30.6.09

Perjalanan Liburan, Perjalanan Spiritual (4)

27 Juni 2009

Pagi hari, aku dikabari Widho kalau siang ini jadi ketemuan. Aku begitu senang karena Widho adalah salah satu sahabat terbaik dan musisi sealiran waktu aku SMP.

Sekitar jam 11 lewat Widho datang ke rumah. Kami lalu bernostalgia dengan penuh tawa dan semangat. Kami dulu punya grup band bernama Cuex Band. Pada waktu itu aku masih kelas 2 SMP, dan Widho kelas 1 SMP. Kota kami, Singkawang, menghelat acara festival musik rock. Dari tiga puluh lebih peserta, grup band kami masuk final. Padahal, kami adalah grup band dengan anggota-anggota termuda.

Salah satu musuh kami namanya Virendica, anggota-anggotanya sudah berusia kepala tiga. Tapi, prestasi kami waktu itu tak memalukan. Kami menempati urutan ke-5. Lagu yang kami bawakan adalah Cita yang Tersita karya Power Metal dan 'Til Death do us Part karya White Lion.

Obrolan dengan Widho ngalor-ngidul, ke mana-mana. Yang paling membahagiakan buatku adalah obrolan tentang istrinya yang sedang hamil 5 bulan. Berita ini sangat menyenangkan: seorang putra akan lahir lagi ke bumi! Yeah, seorang putra rocker!

Menjelang jam dua siang, aku dan Widho pergi ke Bandung Indah Plaza (BIP). Di sana, cewek cantik berhamburan di sana-sini. Widho terkikik-kikik melihat aku yang seperti orang udik melihat cewek-cewek. "Dulu, Dik... Yang lebih parah dari kau waktu jalan ke sini Si Cecep. Cecep itu kalau melihat cewek cantik lehernya sampai mutar ke mana-mana. Aku bilang sama Cecep: 'Awas lehermu patah, Cep!'"

Cecep adalah vokalis kami. Dia juga tinggal di Bandung, tapi sayangnya dia sedang tidak ada di Bandung kali ini, sedang mengajar musik di Jakarta. Kalau dia ada, pastinya kegiatan jalan-jalan ini akan lebih seru. (Halo, Cep, kapan-kapan jumpa lagi ya?)

Dari BIP aku dan Widho jalan-jalan ke Dago, pusat aneka distro di Bandung. Aku berniat untuk membelikan sesuatu lagi buat gadis manis yang benar-benar kurindukan selama aku di sini. Kami masuk ke enam distro, tapi aku tidak menemukan sesuatu yang pas untuk si dia. Widho, yang sudah berkeluarga, juga memberi masukan: "Sudahlah, Dik, kau sudah beli sesuatu untuk dia. Itu cukup, karena dia bukan siapa-siapamu untuk saat ini."

Dari Dago kami kembali lagi ke BIP, pesan dua gelas minuman di food-court lantai tiga. Obrolan kami seputar idealisme bermusik, upaya menembak pasar dengan cara jitu lewat sebuah karya, dan beberapa orang Singkawang yang sudah sukses jadi pemusik. Dari pembicaraan ini aku mengenang lagi saat-saat SMP yang penuh kenangan dulu. Saat-saat di mana musik rock berjaya. Dan, kami para rocker yang masih muda, diperlakukan dengan hormat ketika memainkan musik cadas di panggung. Jayalah rock and roll sepanjang zaman! Hidup God Bless!

Jam empat sore kami turun, lalu berbincang-bincang di depan mall. Aku merasa cukup berat waktu meninggalkan Widho. Namun, perpisahan itu harus terjadi juga. Aku naik angkot, dan dari dalam angkot aku masih melihat Widho melihat ke arahku. Saat itu aku berharap agar Widho menjadi pemusik dan ayah yang sukses dan hidup bermartabat.

Sampai di rumah pakde, aku melihat raut wajah sedihnya. Ibuku sms aku waktu aku masih di mall sama Widho: Pakde tidak ingin kita pulang ke Malang. Dia benar-benar masih kangen sama kita. Mendengarnya, hatiku semakin berat meninggalkan kota Bandung.

Pakde Put, pekdeku yang kusayang, dia hanya duduk membungkuk di atas tempat tidur, mengeluarkan suara kecil, "Hati-hati," ketika aku pamitan sambil memeluk badannya. Betapa dia tampak kehilangan aku. Matanya merah ketika ia mengangguk-angguk, merelakan kami kembali ke Malang.

Di atas kereta, ibuku membuka rahasia, kalau ternyata aku adalah seorang yang sangat disayangi pakde. Di masa kecil dulu, saat ia belum memiliki seorang putra, ia suka menggendongku dan melindungiku. Aku sering disuruh-suruh abangku memegang layang-layang yang mau ia naikkan, sementara layang-layang itu sering tidak berhasil naik. Ketika lelah berlari ke sana kemari memungut layang-layang untuk dipegangi sebelum dinaikkan, aku mendekat ke Pakde Put. Nah, kalau abangku melihat aku ada di dekat pakde, ia akan berhenti menyuruh-nyuruhku.

Jam 7 malam kereta Turangga akhirnya berangkat. Aku, bapak dan ibuku, dilanda keheningan, lalu kami terlelap. Tengah malam aku bangun, menuju ke gerbong makan. Aku pesan teh panas satu gelas. Seorang pria di sampingku menawariku rokok A Mild. Kupikir, sekali-sekali tidak apalah. Aku kan orang Kristen Interdenominasi, bukan lagi orang Kristen Kharismatik yang suka melarang orang merokok. Kusulut rokok itu, kunikmati asapnya yang menari-nari ketika keluar dari mulut dan hidungku, sambil kupandangi kekelaman malam yang sesekali dicerahi beberapa lampu rumah dari balik jendela.

28-30 Juni 2009: Penutup

Surabaya, akhirnya tiba juga. Jam delapan lewat sedikit kami sampai di kota Pahlawan ini. Di Surabaya ada jadwal kereta Malang Express jam sepuluh. Kami menunggunya, menumpanginya. Sampai di Stasiun Tugu sekitar jam 12. Sampai di rumah jam 12.30 siang. "Nah, aku sudah pulang," kataku meniru Samwise Gamgee begitu halaman rumahku tampak.

Malam ini aku ingin menyampaikan kangenku pada si gadis yang kurindukan sepanjang perjalanan liburanku. Kutelepon dia, tapi tidak diangkat. Ku-sms dia, juga tidak dibalas. Aku mulai kesal. Kesal, karena selama aku sedang liburan, hampir semua teleponku tidak pernah diangkat. Sms-ku juga tidak pernah dibalasnya. Aku tidak habis pikir kenapa dia bertingkah seperti itu. Aku juga tidak tahu sedang berbuat salah apa.

Dua hari berlalu dan keadaan seperti itu sama saja, tidak berubah. Ia tidak menggubrisku. Bahkan ketika sama-sama online di Facebook, kuajak chatting, ia diam saja. Pada tanggal 29 Juni 2009 aku memutuskan untuk stop melakukan pendekatan ke dia. "Aku telah salah berharap," kataku padanya lewat sms, "aku memang tidak pantas untuk kaudengar atau perhatikan. Mohon maaf bila sms dan teleponku mengganggumu."

Nah, akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan baju buatnya yang telah kubeli dengan segenap kekangenan dan rasa sayang untuk seorang anak yatim, yaitu adik angkatku. Aku juga akan berhenti berharap mendapatkan dia sebagai kekasih. Selain itu, mungkin juga, baju itu memang tidak layak untuk ia kenakan, karena ia selama ini tampaknya selalu memakai baju yang mahal-mahal dan berselera tinggi.

Akhirnya, aku kembali lagi ke Sidoarjo, 30 Juni 2009, siang hari. Di bis aku merenung: sepanjang perjalanan ini aku telah sangat bahagia bisa menemui pakdeku yang semakin berusia senja, juga menemui sahabat lamaku yang sebentar lagi akan mempunyai putra. Ya, mungkin dua hal itu yang menjadi kebahagiaan terbesarku dalam perjalanan kali ini. Aku merenunginya dan menikmatinya bersama senja yang berlalu sore ini.

Sebenarnya aku dan bapak-ibuku hendak lanjut perjalanan ke Bali, tapi sudah terlalu capek. Di Bali ada acara sepupuku menikah. Nah, aku beruntung ketika mendapat kabar ternyata acara pernikahan mereka juga akan diadakan di Malang pada tanggal 4 Juli 2009. Dan, nanti di hari yang sama, tanggal 4 Juli 2009, ada pembakaran mayat di krematorium di Batu. Yang meninggal adalah abang ipar dari besan perempuan orang tuaku. Aku tidak akan melewatkan keduanya, walau kutahu acara pembakaran mayat rasanya akan jauh lebih maknawi daripada sebuah pernikahan buatku -- saat ini.

Oh iya, aku baru ingat, ketika aku sampai di rumah kosku, ternyata cucianku cukup banyak. Sebentar lagi aku mau mencucinya. Aku juga baru ingat belum membayar uang kos yang semestinya kubayar tanggal 25 tiap bulan -- sebentar lagi aku akan membayarnya. Dan sebentar lagi, aku akan cari kaset atau CD God Bless yang baru.

Hidup Ian Antono, hidup God Bless! (Tamat)

Malang-Sidoarjo, 29-30 Juni 2009

28.6.09

Perjalanan Liburan, Perjalanan Spiritual (3)

Sore, aku mengajak Andra Lukas Ang ketemu. Dia dulu teman sepelayanan di Gereja Bethany Indonesia. Kami ketemu di sekitar kampus Universitas Padjajaran. Begitu bertemu, dia langsung menyambutku dengan ramah, mengajakku minum kopi di sebuah warkop. Kabar yang paling menggembirakan kuterima dari Andra ada dua: dia sebentar lagi akan menikah, dan sekarang dia sudah menjadi gembala gereja satelit Bethany Fresh Anointing di Tanjung Duren.

