakan jejak kembara seorang guru berjiwa pluralis dalam upayanya memetakan jati diri manusia, pergumulan hidupnya dan daya juangnya di tengah pelbagai kemelut hidup. (*)

*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan penikmat buku

13.8.09

Hantu-hantu di Sekitar Dwiwarna

/1/

Adi hampir terlambat masuk sekolah. Perutnya mulas. Ia bimbang untuk tetap ikut upacara apa tidak. Mendengar bunyi bel sekolah yang mirip alarm kebakaran, gelisahnya tersulut. Setelah hatinya menimbang-nimbang sambil mengingat-ingat pesan wali kelasnya agar ia menghargai para pahlawan pada saat pelajaran Budi Pekerti, ia memutuskan ikut upacara.

Kelas-kelas mulai dibariskan satu per satu di lapangan. Badan Adi mulai panas-dingin ketika mendengar salah satu temannya mengucapkan aba-aba meluruskan barisan kelasnya. Ketika suasana menjadi hening karena segenap peserta upacara telah siap, dan pembawa acara akan segera membacakan susunan upacara, keringat dingin menetes di kening dan pipinya.

Tetes-tetes keringat itu kemudian membasahi matanya. Ia menutup mata beberapa saat agar tetesan-tetesan itu tak masuk ke matanya. Ketika mengusap tetesan-tetesan keringatnya di sekitar mata, betapa ia terkejut ketika membuka mata! Ia melihat dan mencium udara yang berubah. Bau anyir darah menyeruak dari segenap penjuru lapangan upacara. Kini, di kiri-kanannya, wajah-wajah asing yang tidak ia kenal membisu dengan tampang marah dan beringas. Ada yang membawa bayonet. Ada yang mengacungkan pistol. Ada yang tampak sedang bersembunyi di sebuah sudut, sambil sesekali mengamati situasi beberapa orang lain yang tak ia lihat di kejauhan menggunakan keker.

Adi memasuki pagi bernuansa sepia. Dalam dunia abu-abu yang remang berbaur coklat semu ini, yang paling mengerikan adalah warna mata para orang di sekelilingnya: merah menyala. Dengan mata sipit namun mendelik dan seringai lebar yang sesekali menampakkan gigi, beberapa orang di tempat Adi berdiri kini tampaknya lebih menyerupai monster daripada manusia.

Tubuh Adi bergetar hebat. "Oh, Tuhan, siapakah manusia-manusia sialan ini?" tanyanya sambil menangis. "Semuanya benar-benar haus darah!" (Bersambung)

Sidoarjo, 10 Agustus 2009

11.8.09

Merajut Pusaka Bangsa

"Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu." (Yesaya 43:4)

Baca: Yesaya 43:1-7

Nama Fatmawati pastilah terngiang di benak setiap warga negara Indonesia. Ia menjahit bendera yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945. Hingga saat ini bahkan bendera itu menjadi pusaka bangsa: diawetkan dengan berbagai cara, dipertontonkan saat upacara di Istana Negara, bahkan mungkin dianggap sakral dan disembah-sembah.

Tanpa mengecilkan peran dan sejarahnya, penjahit mana pun di saat itu bisa melakukan hal yang sama. Tak hanya Ibu Fatmawati, bukan? Namun, karena pentingnya peristiwa itu, juga tingginya kedudukan Ibu Fatmawati sebagai istri Bung Karno, maka bendera itu pun menjadi bendera pusaka.

Sejarah suatu bangsa kadang masih berbaur samar-samar dan tak pernah luput dari kultus individu. Apa pun yang dilakukan oleh tokoh-tokoh besar, akan senantiasa menjadi sebuah berita, atau kenangan. Presiden kita, bila ikut lomba panjat pinang saat Agustusan misalnya, pasti akan jadi berita luar biasa besar. Kalau kita ikut, koran mana yang mau peduli? Kecuali ada hal-hal ajaib terjadi dalam lomba itu.

Namun, sebenarnya, sadarkah kita bahwa kita ini juga besar di mata Tuhan? Seluruh hidup kita sangat berharga, walau dunia menganggapnya biasa-biasa saja. Seperti Fatmawati yang menjahit pusaka bangsa, kita juga sedang merangkai sebuah kehidupan yang kelak pantas untuk menjadi berita yang menebarkan pekik-sorak sukacita surga. Karenanya, walaupun segalanya tampak serba tidak ada apa-apanya saat-saat ini, mari kita terus berjuang untuk merajut hidup yang maknawi. ***

Wrekso Wikromo

1.8.09

Surat Kakakku

Pengantar:

Cerpen pertamaku. Kubuat Februari 2002, dengan tujuan mengenang banjir di Jakarta. Iseng kuikutkan lomba menulis cerpen di kampusku bulan Oktober 2002. Eh, ternyata menang juara ketiga. Aku ingat betul detil momen kemenangan itu. Akhirnya menjadi cerpen yang memantikku menulis, lagi dan lagi, hingga kini. Cerpen ini sudah dijadikan satu dalam kumpulan cerpen pertamaku dengan Arie Saptaji, guru menulisku, berjudul "Never be Alone", Penerbit Andi, 2005 (sekarang sudah cetakan keempat).