Kami saling berbagi banyak wawasan tentang panggilan hidup. Dia tampak sedikit kaget kalau aku sekarang menjadi guru, sering pindah-pindah gereja, dan sering menulis. Dia bertanya, "Khotbah sudah jarang ya?" Ya, aku sudah jarang berkhotbah sejak empat tahun lalu, hampir tidak pernah. Kami berdua, mengenang saat-saat pelayanan dulu -- tiada hari tanpa ke gereja: tiada hari tanpa mengajar, tiada hari tanpa memuridkan, dan tiada hari tanpa memetik gitar, menyembah Tuhan. Sekarang keadaan begitu berbeda, dan dalam cara tersendiri aku bersyukur untuk keadaanku saat ini.

Habis ngopi, kami jalan-jalan hingga ke Gedung Sate, markas DPRD dan Gubernur kota Bandung yang terkenal itu. Di depan Gedung Sate banyak orang sedang berolahraga sepakbola dan voli.

Dari Gedung Sate kami berjalan lagi menuju kampus Universitas Padjajaran. Sepanjang jalan penuh obrolan. Obrolan yang menurutku paling menyenangkan adalah seputar kualitas karakter seorang pemimpin rohani. Dulu, bila aku jalan dengan adik-adik rohaniku, bila melihat cewek cantik, aku segera memasang kacamata kuda. "Sekarang," kataku jujur kepada Andra, "tidak masalah mengagumi kecantikan seseorang, kan? Selama kita belum berpasangan, atau beristri, kurasa tidak masalah. Asal kita bisa jaga hati saja."

Dan, aku senang Andra memberikan respon yang sedikit mengoreksiku: "Dulu, kita menganggap diri kita harus lebih baik -- sebagai seorang yang sering tampil sebagai pelayan Tuhan. Itu bagus, tapi kadang salah juga sih. Kita perlu jadi apa adanya, itu yang benar. Tapi, juga dengan catatan: jangan sampai harga diri kita jatuh karena terlalu jujur dan menyatakan segala sesuatu apa adanya."

Kami kemudian berpisah. Aku naik angkot, melanjutkan perjalanan ke Jalan Braga.

"Kabarku masih terkirim dengan rentang makin panjang. Lantas lama tidak bertukar kabar. Saat itulah aku kembali suka berjalan-jalan di sepanjang Braga," kata Kurnia Effendi dengan lembut dalam cerpennya Sepanjang Braga. Berjalan di jalan yang aspalnya diganti dengan paving-paving batu persegi panjang memang mengasyikkan. Lukisan-lukisan, orang-orang dengan motor-motor besar, café-café yang gemerlap dan elegan, cukup mengesankanku.

Dan di sinilah, di Jalan Braga, kekangenanku pada seseorang memuncak. Di Batu, sebuah kota dekat Malang, saat aku berjalan-jalan di sini, dia sedang mengikuti Kebaktian Tahunan Nasional (KTN) untuk Gereja Misi Indonesia Injili (GMII) se-Indonesia. Dia seorang gadis yang mungil, manis dan selalu riang. Dia bukan siapa-siapaku, cuma sedang amat kurindukan saat ini.

Gadis-gadis di Bandung dan Dunia Fantasi yang berkulit mulus-mulus dan ayu-ayu mungkin menjadi bahan perhatianku, seseorang yang bebas memperhatikan siapa saja karena tak berikatan hubungan kasih dengan seorang wanita. Tapi, ketika aku berjalan seorang diri kali ini, entah kenapa, aku merindukan gadis yang satu ini, dengan kerinduan yang besar, lembut dan sederhana. Aku berharap si gadis mungil sedang berbahagia di mana pun ia berada dan apa pun yang ia kerjakan.

Di Braga, aku menemukan sebuah distro yang cukup menarik, namanya Forguy. Aku masuki distro itu, dan kubeli sebuah kenang-kenangan yang akan kupersembahkan untuk dia yang akan berulang tahun tanggal 11 Juli nanti. Ah, semoga saja dia menyukainya.

"Seperti benderang lampu petir yang mengerjap di langit petang, saat kita diguyur gerimis di Jalan Braga. Saat itu, di antara kita belum ada siapa pun. Andaikata dada kita transparan, mungkin terlihat kembang api jingga setiap kita bicara." Manis nian kata-katamu, Bung Kurnia Efendi! Berharap hal yang sama terjadi ketika aku bicara dengan si gadis riang yang kurindui itu, kelak, suatu waktu.

Kususuri Braga dari ujung utara ke ujung selatan, hingga aku mencapai gedung museum Konferensi Asia Afrika (KAA). Aku pulang dari Braga kira-kira jam sembilan malam. Malam ini kucoba menghubungi si dia, tapi tak bisa. Dia kelihatannya sibuk sekali. Aku tidur kurang nyenyak saat lewat tengah malam hingga pagi karena tidak berhasil mendengar suaranya dari speaker ponselku.

26 Juni 2009

Pagi-pagi, setengah enam, aku, bapakku dan ibuku menuju ke stasiun kereta api kota Bandung naik angkot. Sampai di stasiun kami naik kereta Parahyangan menuju Gambir, Jakarta.

Di kereta aku disodori buku oleh bapakku berjudul Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno Hatta. Sebuah buku yang benar-benar mantap dan menggugah. Buku ini merupakan kumpulan wawancara dengan Romo Mangun, Daniel S. Lev, Sartono Kartodirdjo, Eddie Lembong, Putu Wijaya, Budi Darma dan beberapa tokoh dan budayawan lain.

Daniel S. Lev berkata, "Saya masih ingat, (zaman dulu) elite politik berdebat keras ... tidak setuju satu sama lain, tapi setelah itu masih bisa minum kopi, ngobrol dan tetap bertanggung jawab kepada rakyatnya." Pernyataan ini relevan benar dengan apa yang baru terjadi semalam: debat SBY dan JK, juga Megawati, yang amat seru. Teringat juga kemarin habis ngopi dengan Andra.

Seorang tokoh lain, Eddie Lembong, seorang pimpinan Perhimpunan INTI (Indonesia-Tionghoa) juga menyatakan sesuatu yang menghentak tentang keberhasilan hidup: "Rahasia dagang itu tidak ada... Karena ada jarak, dan kami dianggap makmur, mereka (orang pribumi) menganggap pasti ada rahasia yang kami (orang Tionghoa) sembunyikan. Nanti kalau masyarakat bisa belajar, mereka akan kaget sendiri, sebab kami memang tidak memiliki rahasia apa-apa."

Selain membaca buku itu, aku juga membaca beberapa berita di koran Tribun Jabar. Di Tribun Jabar, aku menemui opini yang sangat menarik disampaikan oleh Rani Pardini, S.Pd, guru SMA KP dan Bina Muda Cicalengka yang menyatakan bahwa guru bukan profesi jalan pintas. Membaca tulisannya aku disadarkan tentang hakikat hidup dan pengabdian seorang guru. Guru semestinya memiliki kekayaan batin yang berlimpah: ilmu, renungan, teladan dan motivasi. "Guru kental dengan panggilan hidup, bukan panggilan perut," katanya dengan telak dan gamblang.

Aku senang berada dalam perjalanan dengan bapak dan ibuku. Mendekati Jatinegara, aku dan bapakku sama-sama membaca. Aku di sampingnya. Dia membaca koran, aku membaca buku. Sesekali kami mendiskusikan apa yang sedang kami baca: tentang profesi guru, keberhasilan, dan sesekali politik. Aku beruntung memiliki bapak yang juga memiliki minat sama denganku.

Sampai di Jakarta aku menemani bapak ke RS Harapan Kita. Puji Tuhan, hasil pemeriksaan di sana menyatakan, intinya, 75% kondisi jantung bapakku masih baik. 1 Juni 2006 lalu ia operasi by-pass.

Dari RS Harapan Kita aku dan bapakku menuju ke Mangga Dua Pasar Pagi. Nah, kali ini kami berdua menunggui ibuku yang sibuk belanja tas untuk dijual lagi ke teman-temannya. Ibuku suka dagang -- aku dan bapak belajar betah untuk menunggunya memilih-milih tas terbaik.

Keluar dari Mangga Dua kami bertiga naik bajaj model baru warna biru menuju Gambir menjelang jam 3 sore. Bajaj biru ini keluaran perusahaan motor Bajaj India yang lagi naik daun itu. Memuat penumpang lebih banyak, tidak menimbulkan polusi, tidak berisik dan jauh lebih hemat. Kelihatannya mantap. Bapakku dan ibuku tampak senang sekali naik bajaj, senyum-senyum terus sepanjang perjalanan, sambil sesekali menggodai supir bajaj yang asli Tegal. Ia ramah dan suka tertawa.

Malam hari, ketika kami sudah kembali ke rumah pakde, aku merasa pakde ingin bicara berlama-lama denganku karena besok, 27 Juni 2009, aku akan kembali ke Malang. Aku duduk di sampingnya. Sambil menyaksikan acara Bintang-bintang Blues di TVRI, kami bicara ngalor-ngidul. Yang paling menarik minatku adalah pembicaraan kami tentang spirit of excellence. Bila para pemimpin, bahkan siapa pun orang, mau memberikan sebuah layanan, atau memperjuangkan sesuatu dengan tidak setengah-setengah, hasilnya pasti akan baik. Pembelajaran dalam berkreasi juga harus didasari dengan spirit itu tadi. Itu yang akan membuat pembelajaran dan karya-karya kita semakin baik -- dan unggul tentunya.

Sudah lewat tengah malam ketika aku dan pakde memutuskan sama-sama untuk segera tidur. Malam itu aku merasa resah dan cukup sedih karena besok malam akan berpisah dengan pakde. Aku akan selalu merindukannya. Dan aku tahu, ia juga akan selalu merindukanku. (Bersambung)

Bandung 26-27 Juni 2009

25.6.09

Perjalanan Liburan, Perjalanan Spiritual (2)

22 Juni 2009

Kumaha atuh, punten, naon... Ye ye yeah... akhirnya sampai di Paris van Java!

Menjelang maghrib akhirnya aku sampai di rumah pakde di Bandung, di daerah Cipaku Indah, dekat kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Pakde senang sekali ketika aku datang, apalagi begitu membuka oleh-olehku: sebuah kaos dari Kampung Cina bergambar Semar. Tokoh yang digelari Ki Ageng Asmoro Santo, atau guru bijak dan suci penuh kasih-sayang itu, ternyata adalah tokoh idolanya. Segera saja ia mengganti bajunya. Selama tiga malam dua hari dipakainya baju itu. Aku senang melihatnya senang.

Pakde orang yang baik hati dan sangat cerdas. Bahkan kini, di masa tuanya, kecerdasannya masih tampak. Di tahun 1958 -- saat itu ia berusia 20 tahun -- ia studi ke Hongaria, mengambil jurusan Metalurgi. Selama lima setengah tahun di sana, hampir seluruh Eropa ia jelajahi. Pakde yang bernama R. Ady Putranto Soedarsono ini adalah abang sepupu ibuku. Ia orang yang sangat disegani di PT. Barata Indonesia, sebuah BUMN yang membuat dan merakit alat-alat berat. Ia cerdas, murah hati dan sayang anak-anak.

Dulu, dia beberapa kali membawa aku dan abangku ke rumahnya di Bekasi. Waktu itu bapakku sedang melanjutkan studi di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta antara tahun 1982-1985. Kami selalu diajaknya keliling naik mobil VW-nya yang berwarna putih pucat. Pakde Put, demikian kami memanggilnya.

Selama di sini, oleh Pakde Put aku diberi berbagai wawasan kebangsaan dan kehidupan. Ia mengesalkan berbagai produk instan yang ada di bangsa ini. Ia juga mengeluhkan beras, gula dan kedelai yang serba putih. Warna putih pada ketiganya seakan telah menjadi acuan atau standar mutu di masyarakat: yang putih yang bagus. Hingga warna kulit pun harus tampil putih agar dibilang cantik. Padahal, itu hanya tipuan. "Orang-orang sekarang sangat suka sesuatu yang instan dan tampak menarik di bagian luar. Padahal sesuatu yang instan itu buruk dan apa yang kita lihat dari luar itu belum tentu berkualitas," katanya.

Pembicaraan kami sangat panjang malam itu. Bukan hanya soal berbagi kabar keluarga, tapi hal-hal penting dalam hidup yang harus kuperhatikan. Dari pembicaraan di malam itu aku merenung banyak hal tentang hidup. Kalau orang mau mencapai sesuatu dengan cara yang instan, bisa saja ia mencapainya. Tapi, yang tampak baik dari pencapaian dan diri orang itu hanya bagian luarnya.

23 Juni 2009

Di hari ini, Bude Lin, istri Pakde Put, datang dari Jakarta. Aku senang sekali berjumpa dengannya karena dia benar-benar satu minat denganku. Dia dosen UPI yang sedang kuliah S3. Sama sepertiku, dia ambil jurusan Sejarah juga. Tesis S2-nya tentang kemampuan berpikir siswa secara kronologis dengan menggunakan time line (baris waktu) dalam kegiatan pembelajaran.

Selain mengajar sejarah Asia Timur, Indonesia Kuno, dan beberapa mata kuliah lain yang berhubungan dengan ilmu Sejarah dan Pendidikan, Bude Lin juga orang yang punya minat besar pada pendidikan dasar, atau anak-anak SD. Dari obrolan dengannya, wawasanku tentang memperlakukan anak didik dibuka makin lebar. Guru perlu kreatif dan inovatif dalam mengemas pembelajaran. Anak perlu dipandang unik, karena masing-masing berkepribadian lain. Pembelajaran di dalam kelas harus menyenangkan, bukan hanya memuat penjejalan wacana dan doktrin.

Bude Lin lalu mengisahkan anaknya sendiri yang kebetulan datang juga di Bandung, dua jam setelah aku datang pada tanggal 22 Juni. Anaknya ini ia perlakukan dengan begitu sabar, dan berikan ruang sebebas-bebasnya dalam memilih dan menentukan tujuan hidup. Sejauh ini ia telah berhasil. Anaknya yang bernama Jayawijayaningtyas mencetak beberapa prestasi hebat. Ia pernah menjuarai olimpiade astronomi tingkat nasional dua kali, meraih medali emas. Ia juga pernah menjadi utusan olimpiade astronomi di Ukraina. Pada beberapa kesempatan, ia menjadi narasumber di beberapa daerah di Indonesia untuk berbicara tentang astronomi. Mas Jaya, demikian aku memanggilnya, memang sangat menyukai astronomi. Sekarang ia sedang libur kuliah. Ia kuliah di Nanyang University, di Singapura, ambil jurusan Teknik Penerbangan.

Bude Lin, juga Pakde Put, memotivasi aku agar mengembangkan terus kecintaanku pada dunia tulis-menulis. "Guru-guru itu kadang mentalnya sama seperti orang kebanyakan. Setelah kuliah, ingin lekas dapat kerja. Setelah dapat kerja, ingin gaji tinggi. Padahal, setelah kuliah mereka berhenti membaca dan mengembangkan diri. Apalagi yang mau menulis, jarang sekali," kata Pakde Put.

Pakde Put, juga Bude Lin, menekankan terus kepadaku pentingnya terus belajar, berkreasi dan berekspresi. "Hasilnya mungkin baru bisa dinikmati kamu sendiri saat ini. Tapi, teruslah berkarya dan belajar walaupun penghargaan orang lain itu belum kamu dapatkan. Suatu saat apa yang kamu lakukan pasti akan ada manfaatnya bagi orang lain," kata mereka kepadaku. Mendengarnya, aku mengingat-ingat Pramoedya Ananta Toer, penulis asal Blora yang tetap menulis meski karya-karyanya dan ia sendiri disingkirkan dengan cara-cara yang kejam dan menyedihkan.

Di hari ini aku sempat ke Cibaduyut, setelah dua teman SMP-ku yang kini jadi guru musik di Bandung tak berhasil kuhubungi. Semula aku bingung mau ke mana. Aku lalu naik bis Damri ke Lewi Panjang, lalu naik sebuah angkot ke Cibaduyut. Di sana aku membeli sandal kulit, kaos dan charger handphone. Waktu naik bis ke Lewi Panjang dari Cipaku, sempat lihat sekilas bangunan-bangunan lawas dan Jalan Braga yang bersejarah. Jadi teringat Konferensi Asia Afrika (KAA). Juga teringat Kurnia Effendi yang pernah mengarang cerita Sepanjang Braga.

24 Juni 2009

Pagi ini kuawali dengan mendengar cerita dari Pakde Put.

Pada bulan April atau Mei 1942, di Blora, Pakde Put baru berusia tiga setengah tahun. Ia diajak kakeknya ambil pensiun untuk terakhir kali. Saat itu kondisi ekonomi morat-marit, dan pensiun kakeknya yang bekerja sebagai mantri polisi harus dihentikan. Jepang mulai berkuasa di tanah air. Uang pensiun terakhir sang kakek hanya cukup membeli ketela satu setengah kilo.

Pakde, walaupun masih kecil, turut berpikir saat itu: bagaimana kelangsungan hidup keluarga kami selanjutnya; kami makan apa; dan seterusnya. Ia bercerita begitu banyak hal dramatis yang ia alami semasa kecil, terutama dari tahun 1942 hingga 1948. Sepanjang enam tahun itu Pakde dan keluarganya mengungsi empat kali. Sebabnya, rumah keluarga pakde yang cukup besar, berada di tepi jalan besar, dihuni Jepang dan dijadikan markas. Kemudian, pada saat pemberontakan PKI keluarga pakde juga mengungsi karena saat itu banyak rumah yang dibakar. "Untung rumah pakde tidak ikut dibakar," katanya.

Pakde yang sudah berusia 71 tahun masih saja ingat dengan masa kecilnya. Ini disebabkan karena banyak hal dramatis yang ia alami. Hidupnya penuh jejak kembara, dari masa kecil yang penuh tantangan, kuliah di negeri orang, hingga tuntutan pekerjaan yang membawanya ke berbagai daerah -- bahkan pelosok -- Indonesia.

Menjelang sore, Maya Melivyanti, teman di dunia maya, kuajak ketemuan. Kami makan Surabi di dekat kampus pariwisata dan perhotelan ENHAII. Surabinya lumayan enak, tapi karena jam setengah empat aku sudah makan, jadi tidak kuhabiskan. Wah, merasa bersalah kalau ingat-ingat Romo Mangun yang selalu menghabiskan makanan.

Pembicaraan dengan Maya cukup menyenangkan. Kami bercerita soal aktivitas sehari-hari, kepenulisan, keluarga, pelayanan, dan kota Bandung. Aku paling bersemangat ketika bercerita tentang sejarah misi, karena Maya bercerita sempat ingin menjadi misionaris. Sementara cerita Maya yang paling menarik buatku adalah tentang gereja setan yang dulu sempat heboh di Bandung -- juga Manado.

Pada malam hari, pakde mengijinkanku membaca sebuah buku karyanya tentang Nusa Jawa. Ketika membacanya sekilas pada sebuah bagian, buku itu tampak menarik, memuat beraneka kebijakan, petuah, dan filsafat Jawa yang masih asing bagiku. Di beberapa bagian juga bahkan disajikan perspektif historis-profetis tentang pulau Jawa.

Selain buku karya pakde, aku sempat juga membaca beberapa puluh halaman buku karya Karen Armstrong berjudul Sejarah Tuhan. Menarik, seperti yang kulakukan pada skripsiku, Karen Armstrong di beberapa halaman awal juga menggunakan beberapa pemikiran Rudolf Otto tentang agama dari bukunya berjudul The Idea of the Holy.

25 Juni 2009

Pagi-pagi, jam lima aku sudah bangun. Sebabnya bapak dan ibuku akan datang naik kereta Turangga (Surabaya-Bandung). Kereta dijadwalkan tiba jam tujuh. Sambil menunggu kereta, aku ngopi di warkop depan Stasiun Hall kota Bandung. Ku-sms Iqbal Dawami, temanku di Jogja, kuceritai dia kalo selama di Bandung aku sempatkan mengirim resensi ke Koran Jakarta. Dia bilang aku hebat sampai di Bandung. Aku sempat nggumun, apanya yang hebat, Bung? Lha aku ke Bandung naik bis kok, nggak jalan kaki. Iqbal juga bilang di Bandung pasti banyak peyem, terutama peyempuan. Aku mengiyakan: tepat itu, Bung. Kubilang kalau mereka di sini rata-rata sedap dipandang, apalagi kalau dipandangi sambil menyeruput kopi santai-santai.