“Gedebuk!” Bunyi itu terdengar begitu keras sehingga mengagetkan setiap orang yang ada pada sebuah daerah pinggiran Jakarta yang kumuh pada suatu pagi. Saat itu baru pukul lima.

Budi, rupanya dia terjatuh! Andi terkejut dan semua orang yang ada di situ langsung membopongnya. “Kak bangun, Kak. Bangun!” katanya sambil menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya. Budi pingsan. Semua orang panik. Andi berteriak sambil menangis melihat keadaan kakaknya yang tiba-tiba menjadi seperti itu. “Kak bangun, Kak. Bangun!” katanya terus-menerus.

Semua orang panik. Mereka bingung. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Matahari sudah terbit dan Budi masih belum terjaga dari pingsannya.

“Bawa ke rumah sakit, bawa dia, ayo segera!” kata Pak Joko. Pak Joko adalah ketua pemulung warga Sukasari. Tiga orang anak muda segera bergegas pergi untuk mencari taksi.

Pukul tujuh pagi, Budi dibawa oleh serombongan pemulung untuk pergi ke rumah sakit. Mereka semua memang orang-orang yang sangat solider.

Budi segera diperiksa di UGD dan setelah itu ia diinfus dan kemudian dirawat di Rumah Sakit. Siang hari, ia mulai sadar. Andi selalu ada di sampingnya dan menjagai dia hingga malam menjelang. Malam itu, kala kesehatan Budi membaik ia pun bercerita.

“Andi, kakak pingsan karena kelelahan. Kakak terlalu banyak bekerja. Kamu sudah mau sekolah dan sampai sekarang uang tabungan kita masih belum cukup untuk biaya pendaftaranmu,” katanya lirih.

“Beberapa hari ini kakak memang lemah, An. Uang pendaftaran sekolahmu masih kurang lima puluh ribu. Tiga hari lagi kakak harus melunasinya. Sampai kemarin, kakak baru dapat dua puluh ribu. Yah, tinggal tiga puluh ribu lagi.”

“Kak, sudahlah. Jangan pikirkan Andi. Andi bisa kerja sendiri kok. Sekarang Andi bingung mencari uang untuk biaya obat Kakak. Kalau Kakak dirawat di sini, ‘kan biayanya mahal,” kata Andi menenangkan.

“Ya, An. Tapi kamu tetap butuh sekolah. Pokoknya jangan seperti kakak.”

Andi terharu dan dia berkata, “Sudahlah, Kak. Malam ini yang penting Kakak istirahat saja.”

Mereka berdua terdiam. Hari kian malam, bulan terus berjalan, cahaya bintang-bintang yang kelap-kelip membawa mereka berdua untuk tidur dengan tenang pada malam itu.

Mereka berdua adalah kakak-adik pemulung. Mereka tidak mempunyai papa dan mama lagi seperti anak-anak yang lainnya. Kedua orang tua mereka tewas pada saat banjir melanda kota mereka. Saat itu Budi masih berumur 5 tahun. Rumah dan harta mereka semuanya lenyap karena banjir yang melanda kota mereka pada saat itu. Mereka berdua selamat karena tertolong oleh seorang pria yang mendapatkan mereka sedang berpegangan pada sebuah pohon. Saat itu mereka saling berpegangan, berteriak dan menangis memohon pertolongan. Tuhan memang baik …

Budi, dia berumur 9 tahun. Dia adalah anak yang bertanggung jawab. Dia meninggalkan bangku sekolahnya dua tahun lalu. Saat itu ia memutuskan untuk bekerja menjadi pemulung supaya dapat membiayai hidupnya sendiri dan adiknya. Untunglah, ia bertemu dengan Pak Joko, seorang yang baik, yang mau menolong mereka untuk dapat bekerja.

Andi berumur 6 tahun dan kadang-kadang membantu kakaknya mencari barang-barang bekas. Kerasnya kehidupan yang mereka hadapi membuat mereka hidup bersahabat. Mereka selalu bersama.

Untuk pertama kalinya Budi masuk ke rumah sakit. Kemarin, seharian ia telah bekerja keras dari pagi sampai sore tanpa istirahat barang sesaatpun. Hal ini terus menerus dilakukannya selama beberapa hari terakhir ini. Akhirnya, ia jatuh sakit.