Bapak dan ibuku akhirnya datang. Wah, senang sekali. Di antara kami bertiga, cuma bapak yang sebelumnya pernah ke Bandung selama tiga bulan di tahun 1976, di Jalan Pelanduk sebelum ditugaskan bekerja di Pontianak. (Bapakku bekerja sebagai pegawai Badan Pertanahan Nasional. Pada tahun 1976-1982 kami sekeluarga tinggal di Pontianak; tahun 1982-1985 bapak melanjutkan studi sarjana di IIP Jakarta, kami sekeluarga mengikutinya; tahun 1985-1997 ditugaskan dan tinggal di Singkawang, Kalbar; dan tahun 1997 hingga kini tinggal di Malang.)

Ibuku senang sekali ketika ketemu pakde dan bude di Cipaku. Kenangan-kenangan lama mencuat-cuat lagi. Tawa dan senyum tampak renyah, sesekali diiringi pasang demi pasang mata mereka yang kadang tampak berkaca-kaca. Keluarga, pun sanak-saudara, yang pernah menjalin keakraban dan kerukunan, rasanya memang salah satu tempat terindah di dunia. Ke sana kita semestinya bisa memilih untuk kembali, lagi dan lagi. Seperti Juno, dalam film Juno, ketika suatu waktu, setelah beberapa kali meninggalkan rumah, berkata, "Aku baru sadar betapa aku menyukai rumah saat berada di tempat yang berbeda." (Bersambung)

Bandung, 24-25 Juni 2009

24.6.09

Perjalanan Liburan, Perjalanan Spiritual (1)

Kita mungkin bisa tahu apa yang bakal kita alami dari sebuah perjalanan atau kejadian -- karena kita memang merencanakannya. Namun, kandungan hikmah yang terpetik dari suatu perjalanan atau kejadian acapkali tak terduga. Itulah hal yang asyik menurutku.

Hal-hal yang mengasyikkan -- berikut hikmah -- yang terpetik dalam perjalanan kali ini, nantinya akan kukisahkan dalam beberapa bagian cerita yang kubuat. Ini kubuat, pertama-tama untuk Mas Arie Saptaji yang menduga-duga: berapa banyak tulisan atau renungan yang bakal lahir dari perjalanan ini? Selain itu, tulisan ini lahir juga karena aku pernah membaca cerita Mas Arie tentang sebuah reuni gereja dan catatan perjalanannya waktu ada acara perbukuan di Temanggung. Catatan-catatan yang menarik; membuat aku ingin belajar menulis sebuah catatan perjalanan pula. Mungkin masih grothal-grathul kali ini. Tapi, kuharap, enjoy aja lah...

18-19 Juni 2009

Tanggal 18 aku dan rekan-rekan guru TK dan SD Pembangunan Jaya 2 berangkat dari sekolah kami di Sidoarjo menuju Tangerang. Niatnya studi banding ke sekolah-sekolah seyayasan, beberapa lembaga iptek, dan ini yang tak kalah penting: wisata. Perjalanan ini menggunakan bis pariwisata sewaan Perjalanan kami penuh canda hingga kira-kira sampai di Tuban. Kemudian suasana senyap, hingga sampai di Rembang kami singgah untuk makan malam.

Saat makan malam aku memisah dari rombongan. Teman-temanku menuju rumah makan yang disinggahi bis, aku ke warung tenda berjarak 25 meter dari warung, di sebelah selatan warung. Ini kulakukan karena aku ingin sekali makan lalapan tempe, sambil menyendiri sesaat. Sampai di sana lalapan tempe habis. Akhirnya kupilih lalapan ayam. Ketika makanan hampir selesai kulahap, olala, seekor kutu busuk hitam kecil menempel di nasi. Kupegang kutu itu, kusentil ke samping meja. Tanganku kucium, baunya minta ampun. Aku cuci tangan. Kucium-cium nasi dan lalapanku, ternyata masih tidak bau kutu. Kuhabiskan saja. Beruntung aku, tidak sakit perut.

Rombongan kami terus berjalan, singgah sesaat waktu subuh di Indramayu. Sampai di Tangerang hampir jam sembilan pagi, tanggal 19 Juni.

Di Tangerang, Serpong tepatnya, kami menginap di Wisma Puspiptek (Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Dari wisma kami cuma diberi waktu membersihkan diri satu jam lima belas menit, lalu berangkat ke kantor Yayasan Pendidikan Jaya di Bintaro Trade Center. Di sini kami bertemu dengan karyawan-karyawan yayasan yang ramah. Setelah makan siang kami menuju ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Sayangnya, kunjungan kami ke TMII hanya difokuskan ke Science Center-nya. Padahal aku -- kelihatannya juga teman-teman lain -- ingin naik kereta gantung lihat-lihat pulau mini. Akhirnya momen ini malah dijadikan sesi pemotretan. Di sini foto, di sana foto. Walau bukan fotomodel, tak apalah... enjoy! Sampai sore kami ada di Taman Mini, pulangnya mampir ke ITC Mega Grosir. Nah, di ITC ini aku benar-benar tidak betah. Barang dan orang tumplek blek. Tidak ada sesuatu yang kubeli, kecuali sepaket makanan A&W. Aw... aw... aw... aku ingin segera kembali ke wisma.

Aku, Pak Arif, Pak Agus, Pak Dani, Pak Faishol, Pak Koko dan Pak Sobirin nongkrong di warung kopi dekat wisma setelah mandi. (Mungkin perlu penjelasan di sini bahwa semua guru lelaki dan wanita dipanggil Pak dan Bu, tidak peduli muda atau tua. Beberapa temanku itu masih sangat muda. Contohnya Pak Sobirin, dia masih 23 tahun.) Nongkrong di warung kopi malam itu cukup memberi pengiburan. Aku pesan jeruk panas. Rasanya cocok seperti mimpi. Cocok karo impen, kata orang Semarang.

20 Juni 2009

Ini mungkin hari yang paling asyik selama studi banding. Di hari ini kami ke SD Pembangunan Jaya di Bintaro menyaksikan pentas seni. Aku, Bu Lina, Bu Dewi, Bu Yuli, Pak Fajar dan Bu Debby sempat keluar sebentar dari sekolah, lalu menuju ke tempat kos waktu aku dulu jadi guru magang di Jakarta pada tanggal 20 Maret sampai 20 April 2007.

Waktu sampai di situ aku mengingat-ingat masa-masa di mana dulu aku jadi guru magang. Tiap hari magang dari jam tujuh pagi sampai empat sore. Pulang magang mandi sebentar, lalu ke Bintaro Plaza, cari makan, pulang ke kos, dan tidur. Yang kutuju di Bintaro Plaza saat itu selalu Gramedia. Selama sebulan di sana aku sempat membaca Remains of the Day-nya Kazuo Ishiguro sampai tuntas, The Professor and the Madman-nya Simon Winchester sampai tuntas juga, dan sebagian Wanita dalam Lukisan -- Rose Madder-nya Stephen King. Semua kubaca tanpa kubeli.

Buku-buku itu kutemukan dalam keadaan tidak disegel, lalu kubaca selama beberapa hari. Aku tidak pernah melipat halamannya, cuma mengingat sampai halaman atau bab berapa buku itu kubaca. Beberapa karyawan yang ada di sana kelihatannya mengenalku karena tiap sore selalu aku ke sana. Salah seorang di antaranya adalah gadis yang cukup manis dan bersenyum lembut, tapi dulu aku sungkan dan ogah-ogahan mau mengajak kenalan.

Sambil mengenang masa-masa magang itu, masuk sebuah sms dari Iqbal Dawami. Resensinya untuk buku The Dragon Scroll dimuat di Media Indonesia. Kubeli koran itu. Kasihan dia, resensinya dipotong cukup banyak karena keterbatasan ruang. Dari Iqbal juga aku dapat info kalau koran lain, yaitu Koran Jakarta, menyediakan ruang untuk resensi buku setiap hari. Harus dicoba nih!

Setelah Pentas Seni usai kami mendapat pengarahan sedikit dari beberapa petinggi yayasan, tentang konsistensi mengajar dan pentingnya senantiasa berpatokan pada sistem pendidikan dan pengajaran yang ada di lingkungan Yayasan Pendidikan Jaya.

Kemudian, nah ini dia, kami ke Dunia Fantasi! Di sini, sebelum menikmati berbagai wahana yang tersedia, kami mendapat penjelasan tentang sejarah Dunia Fantasi dan berbagai kegiatan sains yang diadakan di sana. Saat menerima penjelasan, aku dan beberapa bapak guru mengguyoni Dunia Fantasi yang sudah mendapat ISO. Penjelasan ini diberikan karena Pak Faishol kuatir naik wahana Tornado. Sebabnya, seperti yang pernah terjadi di Jatim Park: wahana itu macet di tengah jalan saat sedang dioperasikan. Mengomentari Pak Faishol dan penjelasan tentang ISO itu aku berkata, "Isooo' ae!" Bisaaa aja. Guru-guru pria pada tertawa keras, karena dua kata itu kami ucapkan dengan kesan sedikit mengejek. Hingga di hari terakhir studi banding, bila ada guyonan atau olok-olok, selalu saja dua kata itu terucap, "Isooo' ae!" (Dan dua kata ini kelihatannya masih berpotensi untuk jadi idiom favorit untuk guyonan di kalangan guru-guru pria di kemudian hari kelak.)

Kemudian kami berjalan-jalan. Kami, para guru-guru pria, benar-benar menikmati cewek-cewek yang berlalu-lalang di Dunia Fantasi. Banyak gadis cantik di sana-sini. Benar-benar menyegarkan jiwa kami yang telah suntuk menggarap nilai dan rapor siswa beberapa minggu sebelumnya. Rasanya, di sini, di Dunia Fantasi, fantasi bukan hanya diterbitkan oleh wahana-wahana, tapi riwa-riwi gadis-gadis muda yang jelita. Isooo' ae!