Pagi pun tiba. Matahari, seperti biasanya, bersinar kembali membawa hari yang baru.

Andi terjaga. Ia langsung mendatangi kakaknya dan menyapanya. “Kak, bangun. Kak, bangun. Sudah pagi, Kak.” Kakaknya terlihat pucat, lemah dan sangat kaku, tubuhnya dingin sekali. Andi makin kuat menggoncang tubuh Kakaknya. “Kak, bangun, Kak. Kak, bangun!” Kakaknya masih diam.

Andi pun segera tahu ... ia telah pergi untuk selamanya.

Budi, seorang anak kecil berusia 9 tahun. Seorang anak yang hidup dalam kesedihan, penderitaan dan kesusahan telah pergi. Ia telah melewati hidupnya yang sangat singkat dengan tanggung jawab dan kasih yang besar bagi seseorang yang sangat dikasihinya, Andi.

Andi tidak tahan menahan tangisnya. Ia menjerit, menjerit dan menjerit sekuat-kuatnya ... Pedih benar bagi setiap hati bila menyaksikan pemandangan itu. Dokter membawanya ke Ruang Mayat dan siang harinya, seluruh warga pemulung Sukasari, di bawah pimpinan Pak Joko, turut meratapinya. Mereka bersama-sama menangis. Ibu Sri, istri Pak Joko menggendong Andi, membelainya, dan terus menghiburnya. Setelah pemakaman, mereka bubar. Sepetak tanah sisa dengan sebuah patok sederhana menjadi tanda bagi Budi, bahwa ia berada di situ. Di situlah, seorang yang begitu singkat kisah hidupnya telah pergi.

“Budi, selamat jalan,” kata mereka saat mereka meninggalkan tempat itu, dan kata Andi.

Sore itu, Andi kembali ke Rumah Sakit untuk mengemasi barang-barang bawaannya. Pihak Rumah sakit memberinya keringanan dengan membebaskannya sama sekali dari ongkos apapun. Saat ia mengemasi barang-barangnya, ia menemukan sebuah surat yang tertulis dengan acak-acakan. Ia segera tahu itu tulisan kakaknya. Ia tidak bisa membacanya. Segera ia meninggalkan Rumah Sakit itu dan bergegas menuju ke rumah Pak Joko.

“Pak! Pak Joko! Pak, ada surat, Pak!” kata Andi. Pak Joko kaget dan ia berkata, “Apa, Nak Andi? Surat apa? Sini, biar Bapak bacakan.” Pak Joko membuka lipatan surat itu, mengambil kacamatanya dan mulai membacanya, “Dengar ya, Nak Andi.” Semua telinga di ruang itu memperhatikan dengan sangat.

“Kakak kelihatannya tidak kuat lagi menahan ini. Kakak akan pergi. Kamu sekolahlah. Cari uang sendiri. Jangan bergantung siapapun, termasuk Pak Joko. Berusahalah, Dik dan ...” Setiap mata di tempat itu mulai basah. Demikian pula Pak Joko. Di dekapan Ibu Sri, Andi mulai menangis. “Dan ...” kata Pak Joko, “Jagalah kesehatanmu baik-baik. Kakakmu, Budi.” Semua hening selama beberapa saat. Beberapa orang menundukkan diri mereka dan air mata mereka perlahan-lahan ada yang jatuh, menetes di lantai.

Andi, seorang anak sebatang kara. Ia memang cukup pantas dikasihani. Ia diam, tak bicara. Menjelang tidur ia hanya berkata, “Saya ingin tidur sendiri, Pak, Bu.”

“Baiklah, Nak. Di sini saja.” Mereka lalu menyediakan bantal, guling, kasur, sprei dan selimut untuk Andi. Ia tidur di ruang tamu, seorang diri.

Malam itu, ia hanya bisa berdoa, memohon sesuatu kepada Tuhan. Sambil menangis, ia hanya bisa berkata, “Tuhan, Engkau telah menolong saya dan Kak Budi waktu banjir. Sekarang, tolong saya lagi. Saya tidak bisa apa-apa. Saya mau marah sama Tuhan karena Tuhan membuat Kak Budi meninggal, tapi saya takut. Tuhan, mengapa semua ini terjadi? Mengapa saya seorang diri? Tuhan, saya percaya kalau Tuhan ada. Jadi tolong saya untuk berusaha, Tuhan. Andi percaya, Tuhan beserta Andi, Amin.”

Ia tidak bisa langsung tidur. Terkenang olehnya saat-saat yang indah bersama kakaknya saat mereka hidup bersama, bekerja mencari barang bekas.