Waktunya tiba menikmati wahana-wahana yang ada. Berhubung waktunya sedikit -- sudah menjelang sore -- maka hanya sedikit wahana yang kami bisa nikmati. Pertama-tama aku memilih Halilintar, mirip Jetcoaster. Kemudian Kora-Kora. Setelah naik Kora-Kora, kepalaku lumayang pusing dan perutku mual. Aku mau mencoba Tornado masih agak takut. Akhirnya aku bersama Bu Valen, Bu Ririn, Bu Debby, Bu Tri dan Bu Yanna naik Bianglala, kereta gantung yang berputar itu. Wah, menyenangkan sekali melihat pantai Ancol ketika kami berada di atas. Setelah tiga atau empat kali putaran, jatah kami habis. Satu per satu penumpang Bianglala turun.

Tiba-tiba kecoak lewat di dekat kakiku. "Ada kecoak!" kataku.

Ibu-ibu guru ini pada menjerit takut. "Sudah, Pak Sidik! Biarin aja."

Waktu itu kami sedang menunggu giliran turun. Bianglala sedang berhenti berputar, dan kereta kami sedang berada di bagian teratas. Dan kecoak sialan itu tidak berhenti menjalari celanaku. Dia terus naik ke bagian belakangku, lalu merambati bagian dalam bajuku. Punggungku terasa geli dilintasi kecoak yang berjalan merambat itu. Ibu-ibu guru menertawaiku habis-habisan sambil mencegahku untuk berdiri atau melakukan sesuatu terhadap kecoak itu. Aku hanya bisa meraba-raba punggungku sambil mengebas-ngebaskan baju ketika kereta kami makin turun.

Setelah ketegangan berpadu tawa yang tak terlupakan itu aku menonton pertunjukan Spiderman vs Green Goblin. Aku penasaran karena di hari ini juga aku membaca Media Indonesia yang menyatakan kalau tontonan itu bakal seru. Awalnya memang seru. Ini sebuah drama yang para pemainnya mahir break dance. Beberapa aktornya didatangkan langsung dari Marvel Australia. Musik latarnya keren-keren. Aksi Spiderman lawan Green Goblin menggunakan bantuan tali dan alat-alat yang biasa digunakan pecinta alam atau Flying Fox. Sayangnya, ada salah satu adegan saat itu yang sempat bikin penonton terbahak-bahak.

Penonton terbahak-bahak bukan karena ada adegan lucu, tapi Spiderman-nya nubruk salah satu dinding di panggung karena seorang -- atau mungkin beberapa orang -- kru salah tarik. Padahal, itu pas bagian seru ketika sang superhero harus melawan Green Goblin. Kasihan Spiderman, dadanya tampak kesakitan. Dia ke belakang panggung sekitar 15 detik, mungkin untuk mengatur nafas dulu.

21 Juni 2009

Tanggal 21 Juni rombongan kami ke Mekarsari, taman buah yang terkenal di Cibubur itu. Di Mekarsari kami juga belajar tentang merangkai tanaman hias di dalam sebuah sloki dan mencangkok tanaman yang benar.

Dari Mekarsari kami menuju ke rumah Pak Tony, prinsipal Yayasan Pendidikan Jaya. Rumahnya sangat asri dan besar. Pak Tony, selain menjadi prinsipal, mempunyai tiga usaha sampingan: roti, perhiasan dan busana. Kali ini aku belajar tentang pembuatan perhiasan dari bebatuan. Batu-batu yang dijadikan perhiasan macam-macam, salah satunya obsidian. Batu-batu itu digali dari Pacitan dan beberapa daerah lain di Indonesia, bahkan mancanegara.

Pembuatan perhiasan menggunakan sebuah besi pemotong batu berbentuk bundar (yang biasanya ada di bengkel-bengkel bubut), dan lima penghalus atau amplas dari besi yang juga bundar. Semuanya digerakkan listrik untuk memotong, dan juga menghaluskan batu-batu itu. Setelah halus, barulah batu-batu itu kemudian dibentuk sesuai permintaan atau keinginan. Kadang, untuk pemanis tampilan batu yang sudah selesai dibentuk itu, perak atau perunggu ditambahkan sebagai bingkainya.

Dari rumah Pak Tony aku dan rombongan menuju ke Wisata Belanja Kampung Cina. Di sini aku berkesempatan untuk mencari dua kaos untuk bapak dan pakdeku, dan sebuah daster untuk ibuku.

22 Juni 2009

Aku dan rombongan pergi ke SMA Pembangunan Jaya dan Sekolah Global Jaya. Aku sudah pernah ke sini sebelumnya waktu magang dulu. Cuma, kadang-kadang masih di luar jangkauanku untuk berpikir: betapa kaya orang-orang yang anaknya disekolahkan di Sekolah Global Jaya. Di tahun ajaran 2006-2007 saja, untuk SD Global Jaya, uang sekolah tiap bulan 4,3 juta rupiah. Sekarang entah berapa -- aku tidak tahu karena hanya mampir sebentar.

Beberapa artis dan pengusaha ternama anaknya disekolahkan di sini. Bahkan beberapa artis yang masih belia juga sekolah di sini. Namun, ada juga cerita-cerita tentang orang-orang kaya yang tak bahagia di sini.

Perjalanan usai jam 12 siang. Rombongan guru-guru kembali lagi ke Sidoarjo. Aku melanjutkan perjalanan ke Bandung, ke rumah pakde-ku.Dalam perjalanan menuju Bandung aku merenung tentang pengabdian dan komitmen dalam pendidikan, juga mengenang beberapa orang kaya yang hidupnya tak sejahtera dan sentosa. Entah kenapa, aku senantiasa teringat akan kesahajaan hidup seperti yang pernah dikisahkan oleh Pak Sumardianta dalam bukunya yang bertajuk Simply Amazing. Aku merenungi hal ini: "Beberapa dari kita, mungkin, pernah beranggapan bahwa kehidupan mewah bergelimang harta adalah kunci menuju kebahagiaan. Namun, kita keliru. Dalam kemewahan dan kekayaannya banyak orang kaya yang mencari makna kebahagiaan, yang tak jarang justru mereka temukan dalam kesederhanaan dan kesahajaan."

Dan apa yang kurenungkan, mendapat peneguhan yang bertubi-tubi ketika aku berada di Bandung. (Bersambung)

17.6.09

Berharap Pernikahan Digagalkan

"Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya! Beritahukanlah aku jalan yang harus kutempuh, sebab kepada-Mulah kuangkat jiwaku." (Mazmur 143:8)

Mazmur 143

Wanita ini benar-benar konyol, tapi juga kasihan. Saya mendengar ceritanya dari seorang teman. Ia sudah di altar gereja, menggandeng mesra bakal suaminya. Ya, ia sedang berada dalam salah satu prosesi terpenting dalam hidupnya: pernikahan. Namun, tahukah Anda apa yang ia harapkan sebelum janji pernikahan terucap?

Ia berharap pernikahannya digagalkan! "Adakah di antara Anda yang keberatan atas pernikahan ini?" tanya sang pendeta sebelum sepasang mempelai saling berucap janji. Dag dig dug, jantung si wanita berdebar laju. Namun, tak ada tangan terangkat. Janji suci kemudian diucapkan, dan pernikahan itu terlangsungkan. Senyum terkulum di bibir, tapi hati menangis pedih.

Ya, ia berharap ada tangan teracung kala detik menentukan itu karena masih belum yakin bahwa pria yang sedang ia tatap adalah suami terbaik dari Tuhan buat dirinya.

Saudara, pernahkah Anda mengambil suatu keputusan dalam kebimbangan? Pernahkah Anda mengambil suatu keputusan karena terpaksa? Ini mengerikan, apalagi bila keputusan itu menyangkut hal-hal terpenting dalam hidup ini.

Tuhan ingin kita mencari tahu kehendak-Nya senantiasa. Ia ingin mendatangkan damai sejahtera, bukan kebimbangan dan ketidakpastian. Kita diminta untuk senantiasa menghampiri-Nya agar Ia memberitahu kita apa yang harus kita lakukan. Saat ini, sebelum Anda salah langkah, tilik ulang dan bawa dalam doa apa yang mau Anda buat. Karena damai sejahtera dan kebahagiaan pantas diperjuangkan dan digenggam sebagai harta berharga dalam hidup ini. (~s.n~)

"Sebuah kepasrahan kepada Tuhan adalah pelengkap yang sempurna atas berbagai perjuangan dan upaya untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik."

14.6.09

Romo dan Anak-anak Asuhnya

"Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat." ( Lukas 21:34 )

1 Petrus 4:7-11

Suatu ketika Romo Mangun diundang berbagi gagasan tentang reformasi dalam sebuah acara. Ia menyanggupi asalkan anak-anak asuh yang dibawanya turut serta. Mereka lalu dibawa ke Restoran Morolejar di lereng Gunung Merapi.

Setelah berbicara ngalor-ngidul soal kenegaraan, anak-anak asuh Sang Romo terpana-pana melihat suguhan restoran yang memikat dan memantik air liur: gurame bakar asam manis komplet dengan nasi rojolele yang mengepulkan asap. Mereka pun makan dengan lahap sampai kekenyangan.

Sang Romo kemudian melihat ada makanan yang tak dihabiskan. Anak-anaknya menyatakan mereka sudah terlalu kenyang. Romo akhirnya meminta remah-remah makanan tidak habis itu untuk dituang ke piringnya. Adegan itu membuat penyelenggara acara terharu. Namun, kalau Anda mengenal siapa Romo Mangun, Anda tahu bukan hanya saat itu, tapi di sepanjang hidupnya, ia adalah tokoh yang sangat greteh (cermat) dalam soal makanan.

Kita yang seringkali menyia-nyiakan makanan, mungkin dapat berefeleksi dari cerita ini. Kesederhanaan hidup mendatangkan kebahagiaan. Yang lebih membahagiakan lagi adalah ketika dalam kekayaan yang kita miliki, kita tetap hidup sederhana karena berempati atas kehidupan orang lain yang menderita, seraya berderma untuk menunjang kesejahteraan orang lain. Memang, kemewahan tak selalu buruk, namun kemewahan yang didasari niat pamer dan berfoya-foya sangatlah buruk. Hidup irit itu baik, namun bila selalu medit dan kikir dengan berdalih sedang mengirit itu amat jelek. (~s.n~)

"Kehidupan yang sederhana dan bersahaja sesungguhnya tidak akan pernah membuat kita kehilangan kehormatan."

12.6.09

Ilmu, Meditasi dan Karya

Sartono Kartodirdjo, sejarawan terkemuka itu pernah menyebutkan bahwa beberapa ilmuwan yang ada di Indonesia lahir karena bagi mereka, "hidup ini tidak ditentukan oleh nasi." Mereka mendalami sejarah karena mereka benar-benar cinta sejarah. Ia menceritakan beberapa orang yang hampir abai terhadap uang, mempelajari sejarah dengan ketekunan yang amat tinggi, hingga ilmu itu menjadi sebuah jalan lain untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Bukan hanya ilmuwan yang demikian. Bila kita menengok sejarah, para empu pembuat keris atau kitab pusaka melakukan hal yang sama. Mereka berpuasa, seraya merenung, mendekatkan diri dengan Penguasa, bereksperimen, juga berkarya. Hasilnya, karya-karya mereka tahan lama, terus menerus dipelajari, dan menginspirasi.

Karya yang besar tidak serta-merta lahir. Karya yang besar lahir karena sebuah ilmu benar-benar digeluti dengan intensitas dan pengorbanan tidak setengah-setengah, pula disertai meditasi. Tak banyak buku motivasi mengajarkan hal ini, karena hampir semuanya mengajarkan kesuksesan dalam cara yang mudah, waktu yang cepat dan tenaga yang sedikit.

Hakikat hidup adalah berkarya, yang bila dipadu dengan minat dan kemampuan yang memadai, akan menghasilkan sesuatu yang berarti dan berguna. Hasrat yang besar adalah nafas dari perpaduan itu. Dan hasrat itu semata-mata dapat terus berada di dalam diri kita bila kita mau selalu merenung: memaknai setiap jejak-langkah yang kita tempuh dalam kefanaan ini -- dalam terang petunjuk-Nya. (~s.n~)

9.6.09

Semoga Pelangi Itu Selalu Berseri

: Sebuah Esai atas Buku Kumpulan Cerpen "Pelangi Sastra Malang dalam Cerpen"

"Dead Poets Society" -- mungkin kita pernah menonton filmnya. Di sana ada seorang guru bahasa yang sangat bergairah dan dinamis mengajar: naik ke atas meja, penuh retorika, bahkan menggunakan pelajaran olahraga sebagai kegiatan pemantik semangat hidup. Sang guru -- diperankan memikat oleh Robin Williams -- disukai benar oleh murid-muridnya. Beberapa di antara mereka bahkan kemudian meniru-niru apa yang pernah dilakukan sang guru itu ketika ia masih muda: membentuk geng sastra!

Di sebuah tempat mirip gua yang jauh dari keramaian pada malam hari, berbekal cahaya remang-remang, mereka berkumpul, mengadakan perang sajak dan puisi. Jiwa muda yang penuh antusiasme dan kegairahan berekspresi -- tak akan terlupakan, bukan? Apalagi ketika cinta sedang menyapa, lalu puisi tercipta, dibacakan sambut-menyambut dalam bisikan hening, sesekali pekik, dan nuansa penuh dinamika: serasa lapang nian batin kita yang kecil ini memandangi keluasan semesta raya!

"Carpe diem", itulah salah satu ungkapan yang sering disebut dalam "Dead Poets Society". Artinya "seize the day", gunakan hari ini -- sebaik mungkin. Hidup memang indah jikalau kita berkarya dengan hati, tak sekedar disia-siakan. Hati pun akhirnya mencari kata-demi-kata, dalam rangka upaya memaknai keindahan -- juga bahkan penderitaan -- hidup. Kreator-kreator lalu tampil, dan seringkali mereka bersatu, membentuk komunitas, berbagi, dan bercengkerama.

Komunitas-komunitas sastra itu penting, paling tidak dalam dua hal berikut. Pertama, ia adalah ajang di mana para anggotanya bisa berbagi dan saling membangun. Kedua, ia menjadi bukti eksistensi keberadaan minat serupa para anggotanya. Dari kedua hal ini, hal kedualah yang sedang ditampakkan oleh Pelangi Sastra Malang lewat kumpulan cerpen "Pleidooi" ini.

Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerpen berjudul "Pinanglah Aku" karya Muyassaroh El-yasin. Penulis yang rajin menulis di majalah dinding ini membuat sebuah cerpen remaja Islami yang memikat dari segi dialog dan ekspresi tokoh-tokohnya. Ia mengisahkan seorang tokoh yang ingin hubungan lawan jenis berstatus jelas. Dengan lugas penulisnya menyampaikan pentingnya tujuan sebuah hubungan. Terkesan tradisional, mirip hubungan percintaan di desa-desa yang pernah saya dengar di warung kopi: bila kau mengajak seorang gadis keluar, orang tua si gadis akan memintamu untuk melamarnya. Terkesan sedikit asing alur dan ceritanya di tengah kehidupan yang makin bebas.

Cerpen-cerpen lain bertema cinta juga ada, setidaknya dalam cerpen-cerpen berikut: "Nausea" karya Yuni Kristianingsih, "Dua Laki-laki yang Meninggalkan Memori Nyeri" karya Yusri Fajar, "Tamu dari Austria" karya A Elwiq Pr dan "Dia Belum Juga Datang" karya Aga Herman. Cerpen-cerpen ini menampilkan beraneka dimensi tentang hubungan cinta, dengan jalinan kisahnya sendiri-sendiri. Dari keempat cerpen ini, yang agak eksentrik adalah cerpen "Dia Belum Juga Datang". Seorang wanita yang menunggu seorang pria hingga menghabiskan bergelas-gelas kopi di sebuah kafe ini terurai penuh gagasan hebat -- memuat penelusuran kondisi jiwa si wanita ketika menepis kegelisahannya dalam penantian.

Cinta memang tema yang tak pernah basi. Setiap orang mempunyai penafsiran, atau pengalaman, yang khas, tentang cinta. Namun ada juga cerita-cerita lain yang tidak mengangkat cinta sebagai tema utama dalam buku ini. Contohnya adalah "Negeri Dusta" karya Abdul Mukhid. Cerpen ini menarik: Paragraf-paragraf awalnya filosofis, harus dicermati amat serius, sementara akhirnya adalah ekspresi tawa yang lugu.

"Pleidooi" karya Azizah Hefni dan "Senja" karya Titik Qomariyah adalah cerpen-cerpen situasional. Azizah Hefni, yang akrab disapa Zizi, adalah pencerita berbakat. Cerpen "Pleidooi" yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini pernah dibacakan pada ulang tahun kota Surabaya ke-715. Alur, penggambaran karakter dan dialog-dialognya matang.

Namun, sebuah cerpen situasional yang justru paling "nendang" rasanya adalah "Selamat Sore, Olivia!" karya Liga Alam Mukhtar. Sebabnya, cerpen ini sangat singkat dan bahasanya benar-benar efisien. Cerpen ini mengingatkan kita pada cerpen-cerpen Bondan Winarno dalam kumpulan cerpennya berjudul "Pada Sebuah Beranda" (yang sebelumnya, dalam jumlah cerpen lebih sedikit bertajuk "Café Opera"). Kehamilan Olivia, aborsi yang dilakukannya, gelak emosinya, benar-benar tergarap maksimal oleh penulisnya.

Dua cerpen yang satiris adalah "Desa Para Dukun" karya Wawan Eko Yulianto dan "Tangan Berkolam" karya Supriyadi Hamzah. Wawan Eko Yulianto menyajikan narasi yang begitu reflektif atas kondisi warga Sidoarjo, Porong khususnya, setelah lumpur panas Lapindo tak henti-hentinya muncrat -- hingga kini. Ini berhasil dilakukan Wawan karena ia memang asli orang Sidoarjo. Doa, mantra, keluh-kesah, serta haru-tangis terkisah elok dan mengharukan dalam cerpennya. Sementara itu, "Tangan Berkolam" lebih banyak memuat tema nasionalisme dalam hubungan cinta beda bangsa. Ya, selain satiris, kedua cerpen ini sama-sama reflektif. Bedanya, dalam "Tangan Berkolam" terdapat beberapa dialog yang cukup banyak mendukung jalinan kisah.

Cerpen "Tangan" karya Susanty Octavia berusaha memetakan kedalaman hubungan tokoh utamanya dengan Allah. Cerpen ini memuat nilai-nilai Islami yang kental. Mirip dengan cerpen "Tangan", cerpenis lain bernama Lubis Grafura menyajikan cerpen religius, yang mana nilai-nilai religiusitas dalam cerpennya itu ia sentuhkan dengan budaya sebuah masyarakat di Kabupaten Donggala. Judul cerpennya "Rilara Nuadanga" -- sebuah judul yang indah, bukan? Dengan bahasanya yang hening, Lubis mengisahkan tentang jembatan kematian, atau secara Islami disebut "sakratul maut", yang terjadi pada orang-orang Suku Kaili di sana.

Nah, demikianlah tinjauan atas cerpen-cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen ini. Semoga hasil kerja kolaborasi ini tak berhenti sampai di sini. Penulis-penulisnya bisa dibilang semua berbakat menghasilkan karya-karya lain yang berkemungkinan besar dinikmati dan disukai lebih banyak orang. Pelangi Sastra Malang, komunitas ini -- dengan karya-karyanya yang mirip ragam warna pelangi -- kiranya terus berkarya. Dan kiranya karya-karya itu tidak sirna oleh terik panas surya, tidak tersembunyi di balik awan kelam, namun tampil -- lagi dan lagi -- seperti pelangi yang selalu berseri. ***

Sidoarjo, 8 Juni 2009, 23:56

Sidik Nugroho
Penikmat buku dan penyuka pelangi

7.6.09

perjumpaan pribadi dengan tuhan


ini adalah sebuah renungan di hari minggu. selamat hari minggu.


"TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka." (Mazmur 25:14)

"Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu..." (Yakobus 4:8)

***

"semua orang datang dan pergi, aku tetap tegar. aku sering dikecewakan, tapi aku tidak kecewa berlarut-larut. aku sering disakiti, namun aku bangkit lagi. beberapa pria datang, mereka selingkuh, aku ditinggalkan, aku tetap tegar. semua ini mampu kutanggung karena aku pernah bertemu tuhan secara pribadi. pertemuan itu bagiku sangat luar biasa. aku seperti mendengar tuhan berkata kepadaku, 'aku sayang kamu'. dan aku berani menyimpulkan bahwa tidak ada hal yang lebih indah di dunia selain mendapat kesempatan bertemu tuhan secara pribadi. mendengar apa yang dikatakan tuhan padaku, rasanya akan jauh lebih manis daripada mendengar pria idamanku suatu saat berkata, 'aku mau melamarmu'."

itulah pengakuan seorang teman saya, seorang pendoa muda yang saleh. ketika mendengarnya saya benar-benar tertohok. bagaimana tidak, semua kata-katanya memang luar biasa. well, "bertemu tuhan"... luar biasa, bukan?

ya, kita dapat menyatakan dengan enteng bahwa kita dapat bertemu tuhan ketika doa sebelum makan, sebelum tidur, atau bahkan sambil menyetir dan bekerja. ya, ya, ya... tuhan omnipresent -- dia mahahadir! namun, bertemu secara intim dengan tuhan, lalu mendapat suatu pernyataan penting darinya, itu yang dimaksudkan teman saya. itulah saat kita melakukan doa bukan hanya sebagai rutinitas, tapi sebuah pencarian dan penjelajahan. doa menjadi cara di mana kita membawa diri mendekat kepada tuhan.

para motivator dan inspirator yang beberapa karyanya saya baca, umumnya menggunakan tuhan atau doa sebagai penghias yang manis dalam karya-karyanya. kita diingatkan untuk pasrah dan berserah pada tuhan lewat doa. tak salah memang, lewat mereka kita diingatkan juga akan keterbatasan daya-upaya juga asa yang kita miliki; lalu kita bergantung pada tuhan, sang pemilik hidup, untuk membimbing dan menuntun kita.

nah, yang menjadi masalahnya adalah: tuhan lebih dari sekedar pembimbing atau penuntun. ia bukan tuhan yang dogmatis. ia nyata. "ia lebih nyata daripada pakaian yang melekat di badanmu," kata kathryn kuhlman, seorang pendeta yang senantiasa menghadirkan keheningan manis dan sangat khidmat dalam ibadah-ibadah kesembuhannya.

ya, ia mau menjadi yang pertama kita hubungi ketika segala kepayahan mendera batin kita. ia mau menjadi sahabat kita. ia mau menghadirkan segenap kelimpahan sukacita dalam hati kita yang kerap dilanda gundah gulana dan gelombang ketidakpastian dalam hidup.

tuhan semesta alam, mau bergaul karib dengan manusia yang besarnya hanya sepersekian ukuran sebutir debu ketika ditilik dan dibandingkan dengan keluasan alam raya yang tak mampu terjelajah mata indrawi kita yang rawan penyakit rabun. itulah yang membuat kita semestinya bersyukur, dan rendah hati. seburuk apa pun pengalaman yang pernah kita alami, tuhan mampu angkat itu. sejelek apa pun masa lalu kita, tuhan tidak pernah menolak kita. dan di hari depan, ketika kegelisahan, kekecewaan dan ketidakpastian menyerang hidup kita, tuhan menjanjikan penghiburan dan masa depan yang penuh dengan harapan.

"nothing you can do, makes him love you more; nothing that you've done, makes him close the door," demikian bunyi dua bait sebuah lagu yang indah dari hillsong, yang pernah saya dengar suatu ketika. dan kata-kata itu juga hendak menyapa hati kita: ia mengasihi kita bukan karena apa yang sanggup kita lakukan; ia mengasihi kita apa adanya.

ia juga, kini, ingin membuka pintu rumahnya bagi kita. ia ingin kita mengetok-ngetok, masuk, minum teh, ngobrol-ngobrol, riang dalam keintiman dengannya.

***

sidik nugroho
malang, minggu, 7 juni 2009
pagi hari, sambil mendengar kicau burung dan riak air di akuarium

5.6.09

Katak yang Ingin Terbang Tinggi

Cerpen Anak oleh Sidik Nugroho

TARJO adalah katak yang cukup populer di sebuah hutan yang kecil. Sebabnya ia kenal dengan hewan-hewan yang ada di darat. Ia juga kenal dengan hewan-hewan yang ada di sungai. Teman dekatnya adalah kura-kura bernama Wawa.

“Wa, aku ingin bisa hidup di udara juga!” kata Tarjo suatu ketika.

“Kenapa begitu, Jo? Bukannya kita mesti bersyukur karena sudah bisa tinggal di darat dan sungai?” tanya Wawa.

“Bersyukur sih bersyukur, Wa. Tapi rasanya Jenny akan sangat bangga padaku kalau aku bisa melayang-layang di udara.”

Jenny adalah seekor katak betina yang menurut Tarjo sangat cantik. Wawa bingung harus berkata apa. Dia tahu kalau Tarjo sangat ingin mendapat perhatian Jenny. Selama ini Jenny memang agak sering menghindar dari Tarjo karena Tarjo dianggapnya sok tahu, sok sibuk dan sok akrab dengan semua hewan lain.

“Jo,” akhirnya Wawa mencoba memberi usul. “Kurasa Jenny tak tertarik kalau kau bisa terbang tinggi di udara. Selama ini kulihat kau jarang memberinya perhatian. Kau jarang menemaninya kalau ia ke mana-mana. Menurutku, kau tampaknya tak berusaha menjadi temannya. Kau tampaknya justru ingin tampil hebat di depannya.”

“Bukankah aku memang hebat, Wa?” tanya Tarjo dengan nada bicara yang angkuh.

“Nah, itulah masalahmu, Jo! Memang banyak hewan menganggap kau hebat. Kau tahu banyak hal, kau kenal semua hewan di sini, tapi kau kadang... sulit menjadi teman yang baik.”

Tarjo tersinggung dengan apa yang baru saja Wawa ucapkan. Setengah membentak ia berkata: “Apa selama ini aku bukan temanmu yang baik, Wa!?”

Tarjo meninggalkan Wawa ketika Wawa hendak menjelaskan maksud kata-katanya. Wawa hendak mengejar Tarjo dan berbaikan, tapi Tarjo telah melompat-lompat cepat tak terkejar, masuk ke dalam hutan.

***

DI hutan, benar-benar tak disangka, Tarjo bertemu Mas Igel, seekor elang muda yang sangat tampan. Ia menjadi pujaan banyak hewan di hutan. Ia baru saja mengunjungi saudaranya, seekor burung nuri yang baru saja sembuh dari sakit keras. Tarjo menyapanya dan mengajaknya berbicara soal aneka tetumbuhan yang berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Mas Igel amat terkesan dengan pengetahuan Tarjo.

“Mas, maukah kita menjadi teman baik?” tanya Tarjo kepadanya.

“Ya, aku mau, Tarjo.”

Tarjo merasa senang karena kini ia bersahabat dengan hewan yang sering hidup di udara. “Betapa banyak temanku!” katanya dengan bangga di dalam hati. Dan, betapa bahagia hatinya karena ketika ia meminta Mas Igel membawanya terbang di udara, Mas Igel setuju!

“Tapi, kau tidak boleh mengajakku berbicara, Jo. Selama terbang, kau akan kuletakkan di dalam paruhku dan kau harus diam. Mengerti?”

“Sip, bos!!!” kata Tarjo dengan penuh semangat.

Mereka kemudian membuat janji untuk bertemu esok hari di dekat sungai dan kemudian terbang bersama.

***

TARJO rasanya tak sabar menunggu sehari saja. Ia telah mengabari semua hewan yang ditemuinya apa yang akan terjadi. Tarjo, si katak populer, dan Mas Igel, sang elang tampan, akan terbang bersama! Seisi hutan benar-benar gempar!

Beberapa hewan yang sedang tidak sibuk menyaksikan pertemuan kedua hewan itu di tepi sungai pagi hari ini. Semuanya memandang keduanya dengan bangga, terutama kepada Mas Igel. Suasana menjadi hiruk-pikuk ketika Mas Igel mengapit badan Tarjo dengan kedua paruhnya dan siap-siap terbang. Keadaan menjadi kian ramai ketika... wusssh!!! dua hewan itu melaju ke angkasa. Kepergian keduanya dilepas dengan sorak-sorai dan siulan-siulan membahana.

Di sebuah batu yang agak jauh dari keramaian para hewan, duduklah seekor katak dan seekor kura-kura yang tak turut berhiruk-pikuk. Ya, kita tahu siapa mereka: Jenny dan Wawa.

***

TARJO benar-benar gembira dengan apa yang dialaminya saat ini. Rasanya ini adalah hal yang terindah sepanjang hidupnya. Kini dilihatnya sungai tempat ia tinggal dan bermain menjadi sangat kecil dan panjang, serta berkelok-kelok dengan begitu indah. Dedaunan pohon-pohon di hutan tampak hijau menggerombol bagaikan lumut di permukaan batu-batu dekat sungai. Ia dan Mas Igel terbang makin tinggi dan tinggi, setinggi puncak gunung terdekat dengan hutan tempat ia tinggal.

Nah, yang paling ajaib baginya adalah ketika ia memandang besi-besi besar yang bersambung-sambung. Besi-besi itu berjalan laju di dua buah besi kecil lain berwarna hitam yang terpasang sejajar. Tarjo amat heran dengan benda yang sesekali mengeluarkan asap dan bunyi tuuut!!! tuuut!!! dari bagian depannya dengan nyaring sekali.

Ia hendak bertanya kepada Mas Igel benda apakah itu tapi tak bisa. Ya, kesepakatan mereka berdua selama terbang adalah tak boleh bicara satu kata pun.