Ia ingat, suatu waktu kakaknya membelikannya es krim yang sangat diinginkannya. Kakaknya sendiri tidak menikmati es krim itu, karena uangnya hanya cukup untuk satu orang. Andi menangis.

Ia ingat, suatu waktu karena tidak punya sepatu lagi, ia dan kakaknya memakai sepatu berlainan warna saat bekerja mencari barang bekas. Ia tersenyum mengingat tingkahnya dan kakaknya.

Ia juga ingat pada suatu waktu saat mereka melintasi sebuah Sekolah Dasar dan bertemu dengan serombongan anak sekolah yang baru pulang dari sekolah. Seorang anak putri mendekati mereka dan memberi mereka uang Rp. 3000,-. Betapa mereka senang dengan pemberian itu. Karena usia anak itu yang mungkin tidak jauh beda dengannya, maka Budi menjadi salah tingkah dan tertarik dengan gadis kecil itu. Andi tersenyum.

Yang paling tidak bisa dilupakannya adalah saat ia dan kakaknya pada suatu waktu telah selesai bekerja. Mereka bicara sambil menikmati jagung rebus. Waktu itu, kakaknya berpesan, “Dik, kita harus bangga dengan keadaan kita. Kita memang dilahirkan demikian dan patut bersyukur. Kamu jangan pernah marah atau kecewa sama Tuhan. Walaupun kita hanya berdua dan tidak punya saudara lagi, kita harus percaya ... kita bisa sekolah lagi dan punya masa depan yang indah.” Dia bangun sebentar, menunduk dan merenungkan kembali kata-kata itu. Sungguh, ia berjanji akan memegangnya. Ia pun tidur lagi dan kemudian, terlelap.

Pagi pun tiba ...

Andi bangun dari tidurnya. Masih jelas terlihat kesedihan dari matanya yang sembab. Mungkin, semalaman ia tidak dapat tidur tenang. Tapi, ia telah bertekad dengan suatu keputusan yang bulat. Ia akan bekerja seorang diri. Walaupun ia merasa takut untuk melakukannya, ia akan mencoba.

Pak Joko, Bu Sri dan beberapa pemulung mendekatinya dan menguatkan hatinya. Ia merasa sangat terdukung oleh kehadiran mereka. Sebenarnya, Andi merasa sangat bersyukur mempunyai keluarga seperti mereka. Ia segera minta ijin ke Pak Joko untuk mencari barang bekas sendiri. Semula, Pak Joko tidak mengijinkannya berhubung usia Andi yang masih terlalu muda untuk melakukan tugas seberat itu. Namun, Andi terus mendesaknya dan karena ia merasa harus melakukan komitmen yang telah ia buat semalam. Pak Joko pun akhirnya mengijinkannya. Ia akan ditemani beberapa pemulung yang lain, karena akan sangat berbahaya bagi Andi jikalau ia melakukannya sendiri, pikir Pak Joko.

Andi bersiap-siap, dan ia pun pergi bersama beberapa pemulung lainnya pada hari itu. Hari masih pagi saat ia pergi untuk bekerja. Dan ia melangkahkan kakinya dengan mantap, bersama sebuah pengaharapan baru yang menyertainya.

Hingga sore Andi bekerja ...

Dan, malam pun tiba. Andi istirahat sebentar seorang diri sambil menghitung berapa besar hasil yang diperolehnya. “Lumayan,” katanya dalam hati, “Lima ribu.” Ia cukup senang karena ia merasa telah berhasil berjuang sediri tanpa kakaknya. Setelah itu, ia memutuskan untuk pergi ke tempat dimana kakaknya dibaringkan.

Sampai di tempat itu, diambillah surat kakaknya, diletakkan di atas tanah makam, dan ia berkata-kata seorang diri, “Kak, aku telah berusaha hari ini. Aku menunjukkan kalau aku mampu. Tapi itu bukan karena aku dan kekuatanku sendiri. Tapi karena Kakak sudah memberikan surat ini buat aku dan ... karena Tuhan memampukan aku untuk melakukannya,” katanya sambil meneteskan air mata. Lama ia merenung dan kemudian ia berkata lagi.

“Kak, aku tidak akan kecewa dan marah kepada Tuhan. Aku percaya bahwa aku pasti bisa sekolah. Kakak pernah katakan kalau Tuhan punya rencana yang indah buat kita dan tidak meninggakan kita. Aku percaya, sungguh aku percaya,” demikianlah dikatakannya sambil terisak. Lama ia merenung, berkata-kata dalam hati. Tidak terasa, dua jam telah berlalu. Akhirnya Andi memutuskan untuk pulang.

Kala melangkah pulang, ia menoleh ke belakang dan berkata, “Kak, aku yakin, tahun depan, aku akan sekolah. Selamat malam!”


Sidik Nugroho, Februari 2002