Hampir setengah jam berlalu. Tiba waktunya untuk pulang. Kini Tarjo dapat melihat lagi hutan tempatnya tinggal. Ketika sudah tak terlalu tinggi, Tarjo lupa akan kesepakatan itu. Ia masih penasaran dengan besi-besi berjalan yang tadi dilihatnya. Ia bertanya pada Mas Igel: “Benda apa itu tadi, Mas?”

Mas Igel, sama seperti Tarjo, juga lupa! “Kereta api,” katanya.

Nah, saat itulah Tarjo terjatuh dari paruh Mas Igel. Ia berteriak: “Tolooong!!!” Rasanya tak ada yang mendengarkan teriakan itu. Ia pun pasrah dan kemudian jatuh berdebum di sebuah rerumputan yang tak begitu jauh dari sungai.

***

“JO, Tarjo... sadar, Jo!” kata sebuah suara. Tarjo mengedip-ngedipkan matanya, mulai sadar. Suara itu ternyata milik Wawa yang mengamati kejatuhan Tarjo. Di samping Wawa ada Jenny yang wajahnya tampak gelisah. Di situ juga ada Mas Igel yang tampak merasa bersalah.

“Hei, semuanya,” kata Tarjo dengan sangat lemah.

Wawa berkata kepada Tarjo kalau tulang punggungnya patah. Ia harus dirawat selama beberapa hari sebelum dapat berenang dan melompat-lompat kembali dengan normal. Mas Igel meminta maaf karena lalai. Tarjo pun meminta maaf kepada Mas Igel.

Dan, yang paling membahagiakan buat Tarjo ialah apa yang Jenny katakan kepadanya, “Mas Tarjo, nanti aku juga akan merawatmu. Tapi jangan terbang-terbang lagi ya....” Tarjo terharu mendengar kata-kata Jenny yang tulus itu.

Sejak hari itu Tarjo menjadi sahabat Jenny. Ia kadang masih ingin terbang lagi bersama Mas Igel. Namun, perlahan-lahan niatnya itu makin lama makin surut. Ia mulai sadar kalau bisa hidup di darat dan di air saja sudah cukup luar biasa untuk seekor hewan. Ia tak perlu berusaha lebih hebat lagi di depan Jenny karena kini, ke mana-mana Jenny dan Wawa selalu beserta Tarjo!

***

4.6.09

Menjamu Malaikat

"Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat." (Ibrani 13:2)

Galatia 6:1-9

Seorang teman kos saya bercerita tentang mendiang ibunya yang dulu ketika hidup buka depot kecil. Suatu hari datang seorang pria muda yang kehausan. Ia sangat rapi. Ia meminta segelas air mineral. Ibu teman saya yang terkenal royal dan murah hati ini tak ambil pusing dengan kerapian pemuda itu, diberinya apa yang pemuda itu minta. Pemuda itu duduk sebentar, mengucapkan terima kasih, lalu pamit. Ketika ia baru keluar dari halaman rumah, si ibu keluar mencari pemuda itu, hendak menanyakan sesuatu. Namun, pemuda itu telah lenyap.

Dalam iman Kristen, perbuatan baik haruslah dilakukan tanpa pandang bulu. Kita tidak berbuat kebaikan karena orang berlaku baik pada kita. Kita tidak berbuat baik agar suatu ketika mendapat berkat. Kita bahkan diperintah oleh Tuhan untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Lebih-lebih, kepada orang yang menderita, Yesus berpesan agar kita berbuat baik. Karena apa yang kita lakukan kepada orang yang menderita, kita lakukan juga kepada-Nya (Matius 25:40).

Nah, keterlibatan malaikat dalam perbuatan baik semestinya dipandang sebagai anugerah istimewa Tuhan bagi mereka yang budiman. Ini juga dapat dipandang sebagai perkenan Tuhan akan perbuatan baik yang kita lakukan bagi orang lain. Alih-alih berharap dikunjungi malaikat seperti cerita tersampaikan di atas, yang terpenting adalah perbuatan baik itu sendiri. Alkitab memerintahkan agar kita tak boleh jemu-jemu atau berhenti berbuat baik, karena kita akan menuai apa yang kita tabur (Galatia 6:9).

"Orang benar melakukan tiap perbuatan baik dalam kehidupannya sebagai salah satu cara memberi ucapan syukur kepada Tuhan."

1.6.09

Mengajarkan (Kembali) Pancasila

Pancasila di Zaman Presiden Soekarno

Setelah Jepang terhimpit akibat kekalahannya pada Perang Dunia ke-2, kita tahu Jepang membentuk BPUPKI, atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dalam sebuah sidang yang berlangsung sejak 29 Mei hingga 1 Juni 1945, pertanyaan besar yang muncul ke permukaan dalam sidang adalah, "Bila Indonesia merdeka, apa yang akan menjadi dasar negara?"

Mr. Muhammad Yamin, pada sidang tanggal 29 Mei 1945 mengemukakan lima dasar negara, yaitu: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dua hari berikutnya, 31 Mei 1945, Dr. Supomo mengajukan lima dasar lain yang mirip, yaitu Persatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah, dan Keadilan Sosial.

Segenap peserta sidang kemudian mendapat pencerahan setelah Ir. Soekarno maju untuk berpidato tentang dasar negara yang digagasnya pada tanggal 1 Juni 1945. Lima dasar yang dikemukan oleh Sukarno adalah Kebangsaan, Kemanusiaan, Kerakyatan, Keadilan Sosial, dan Ketuhanan. Dasar-dasar itu diberi istilah Pancasila. Soekarno kemudian juga meringkas lagi lima hal itu menjadi tiga, atau disebut Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan. Terakhir, ia memaktubkan kelima hal itu dalam Ekasila, yaitu Gotong Royong.

Apa yang Soekarno sampaikan dalam pidatonya sebenarnya merupakan kristalisasi pemikirannya sejak tahun 1926 ketika ia menulis buku bertajuk Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Pidato Soekarno disambut baik, dikenang amat bersejarah; bahkan sempat tercatat bahwa pidatonya itu disambut dengan tepukan dan sorakan hadirin yang riuh-rendah.

Setelah Indonesia merdeka, yang menjadi tantangan berikutnya adalah ideologi yang memang sejak awal telah disinyalir oleh Soekarno sebagai kekuatan yang cukup besar dalam pidatonya, yaitu Islamisme. Bahkan antara tahun 1957 hingga 1959 ada pemikiran yang berkembang di Dewan Konstituante untuk merumuskan kembali dasar negara. Pilihannya ada tiga: Pancasila, Islam, atau Sosio-Demokrasi.

Namun Indonesia tetap menjunjung Pancasila sebagai dasar negara. Ini mengingatkan apa yang telah disampaikan Soekarno dalam pidatonya, "Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, mau pun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat ... kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua'."

Pancasila di Zaman Orde Baru dan Reformasi

Di zaman Orde Baru, kita semua mengetahui suatu kenyataan pahit nan membosankan tentang kegiatan-kegiatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Alih-alih menjunjung Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, Orde Baru lewat P4 malah menjadikan Pancasila sebagai dogma saja dengan cara yang begitu kaku. Posisi Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi mulai luntur akibat datarnya dan membosakannya sesi-sesi tentang Pancasila yang dikemas dalam P4.

Ketika Orde Baru ditumbangkan oleh mahasiswa, bangsa Indonesia mencari-cari lagi ideologi yang pas di era Reformasi. Buku-buku "haluan kiri" -- yang sebagian di antaranya memuat wacana filosofis dan ideologis yang liberal -- yang di masa Orde Baru dianggap mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara, diterbitkan di mana-mana, laris-manis seperti kacang goreng. Liberalisme, yang makin marak mewabah akibat arus globalisasi -- bahkan gaungnya terasa hingga kini -- membuat kita mulai berpikir ulang: apakah Pancasila tetap (dan akan terus) menjadi dasar negara?

Namun, Pancasila tetap menjadi ideologi bangsa dan dasar negara, walau kita mungkin masih samar bagaimana kedudukannya yang amat tinggi itu bisa mewujud-nyata dalam keseharian berbangsa dan bernegara. Presiden SBY, dalam pidatonya tiga tahun silam menghimbau agar kita hendaknya "... meletakkan Pancasila sebagai rujukan, sumber inspirasi dan jendela solusi untuk menjawab tantangan nasional.... Sebab Pancasila adalah falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka." Hal ini amat sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Roeslan Abdulgani, bahwa Pancasila yang kita miliki bukan sekadar berisikan nilai-nilai statis, tetapi juga jiwa dinamis.

Tantangan bagi Dunia Pendidikan

Kini, di masa pengaruh kebudayaan asing semakin kuat terasa akibat globalisasi, perlu ada upaya untuk kembali menghadirkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa yang kokoh. Kedinamisan jiwa Pancasila -- seperti yang disampaikan Roeslan Abdulgani itu -- dapat diwujudkan lewat pendidikan.

Dr. Anhar Gonggong, seorang sejarawan, menyatakan dengan gamblang pendidikan Pancasila mengambil peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila dapat ditanamkan secara memadai "... lewat ilmu sejarah, dengan menerangkan secara benar proses kelahiran dan perumusannya. Atau lewat ilmu kenegaraan, bagaimana kita bernegara secara Pancasilais. Jadi, Pancasila bisa berkembang dan tidak hanya sekadar dikunyah-kunyah sebagai alat verbalistik. Pancasila harus menjadi ide realistik."

Guru, baik dalam taraf pendidikan dasar dan menengah, perlu men-transfer jiwa Pancasila yang dinamis dalam diri anak didik kalau kita tak rela melihat generasi penerus bangsa makin parah digerogoti budaya serba-instan-dan-mudah ala Barat. Di hari lahirnya Pancasila ini, semoga guru, sebagai salah satu ujung tombak kemajuan bangsa, dapat merenungi lagi sejarah panjang kelahiran dan eksistensi Pancasila, dan upaya-upaya kita ke depan untuk hidup berdasarkan dasar negara yang lahir dari cita-cita luhur bapak-bapak bangsa kita. (*)

*) Guru IPS dan Kewarganegaraan SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, alumnus jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang.