27.4.09

Dendam dan Stres yang Mengerikan

Kisah-kisah dalam Buku dan Film

Roger Ebert, kritikus film ternama itu, pernah menyatakan bahwa Hannibal Lecter adalah tokoh yang ditakuti, namun juga disayangi. Hannibal Lecter adalah tokoh dalam film Silence of the Lambs, Hannibal, Red Dragon, dan yang terakhir Hannibal Rising. Komentar Roger Ebert tak berlebihan. Hannibal Lecter memang sangat menakutkan karena otak manusia pun dimakannya, namun juga disayangi karena ia amat flamboyan dan romantis.

Hannibal Lecter menjadi sedemikian keji karena semasa kecil ia pernah menyaksikan beberapa tentara kelaparan semasa perang yang memakan adiknya, Mischa. Tentara-tentara itu sudah tak punya makanan lagi. Kebengisan mereka "menular" kepadanya akibat dendam.

Di dalam Hannibal Rising dikisahkan kalau ulah para tentara rakus nan bengis pada Mischa sering hadir dalam mimpi-mimpi Hannibal. Ia sangat menyayangi Mischa. Mimpi-mimpi itu, dipadu dengan kebencian, berbuntut pada pembalasan dendam yang tak kalah keji pada tentara-tentara itu.

Bukan hanya di film, bila kita memperhatikan buku-buku fiksi yang dijual akhir-akhir ini, maka salah satu yang cukup menyedot minat pembaca adalah buku-buku tentang psikopat. Jauh sebelum novel-novel ini marak, dulu, Sidney Sheldon menulis -- berdasarkan riset psikoanalisis yang cukup mendalam -- kisah seorang gadis yang memiliki tiga kepribadian lewat novelnya Tell Me Your Dreams.

Gadis yang suka murung merenung ini bisa menjadi anggun, funky, namun sekaligus kejam. Ia adalah seorang yang memiliki trauma masa lalu yang sulit terhapuskan. Ia hidup bergonta-gonti "baju" kepribadian, tanpa pernah menyadari apa yang sebenarnya sedang menimpa dirinya.

Cerita lain tentang dendam kesumat dan stres bahkan menjadi sebuah ajang bersejarah dalam dunia jurnalisme. In Cold Blood, buku karangan Truman Capote menjadi best-seller, disebut-sebut sebagai pelopor dalam jurnalisme sastrawi. Buku itu laku keras, dan filmnya sendiri sudah dibuat dalam beberapa versi.

In Cold Blood bercerita tentang seorang pria yang sangat memuja ayahnya. Sayangnya, di masa kecil ia jarang bersama ayahnya. Ayahnya seorang artis rodeo (penunggang kuda). Ketika ayahnya kehilangan pekerjaan, kehidupan mereka menjadi susah. Si ibu akhirnya meninggalkan si ayah seorang diri.

Pria ini bahkan beberapa kali bermimpi tentang ayahnya sambil memanggil-manggil namanya. Teman dekatnya yang bersaksi tentang hal ini. Dan, betapa ia bahagia, suatu saat ia bertemu ayahnya lagi ketika dewasa. Mereka berdua lalu membuka bar kecil dengan beberapa meja biliar.

Harapan pria ini untuk bersama ayahnya tergapai sudah. Namun, sayangnya, suatu ketika saat ia mendekor bar mereka dengan lukisan-lukisan buatannya, ayahnya datang sambil mabuk, mencerca anak ini sebagai anak yang tak berguna. Bar mereka sedang sepi pengunjung, dan si ayah menganggap bahwa lukisan-lukisan anaknya itulah yang menjadi penyebabnya.

Perry Smith, anak itu, kemudian memutuskan untuk membunuh ayahnya dengan cara yang keji dan mengerikan. Dan dia melakukannya dalam "kondisi jiwa tanpa bersalah", atau "in cold blood."

Kisah Perry tidak hanya berakhir di situ. Ia juga melakukan serangkaian pembunuhan berantai yang membuatnya dihukum gantung. Itu semua terjadi karena harapannya mendapat sosok ayah yang melindungi dan menyayanginya pupus dan terberai. Dan harapan itu kemudian berubah jadi amukan yang mengerikan. ***

Tantangan Hidup di Zaman Serba Susah

Di zaman ini, banyak orang hidup dalam kepahitan. Krisis global telah menjadi isu sentral yang berperan memantik stres dalam hidup setiap orang. Dalam sebuah bincang-bincang di televisi, diperkirakan krisis global mencapai puncaknya setelah Juli 2009. Kemunculan krisis, dibarengi dengan munculnya minat terhadap buku-buku psikopat yang tadi saya sebut -- membahayakankah gejala ini?

Kemurungan kita semestinya ditakar dengan cara menghadapi hidup sejujur-jujurnya. Setelah jujur, kita lalu mau rendah hati mengakui kelemahan dan ketidakberdayaan kita menghadapi kesusahan hidup, kepahitan, dan beraneka masalah yang mendera batin kita. Dendam dan stres itu manusiawi. Kita bahkan mungkin turut bersorak-sorak ketika seorang tokoh protagonis di film berhasil membalas dendam. Namun, sadarkah kita bahwa menyimpan dendam akan membuat kita tak waras? Seperti Hannibal, ia dapat tampil romantis, namun sekaligus kanibal.

Bahkan tekanan hidup dapat membuat seseorang berlaku sadis kepada orang yang sama sekali tak ada kaitannya dengan sumber amarahnya.

Minggu siang, 9 November 2008, jam 12 lewat sedikit. Saya lagi santai menunggu pempek digoreng di sebuah warung, sambil menyaksikan acara televisi. Nah, berita ini melintas.

Seorang bayi, usia 3 bulan, kepalanya merah-merah. Mengerikan, mengundang tangis dan membuat selera makan sirna. Dia baru saja dipukuli sama ibunya yang stres. Untung tetangganya mengetahuinya, lalu merampas bayi itu. Bayi itu selamat, menutup mata, lelap, tampak lemah dalam dekapan si tetangga. Dia ditimang-timang, dan didekap erat oleh si tetangga penyelamat.

Hingga berita itu ditayangkan, tidak disebutkan alasan mengapa ibu tersebut jadi begitu. Stres akibat tekanan hidup memang kadang-kadang dilampiaskan mengerikan. Hidup ini sendiri, bagi beberapa orang sangatlah mengerikan. Bila kejadian yang diterima seseorang adalah malapetaka dan duka beruntut-runtutan dan sambung-menyambung -- siapa tahan? Mana tahan?

Kita dapat menemukan pertahanan lewat pengampunan. Apa pun kesalahan orang lain di masa lalu, ampunilah. Jikalau kita tidak mau mengampuni, maka -- walaupun tak sekeji Hannibal -- kita akan menjadi pribadi yang mempunyai dua jiwa yang berbeda. Pengampunan adalah kunci bagi kehidupan penuh syukur dan berkah. Dalam pengampunan, ucapan syukur dan kepasrahan, tersimpan rahasia kebahagiaan yang dapat ditemukan seseorang. Masalah boleh datang dan pergi, namun ketegaran dan sikap legawa akan selalu tentramkan jiwa yang penuh gejolak.

Dan akhirnya, dalam semua itu kita dapat hidup lega, karena, seperti yang dikatakan seorang bijak, "Kehidupan bukanlah hal-hal yang terjadi pada diri Anda, tapi sikap Anda terhadap hal-hal tersebut." ***

Sidik Nugroho, pemerhati perilaku sosial

23.4.09

Yesusanitas dan Kristianitas dalam Sebuah Buku Apologetika


Judul Buku: Mendongkel Yesus dari Takhta-Nya
Penulis: Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace
Penerjemah: Helda Siahaan
Penerbit: Gramedia
Tebal: 285 halaman
Cetakan pertama, 2009

Yesusanitas -- apakah itu? Diterjemahkan dari bahasa Inggris Jesusanity, Yesusanitas adalah suatu ideologi yang sedang diajarkan di berbagai perguruan tentang kedudukan dan identitas Yesus sebagai tokoh politik radikal, atau guru yang agung dan hebat. Dalam Yesusanitas, posisi Yesus sebagai Kristus, atau Mesias, tidak diakui. Karenanya, Yesusanitas bertolak belakang dengan Kristianitas, pengajaran yang menjunjung tinggi kedudukan Yesus sebagai Juruselamat.

Yesusanitas muncul, kemudian kian merebak, karena adanya beberapa klaim seputar Yesus "yang lain", yang semakin menyedot perhatian publik. Dua penulis buku ini, Darrell L. Bock dan Daniel B. Wallace, memilah klaim-klaim tersebut dalam enam bagian.

Klaim pertama adalah tentang kitab-kitab dalam Perjanjian Baru yang dianggap telah sangat dirusak oleh para penyalin hingga tak terpulihkan. Klaim ini dimotori oleh buku karya Bart Ehrman berjudul Misquoting Jesus. Buku yang ditulis dengan gaya amat provokatif ini membuat orang pesimis akan kondisi naskah-naskah yang menjadi acuan penulisan Injil. Ehrman membuat pernyataan-pernyataan yang mengisyaratkan ketiadaan naskah asli yang menjadi sumber atau acuan penulisan Injil.

Padahal, dibandingkan dengan berbagai jenis manuskrip lain berbahasa Latin dan Yunani yang ditemukan, Perjanjian Baru memiliki jumlah manuskrip yang sangat jauh lebih banyak. Dalam kurun waktu 50 tahun (100-150 M) saja, ada 5700 manuskrip Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani, lebih dari 10.000 manuskrip berbahasa Latin, lebih dari 1 juta kutipan bapa gereja, dan belum termasuk sumber-sumber tertulis lain. Klaim Ehrman, kemudian menjadi begitu memukau, sekaligus meragukan, utamanya karena ia cenderung untuk berfokus pada perubahan-perubahan drastis dalam sejarah teks -- yang jumlahnya hanya segelintir. Perubahan-perubahan ini semestinya diperlakukan memadai dengan menakarnya ulang lewat kritik teks yang diupayakan menyeluruh dan terpadu dari sumber-sumber yang ada.

Klaim kedua adalah keberadaan Injil-Injil Gnostik rahasia, seperti Injil Yudas yang disebut-sebut menjadi kitab bagi versi Kristianitas alternatif di abad-abad pertama Masehi. Aliran Gnostik memberi penekanan berlebihan mengenai wahyu ilahi rahasia terhadap orang-orang tertentu saja. Dalam kasus ini, lagi-lagi ada Bart Ehrman juga yang berkomentar di sini bahwa Injil Yudas menjungkirbalikkan Kristianitas yang sejati: Yudas yang dianggap pemberontak dalam Kristianitas, justru menjadi pembuka jalan bagi penyaliban.

Klaim kedua ini lemah kedudukannya mengingat manuskrip Injil Yudas diindasikan ditulis pada akhir abad ketiga, dan naskah aslinya diperkirakan ditulis abad kedua. Jadi, jelas di sini bahwa Yudas bukan penulisnya. Ia mati menggantung diri tak lama setelah Yesus disalib. Jadi, semua yang ada di sini hanya rekaan: Yudas fiktif dan Yesus fiktif.

Klaim ketiga datang dari Injil Gnostik lain, yaitu Injil Tomas. Dalam Injil yang hanya memuat 114 pernyataan Yesus ini, Tomas menampilkan Yesus sebagai seorang guru. Ia tidak melakukan mukjizat, tidak memenuhi nubuat apa pun, dan tidak melakukan penebusan dosa. Injil Tomas menekankan pengetahuan, namun mengabaikan iman.

Klaim keempat adalah ajaran Yesus yang dianggap intinya bermuatan sosial dan politik. Klaim ini muncul dengan adanya buku karya Marcus Borg dan John Dominic Crossan berjudul The Last Week tentang minggu terakhir Yesus sebelum disalib. Saat itu Yesus ada di Yerusalem. Ia memasuki Yerusalem dengan menunggang seekor keledai muda. Ia menyucikan Bait Allah dengan cara yang radikal, mengucapkan sesuatu tentang pajak dan kekaisaran, berhadapan dengan mahkamah agama Yahudi, hingga mati disalib dengan tuduhan pemberontakan. Semuanya tampak memuat hal-hal berbau politik.

Borg dan Crossan kemudian menganalogikan secara politis sejarah Yesus dengan kondisi Amerika saat ini. Yesus dianggap politisi unggul yang "dibunuh karena impian-Nya", dan kemudian dibenarkan oleh Tuhan. Dalam Kristianitas, Yesus tidak melakukan semuanya karena bertujuan politis. Ia tak sekedar memenuhi impian-Nya, tapi kehendak Tuhan.

Klaim kelima datang dari buku The Dynasty of Jesus karya James Tabor. Dalam buku ini Tabor menolak keadaan Yesus yang lahir dari seorang perawan. Ia kemudian menitikberatkan gagasannya pada rencana Yesus untuk membangun sebuah dinasti Yahudi bersama Yakobus, Petrus dan Yohanes. Sebuah rencana yang kemudian gagal karena tampilnya Paulus yang dianggap sebagai tokoh sentral dalam Perjanjian Baru dan meletakkan dasar bagi Kristianitas lewat ajaran-ajarannya tentang Yesus Kristus.

Tampak di sini bahwa Tabor berusaha mempertahankan ke-Yahudi-an Yesus dengan mengabaikan Paulus, seorang rasul -- yang justru "sangat Yahudi" -- yang menyebarkan berita Injil ke bangsa-bangsa bukan Yahudi.

Klaim keenam datang dari berita seputar penemuan makam Yesus. Discovery Channel bahkan sudah membuat film dokumenter tentang ini dengan James Tabor sebagai penasihat sejarah utama. Klaim ini menunjuk beberapa makam yang diklaim sebagai makam Yesus dan keluarganya. Yesus dalam klaim ini beristri dan beranak. Istri, anak, dan beberapa saudara Yesus dimakamkan selokasi dengan Yesus. Namun, hasil uji DNA telah menyatakan bahwa antara makam Yesus dan sebuah makam di situ -- yaitu makam Mariamne, yang diduga adalah Maria ibu Yesus atau Maria Magdalena -- tidak memiliki hubungan darah. Selain itu, nama Yesus cukup populer pada masa itu. Josephus, seorang ahli sejarah menyebut ada 10 orang bernama Yesus saat Yesus Kristus hidup.

Klaim-klaim di atas menantang logika dan keyakinan kita atas keabsahan jati-diri Yesus yang selama ini dikenal dari Alkitab atau doktrin gerejawi. Buku apologetika yang dikemas dengan meracik sumber-sumber sejarah terpilih dan wacana-wacana terkini ini layak untuk dijadikan pegangan yang standar dan bersifat umum.

Judul buku ini (asli: Dethroning Jesus), tepat benar untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi -- dan kemungkinan besar akan terus terjadi -- sesuai sebuah nubuat di masa silam: bahwa Yesus Kristus akan selalu menjadi biang perbantahan. Takhta-Nya sebagai Mesias selalu digoyang dan diserang. Kristianitas, kini tak sekedar memuat ibadah dan pengagungan, namun tampaknya juga mencakup upaya menelusuri dan memetik hikmah dari beraneka perbantahan itu. ***

Sidik Nugroho,
Peminat sejarah gereja, alumnus jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, punya blog di http://tuanmalam.blogspot.com.

22.4.09

Menghindari Pacaran dalam Lingkaran Setan Ketidakpuasan

Judul Buku: Pacaran Asyik dan Cerdas
Penulis: Arie Saptaji
Penerbit: Gloria Graffa
Tebal: 142 halaman
Cetakan pertama, Maret 2009

"Dengan sentuhan cinta, semua orang menjadi pujangga," demikian Plato berujar suatu ketika. Memang benar, cinta membuat hidup menjadi lebih indah, walau kadang juga menyakitkan. Dengan dua kemungkinan akibat yang ditimbulkannya itu, Arie Saptaji mengajak kita menggerapai lebih dalam -- juga mendefinisi ulang -- makna dan keberadaan cinta dalam diri kita.

Memang, memaknai cinta adalah suatu tugas mahaberat; tak satu pun bisa melakukannya dengan sempurna. Beragam penafsiran, beragam pemikiran, sulit nian diseragamkan! Namun, butir-butir refleksi dan wacana yang ditawarkan di buku ini benar-benar bermaksud baik: kita diajak untuk melihat cinta dengan lebih jeli dan mata terbuka.

"Love is blind," kata sebuah pepatah. Pepatah itu rasanya mewakili perasaan Bella Swan yang cinta-mati pada seorang vampir tampan nan romantis dalam kisah Twilight yang amat digandrungi remaja putri -- bahkan tante-tante -- saat-saat ini. Namun, kebutaan itu, bila dinalar ulang, tak nyaman. Menutup mata sepuluh menit sambil berjalan-jalan di sebuah pasar malam benar-benar tak nyaman. Bahkan berbahaya, bisa nubruk-nubruk. Karena itu, Xavier Quentin Pranata dalam pengantarnya di buku ini menyebutkan versi plesetan dari pepatah itu: "Love is blaen" ("blaen" dari bahasa Jawa yang artinya: blunder, atau berbahaya).

Nah, apakah yang berbahaya dari sebuah hubungan cinta sepasang manusia yang terpanah asmara? Dengan gamblang dan lugas Arie Saptaji menyebutkan di bab-bab awal adanya mitos-mitos cinta yang keliru (1), hubungan-hubungan yang rentan (2), cacat-cacat karakter yang berbahaya bila tidak ditangani serius (3), dan bom-bom waktu ketidakcocokan (4). Empat hal ini diuraikan begitu apik dan runut dalam sebuah bagian bertajuk Ranjau-ranjau Cinta. Ranjau-ranjau ini secara garis besar berusaha memberikan gambaran kepada para pembaca: apa yang harus dihindari dalam membangun hubungan kasih atau berpacaran bila kita memang berniat membangun sebuah hubungan jangka panjang.

Sementara ranjau-ranjau dihindari, dengan telak pula Pilar-pilar Cinta disampaikan dalam buku ini di bab-bab berikutnya -- juga dalam empat bab. Pilar-pilar ini harus ditegakkan dengan kokoh: bagaimana kita mengembangkan karakter untuk menjadi lebih berkualitas (1), peneguhan komitmen dalam membangun hubungan (2), menyelaraskan kecocokan dengan pasangan (3), dan menumbuhkan keintiman (4).

Bab demi bab -- bahkan subbab demi subbab yang ada di bab-bab -- buku ini, bisa dikata terangkai secara optimal, sehingga menjadi tepat sasaran. Pembaca, utamanya kaum muda, dituntun untuk memahami apa yang semestinya dibuang; apa yang semestinya dipertahankan dan kemudian dikembangkan. Dengan didukung wacana, kutipan dan contoh-contoh yang memadai -- juga gambar-gambar ilustrasi yang lucu-lucu -- buku ini, walaupun tidak menggunakan bahasa gaul ala ibukota, masih tetap enak diikuti sasaran utama pembacanya, yaitu kaum muda. Para orang tua, atau pendidik yang dekat dengan kaum muda, juga sangat tepat memilih buku ini untuk dijadikan acuan dalam pembinaan-pembinaan kaum muda.

Kalau kita peka dengan kondisi zaman, kaum muda tampaknya semakin kehilangan pegangan untuk menjalin hubungan cinta yang sehat pada masa kini, saat gaya hidup selebritas yang metropolis nan hedonis begitu dipuja dan ditiru-tiru. Akibatnya, tak sedikit yang menjadi sinetronis, cengeng, atau justru malah main-main dalam membangun sebuah hubungan cinta. Cinta begitu diagung-agungkan oleh mereka yang jablai (jarang dibelai), tapi diperlakukan begitu rendah oleh mereka yang terlalu santai -- karena merasa sudah mahir memikat hati dan pikiran banyak orang.

Dalam buku inilah Arie Saptaji menekankan bagaimana kita berlaku wajar terhadap hubungan cinta. Tak berlebihan, juga tak asal-asalan. Ada sebuah bagian yang memuat pernyataan Michael Lawrence. Sungguh menarik untuk disimak: "Terlalu sering dalam hubungan berpacaran kita berpikir dan bertindak seperti konsumen daripada pelayan. Dan parahnya kita bukan konsumen yang baik."

Kemudian Arie Saptaji menguraikan dengan jitu apa-apa saja yang membuat kita tampil sebagai konsumen yang serakah dalam bercinta. Kita membangun hubungan hanya untuk memanfaatkan segenap keberadaan pasangan kita. Kita membangun hubungan hanya untuk kesenangan. Dan yang paling parah, kita membangun hubungan tanpa komitmen -- sementara hubungan itu sudah berlangsung sekian lama, dan mestinya dilanjutkan ke pernikahan.

Sebagai ganti komitmen, mata dan hati kita jelalatan. Kalau ada calon lain yang tampak lebih baik, kita menyanyi bersama ST 12, "Tinggalkan saja pacarmu, lalu bilang I love you... padaku."

Mengenaskan memang, bila kita benar-benar memahami kenyataan ini: bahwa hubungan sesama manusia perlu dilandasi dengan kasih sayang, pengorbanan dan keputusan yang konsisten. Karena gaya hidup konsumtif makin disukai banyak orang, membangun hubungan pun kita jadi konsumtif. Ini semata-mata bukan soal sikap yang materialistis -- tapi tentang kesejatian dan konsistensi dalam mencintai pasangan kita.

Bila kita sudah membangun hubungan, tapi selalu ingin mendapatkan yang lebih baik, maka kita tidak akan pernah merasa cukup. Daripada terus-terusan berharap mendapat pasangan yang lebih baik, tiliklah diri sendiri dulu: apakah aku sudah menjadi lebih baik? Tak jarang, hubungan cinta disama-samakan dengan dunia kerja: bila kita tidak cocok, putus hubungan. Repot benar bila hal ini terjadi saat kita sudah menikah. Inginnya mencoba dan mencicipi yang lain -- lagi dan lagi. Dengan cara demikian, kita sebenarnya sedang mengucapkan selamat datang pada lingkaran setan ketidakpuasan.

Bercinta memang asyik: kita semua suka mencintai dan balas dicintai. Namun, bercinta juga harus dilakukan dengan cerdas. Kecerdasan yang membuat kita mampu menilik dan menilai sebuah hubungan cinta dengan wajar. Sebuah kewajaran dalam bercinta, yang membuat kita bisa puas dan mampu bertahan hidup dengan seseorang yang suatu saat (atau juga telah) kita putuskan untuk selalu kita sertai -- hingga tutup usia. ***

Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, penulis lepas.

15.4.09

gadis cantik

dia mengenakan baju cokelat muda
bersenyum wajar
di sidoarjo yang panas, benakku seketika adem mendengar suaranya
: "pesan apa, mas?"
mesra nian bagiku, hingga ingin kujawab
:"pesan kamu boleh?"

"telur dan tempe saja," kataku
dia menggoreng dua pesananku dengan santai
dia, gadis penjual aneka lalapan itu,
sekali waktu mengerling; aku pun bimbang-bingung
: kenapa harus kutatapi lama-lama lentik bulu matanya?

"ibu! ibu!" kata seorang anak kecil
oh, ternyata dia bukan gadis lagi!
dirangkulnya anak itu, ditanyanya ada apa
"pengen digendong..."

dan ketika dia mengangkat anaknya,
sekali lagi dia mengerling kepadaku
sambil melempar mesra sebuah bonus
: senyum manis dari wajah juwitanya!

ah, sialan, aku benar-benar ingin main mata,
andai tadi tak ada suara mungil: "ibu! ibu!"

gedangan-buduran, maret 2009
puisi oleh-oleh buat ko ardian dan ko fredy

14.4.09

Dua Pria yang Menakar Keremangan Senja

:: cerpen Sidik Nugroho

Pria Pertama


GULITA. Tiba-tiba semua menjadi kelam. Pekat menggerayangi langit. Bumi gonjang-ganjing. Sementara udara berhembus menebarkan bau tanah yang -- jika kau mencium dengan peka -- memuat juga bau amis darah, walau samar, karena kencang nian angin sore ini berhembus!

Seorang pria terlentang kaku dalam renung panjang dan penyesalan di sebuah lereng bukit. "Ke mana aku akan pergi?" tanyanya dalam hati. Jumat yang muram ini menyisakan ruang kegalauan yang besar dan panjang: tentang kesetiaan, pengabdian, kasih dan pengorbanan.

Tiga jam sebelum senja usai ia melihat terang bersinar lagi. Langit perlahan-lahan cerah. Di puncak bukit itu samar-samar terlihat tiga manusia terhukum diturunkan dari tiang gantungan. Untuk yang berada di tengah ia kini menjerit: "Ampuni aku, Guru!" Ia berlari, menjauhi bukit, sekujur badannya terguyur peluh dan hujan. Kumis dan janggutnya yang tebal terbasahi oleh air asin yang keluar dari matanya. ***

Pria Kedua

"MAU ke mana malam ini, Pak Petrus?"

Dua pria sedang melintasi jalan kala hari menjelang malam suatu Minggu. Pak Petrus, seorang pria yang terkenal saleh dan kaya, rajin ke gereja dan menderma, saat ini sedang ditemani teman lamanya semasa SMA dan kuliah. "Kita belok saja, ke kiri, oke?" kata Pak Petrus. Saat ini mereka sedang berada di ujung Jalan Diponegoro di Surabaya, di daerah sekitar Banyu Urip dan Pasar Kembang .

Temannya itu tersenyum nakal. Wajahnya tampak riang nan berangasan. "Tadi aku ajak kok nggak mau sih?" katanya.

Pak Petrus mengulum senyum kecut. "Aku penasaran, dengan barang baru yang kauceritakan tadi," katanya.

"Henny?"

Pak Petrus mengangguk.

Telapak tangan teman Pak Petrus lalu saling berhadapan sejajar, membentuk siluet dengan gerakan pelan. Pak Petrus memandangi temannya itu dengan kagum, lalu menelan ludah. Sesuatu di bawah pusarnya bergerak, kini agak tegang. ***

Pria Pertama

DI sebuah pondok yang jauh dari keramaian, pria itu tertunduk lemas. Di pondok itu semua hal hebat yang pernah ia alami tiga tahun lebih belakangan ini bagai lenyap ditelan bumi. Harapan pupus. Matanya kemudian memandangi jala yang ada di dalam pondok itu. Yang kini mencuat-cuat di benaknya justru refreshing.

"Mungkin aku akan kembali seperti dulu saja. Jadi pencari ikan." Ia pun mengambil alat-alat itu, menjahit beberapa bagian jala yang robek, lalu dengan sigap meletakkannya ke atas pundak, dan berjalan menuju danau.

Senja di danau begitu sunyi. Tampaknya kematian guru di atas bukit itu telah membuat orang-orang dan ikan-ikan meninggalkan danau. Ia menuju perahunya, menyiapkan semuanya dengan santai. "Kembali seperti dulu, mungkin itu pilihanku," katanya. ***

Pria Kedua

"SSST, ssst, ada caleg datang. Ada caleg datang!" kata beberapa wanita berbisik-bisik. Mereka semua sedang duduk pamer paha dengan rok mini di atas sebuah sofa yang panjang. Pak Petrus dan teman lamanya kini telah sampai di Wisma Madonna. Dolly cukup ramai di malam yang muda ini.

"Mana dia?" tanya Pak Petrus kepada temannya.

"Itu, yang pakai baju putih."

Diamatinya wanita itu dari balik kaca di depan wisma. Ingatan akan siluet tadi, digabungkan dengan apa yang dilihatnya kali ini, membuat bagian yang tadi tegang dari dirinya, kini makin tegang.

"Oke, aku ambil dia," kata Pak Petrus mantap. "Kamu?"

Temannya tersenyum penuh kemenangan. "Kubilang juga apa. Kamu pasti cocok, Pak!" Temannya kemudian menunjuk seorang gadis yang lain. Ketika mereka berdua masuk, Pak Petrus berbisik kepada Henny. "Aku bukan caleg, Adik Manis."

Henny tersenyum, manis sekali. ***

Pria Pertama

"Terus, Petrus! Terus!" Demikian nama itu dipanggil-panggil, sambil disemangat-semangati oleh beberapa temannya. Ia telah kelelahan semalaman tak mendapat tangkapan yang bagus -- hanya ikan-ikan kecil yang lebih pantas diasinkan daripada dibakar atau digoreng.

Ia hanya diam saja. Jauh di relung hatinya ia mulai merasa kesepian. Hampa perlahan-lahan meliputi sekujur benaknya.

Di senja hari kedua setelah ia keluar dari pondoknya, Petrus mulai menatapi mentari yang tampak enggan membenamkan diri. Ia ingin mengenang gurunya yang telah mati itu, tapi hatinya begitu penuh penyesalan dan rasa ketidaklayakan. Petrus bimbang ketika daratan seolah-olah memanggil dirinya untuk kembali. Ia sempat memutuskan untuk membenci daratan. ***

Pria Kedua

"KOK pakai jas, Mas Ganteng? Kayak caleg saja!" kata Henny dengan manja.

"Saya habis mendampingi pendeta saya khotbah di Surabaya. Dia sudah pulang ke Semarang. Saya pulang besok. Yah, mumpung di sini, mampir kan boleh to? Menikmati surga dunia terbesar se-Astra!"

Henny mengernyitkan dahi sambil membuka baju. "Astra?"

"Asia Tenggara!"

"Ah, Mas ini. Bisa saja!" kata Henny dengan manja sambil membuka penutup dadanya. Ia membaringkan diri dengan manja di samping Pak Petrus. "O ya, sering ke sini ya, Mas?"

"Nggak kok, Dik. Terakhir ya dulu waktu aku kuliah, sama temanku itu. Temanku itu yang rajin ke sini."

Ketika Henny kini berbaring tanpa sehelai benang menutup badan, ponsel Pak Petrus bunyi. Dari istrinya. Dia biarkan ponsel itu berdering.

Pak Petrus melepas bajunya, celananya, baju dalamnya, dan... kali ini nada dering yang lain terdengar di ponsel yang sama. Bergegas dia ambil ponselnya. Dari pendetanya! Tangan Pak Petrus tergetar. Dengan suara terbata-bata, ia angkat ponsel itu.

Pak Pendeta bercerita, anak Pak Petrus terkena demam berdarah. Parah! ***

Pria Pertama

PETRUS dan kawan-kawannya kini kembali ke darat. Semalaman ia tidak dapat tidur.

Pagi-pagi sekali, rumahnya digedor oleh beberapa wanita. "Guru bangkit! Guru bangkit!" kata mereka seperti orang kesurupan. Dan benar saja, di malam harinya, ketika para murid berkumpul lagi di suatu tempat terkunci, sang guru datang mengucapkan damai sejahtera. Hati para murid diliputi sukacita. Petrus yang putus asa kini bersemangat baja! ***

Pria Kedua

TANPA babibu, semalam langsung ia gedor keras-keras pintu kamar teman lamanya yang lagi berhahahihi.

Pak Petrus dan teman lamanya itu berpisah dalam diam. Hanya dua patah kata terucap dari bibirnya, "Hati-hati."

Temannya hanya mengangguk.

Di rumah sakit Karyadi Semarang, kini Pak Petrus memandangi anaknya yang terbaring tanpa daya. Lemah, dengan trombosit di bawah lima puluh.***

Pria Pertama

NAMUN, semangat membaja pria bernama Petrus itu kadang pudar. Suatu ketika ia memutuskan untuk kembali lagi menangkap ikan. Ia tak tahu apa yang harus dibuat setelah sang guru bangkit. Gurunya itu kadang tampak, kadang hilang. Kegairahan yang luar biasa gampang berubah menjadi kelesuan yang tanpa daya dalam jiwa dan batinnya. ***

Pria Kedua

ANAK Pak Petrus sembuh setelah dirawat sepuluh hari di rumah sakit. Usianya baru tiga tahun lebih dua bulan. Ia bersyukur untuk hal yang ia sebut mukjizat itu. Dua minggu setelah dari Dolly, ia kembali melayani sebagai majelis gereja. Kali ini di Semarang. Dan hari ini, hari Minggu, ia terkesima mendengar doa, "Kasihanilah kami ya Tuhan, menurut kasih setia-Mu yang besar..."

Ponselnya bergetar. Diam-diam, kala doa itu tengah diucapkan dalam ibadah itu, ia baca sebuah pesan pendek di ponselnya: "Henny meninggal. Semalam ia bunuh diri karena anaknya mati. Ia sempat titip salam buatmu minggu lalu." ***

Pria Pertama

SIANG hari, saat Petrus dan kawan-kawannya mencari ikan lagi, sang guru datang! Ia membuat mukjizat dengan mendatangkan banyak ikan untuk ditangkap. Petrus menyambut gurunya itu dengan telanjang dada dan berlari-lari di tepian danau. Kali ini sang guru melewatkan siang hingga malam, bahkan hingga pagi berikutnya lagi, bersama para murid!

Di pagi hari, Petrus menangis lagi ketika kenangan-kenangan yang menyingkap jati-diri dan dustanya dikuakkan kembali oleh sang guru. Gurunya bertanya apakah Petrus mengasihi sang guru sebanyak Petrus menyangkal sang guru. Ia bersimpuh pada gurunya dengan takzim. ***

Pria Kedua

PAK Petrus bersuara serak ketika memimpin jemaat menyanyikan lagu setelah membaca pesan pendek itu. Dari podium tempat ia berdiri, ia saksikan anaknya turut menyanyi dengan senyum berseri. Begitu cantik anaknya itu, rambutnya yang terkucir dalam dua bagian sesekali bergerak-gerak riang.

Istrinya sibuk memandangi teks lagu, tak melihat mata Pak Petrus yang kini memerah dan berair. Betapa ia sayang pada istrinya yang memiliki kelembutan besar, walau kadang bagi Pak Petrus ia kurang menggairahkan ketika bugil di atas ranjang. Di luar gereja semburat ungu dan jingga berpadu di langit. Ia menakar keremangan senja kali ini, mencari tahu seberapa remang juga cahaya dan kegelapan yang berpadu di hatinya. ***

Pria Pertama

HARI demi hari ia lalui. Ia selalu mengingat ketika siang berubah menjadi malam sebelum waktunya tiba: suatu masa, saat pergantian kadar cahaya berlangsung cepat dan bagai tanpa jeda; senja prematur yang termemorikan dengan kekal -- saat seorang guru paling bijak yang pernah ada, diturunkan dari tiang gantungan menebus dosa-dosanya! Keremangan cahaya kala itu berujung pada kegelapan; rintih dan tangis guru yang terpancang tanpa daya di tiang gantungan pun terngiang-ngiang dalam ingatan.

Ia mengenangnya senja demi senja, saat keremangan cahaya menuju kegelapan berlangsung santai. Ketika malam tiba, ia selalu bertekad mengukuhkan benaknya yang kerap bimbang dan gulana. ***

Sidoarjo, seminggu sebelum Paskah 2009

13.4.09

Metamorfosa dalam Kepingan-kepingan Wacana

Pengantar

Resensi ini kubuat untuk para guru SD dan TK Pembangunan Jaya 2, juga segenap karyawan Yayasan Pendidikan Jaya, yang telah dianugerahi buku ini. Terima kasih untuk Pak Tony Soehartono, yang telah membagi-bagikan buku ini bagi para guru SD dan TK Pembangunan Jaya 2, juga segenap karyawan Yayasan Pendidikan Jaya.

Resensi ini sudah kukirim ke Surabaya Post sekitar dua minggu lalu -- dua hari setelah aku dan teman-teman menerima buku ini. Resensi ini pendek, karena memang ruang yang tersedia di Surabaya Post juga pendek -- maksimal 3000 karakter. Namun, belum ada kabar bakal dimuat apa tidak. Semoga saja dimuat. Kalau nggak dimuat, hmmm... hehehe....

Sulamak menyimak! :-)

++++++

Metamorfosa dalam Kepingan-kepingan Wacana

Judul: Dari Kepompong Menjadi Kupu-kupu
Pengarang: Drs. HD. Iriyanto, MM
Penerbit: Pustaka Pelajar
Tebal buku: xxvi + 182 halaman
Cetakan pertama, Januari 2009

Miles Hilton Barber memang luar biasa. Pria buta 55 tahun asal Inggris itu mencengangkan dunia ketika mengendarai pesawat Microlight-nya dari London menuju Sydney. Dia singgah di Indonesia tanggal 15 April 2007. Ini membuat bandara Halim Perdanakusumah tampak istimewa. Petualangan gila-gilaan Miles ini menjadi pembuka yang manis dalam buku karya Pak Iriyanto ini.

Penulis mengisahkan juga tentang Ruben Gonzales, atlit dari Argentina peraih medali emas 4 kali di olimpiade: 1988, 1992, 2002 dan 2006. Bidang olahraganya adalah Luge, sejenis olahraga es yang sangat berbahaya. Yang luar biasa: Ruben tidak dibesarkan di daerah bersalju, dan menekuni olahraga ini saat berusia sudah 21 tahun. Namun, tekad dan semangatnya yang membuatnya dijuluki bulldog oleh teman-temannya, mengantarkan dia untuk mengubah nasib.

Pelajaran-pelajaran hidup tentang mengubah nasib, itulah yang sebenarnya yang hendak disampaikan dalam serangkaian tulisan dalam buku ini. Mengutip sastrawan Islam terkemuka Jalaluddin Rumi, penulis berusaha menanamkan keyakinan: "Bila Anda mengubah kinerja Anda, Anda mengubah nasib Anda. Bila Anda mengubah nasib Anda, Anda mengubah hidup Anda."

Dengan gaya menulisnya yang santun dan tidak menggurui, penulis kemudian menyajikan sejumlah wacana, literatur, dan ilustrasi yang sesekali dibumbui retorika motivatif. Rangkaian tulisan itu kemudian dibagi dalam empat bagian refleksi hidup: Refleksi Pandangan Hidup, Refleksi Modal Hidup, Refleksi Budaya Hidup dan yang terakhir Refleksi Siasat Hidup. Keempat bagian refleksi ini sesungguhnya berisi artikel-artikel lepas dalam rubrik Metamorfosa di koran Republika Biro Jogja.

Dari kondisi awalnya sebagai artikel-artikel lepas yang kemudian dicoba diramu menjadi sebuah buku dengan empat bagian yang runut, maka lahirlah kelemahan buku ini. Jikalau ditelisik dengan teliti, "support yang sarat makna (meaningful) dan nilai (value)" yang dijanjikan penulis dapat diraih di tiap bagian untuk "kepentingan perubahan yang Anda dan organisasi impikan" terkesan kurang terpilah-pilah khusus dalam tiap bagian.

Bila disimak baik-baik, artikel-artikel dalam Refleksi Pandangan Hidup, lalu dibandingkan dengan artikel-artikel dalam Refleksi Modal Hidup, muatannya hampir sama. Semuanya tentang motivasi -- tentang bagaimana kita berdaya-upaya untuk meraih kepenuhan diri dan tujuan hidup. Pembedaan antara "Pandangan Hidup" dan "Modal Hidup" yang menjadikannya berdiri dalam bagian-bagian refleksi yang terpisah tampak kurang jelas dan lugas. Sementara di akhir tiap bagian, penulis menambahi semacam pengantar untuk masuk dalam bagian berikutnya.

Harus kita terima, sebuah buku yang lahir dari kumpulan artikel tidak bisa dipaksakan menjadi sebuah buku yang utuh sebagai suatu kesatuan. Memaksakan sebuah buku yang berisi puspa-ragam wacana menjadi sebuah karya utuh seringkali membuat pembaca agak kesulitan menemukan benang merahnya.

Tanpa mengurangi niat mulia penulis dalam mengusung tema yang apik tentang perubahan hidup, atau metamorfosa, buku yang sarat dengan kearifan ini sebaiknya kita baca dengan menghayati tiap artikelnya secara terpisah. Tiap artikel memiliki daya tersendiri dalam menyuntikkan semangat hidup dan upaya meraih hidup yang bermakna bagi para pembaca. Semoga, bagi sidang pembaca sekalian, kepingan-kepingan wacana, yang tersebar acak dalam sekujur buku ini, menghadirkan niat bermetamorfosa dalam hati dan pikiran kita.

Sidik Nugroho
Penulis lepas, guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo


9.4.09

Darah

darah adalah buah luka
yang didera oleh derita
ia adalah merahnya merah
yang meredakan amuk amarah

darah adalah penebusan abadi
yang bangkitkan manusia mati
ia mengaum pada setan-setan
memercikkan terang pada kegelapan

5.4.09

Perpisahan: Lagu, Buku, Baju dan Doa

5 April 2009. Sekitar jam tujuh pagi. Akhirnya, dua keponakanku tersayang, Jessica Lestari Sarsanto dan Gracia Arinda Sarsanto, kembali lagi ke Kalimantan Barat. Sejak Lebaran tahun lalu mereka ada di Malang bersama ibunya, kakak iparku. Sebabnya, Gracia memang direncanakan lahir di Malang, akibat ayahnya -- yaitu abangku -- sering dapat banyak pekerjaan di Kalimantan Barat.

Jessica lahir 9 Agustus 2005. Gracia lahir pada 1 Januari 2009. "Seluruh dunia turut merayakannya," kata seorang temanku mengomentari kelahiran Gracia. Sejak hari itu aku senang sekali melihat wajah keponakanku yang satu ini. Bila Jessica, kakaknya, terkesan ceria, Gracia terkesan kalem. Ia suka tersenyum bahkan sejak berusia satu bulan. Akhir-akhir ini kalau tersenyum, ia kadang juga bersuara, "Kek... kek...." Begitu kurang lebih bunyinya. Bagiku, wajahnya tampak selalu damai.

Melihat Jessica dan Gracia suatu malam tidur berdampingan, aku tergerak menciptakan sebuah lagu. Tanpa syair, hanya instrumen. Suatu saat, bila mereka sudah besar, mungkin akan kunyanyikan bagi mereka. Kiranya mereka menikmatinya. Hanya petikan gitar, dengan nada dasar C, bertajuk Gracia Lestari. Judul yang kurang lebih berarti: anugerah Tuhan yang selalu ada di sepanjang usia.

Bulan Maret lalu, dapat tawaran dari seorang kawan di Penerbit Andi Surabaya menerbitkan buku. Kukumpulkan lagi beberapa cerita anak-anak yang pernah kubuat, lalu kuajukan. Kupersembahkan juga buat mereka berdua. Semoga layak terbit, supaya di suatu masa saat mereka bisa membaca, mereka dapat terkikik-kikik membaca ceritaku.

Tadi malam, ditemani penulis muda paling bersemangat sekota Malang, Jemmy Sugianto, aku membeli baju untuk Jessica dan Gracia. Begitu pulang, seperti biasanya aku berkata, "Aku punya sesuatu untuk kamu, Echy." Echy, atau Jessica, setiap kali mendengar kata "sesuatu" langsung menutup matanya. Ketika dua baju itu kukeluarkan dari tas plastik, dan dia membuka mata, Jessica malah suka sama baju yang kuhadiahkan untuk Gracia. Sebabnya, baju mungil itu ada loncengnya! Sampai dia tidur dipeganginya lonceng baju itu. Padahal, aku sudah membelikan baju berwarna merah muda, warna kesukaan Jessica. Dari sini ibuku memberi pesan, "Kalau kamu beli baju, cari yang seragam tapi beda ukuran. Biar tidak saling iri," katanya. Kupikir-pikir, ada benarnya juga.

Sebelum Gracia tidur tadi malam, kugendong dia. Seperti biasa, dia akan menangis bila digendong sambil duduk -- maunya yang menggendong harus selalu berdiri. Kugendong, dan kunyanyikan lagu "Mampirlah Dengar Doaku" sambil kutimang-timang bayi ini. Ketika memandangi wajahnya yang ayu dan sendu, aku pun mengucapkan doa, "Kiranya berkat Tuhan melimpah dalam hidupmu; dan kelak bila kau besar engkau mendatangkan sukacita dan anugerah bagi banyak orang."

Malam pun berlalu. ***

5 April 2009. Sekitar jam tujuh pagi. Akhirnya mereka kembali ke pangkuan bapaknya, juga ibunya. Ada pertemuan, ada perpisahan. Ketika mengenang masa-masa di mana aku pulang disambut pelukan dan kecupan, aku kadang masih tidak rela melepas keponakanku pergi. Terkenang masa-masa di mana aku dan Jessica jalan-jalan mencari buku, membeli glitter, main masak-masakan, mencoret-coret lantai di rumah, bahkan membagikan nasi bungkus untuk para gelandangan dan tukang becak. Jessica selalu memanggil aku pacarnya. Dia memiliki dua pacar. Pacar pertamanya adalah adikku; aku pacar keduanya. Ya, dua-duanya omnya sendiri!

Jessica. Gracia. Di lain waktu, semoga kita berjumpa lagi. Imanuel, Tuhan beserta kita.

Dan, mungkin waktunya juga sudah tiba bagiku untuk mencari pacar. Tapi bukan yang balita kali ya? Yang berusia dua puluh tahun ke atas, kelihatannya lebih cocok. ***

Asshole dan Assessment

Selasa sore, 31 Maret, pantatku sudah tidak karu-karuan rasanya. Setelah mengantar tiga naskah ke Penerbit Andi cabang Surabaya di daerah Tenggilis, gejala ambeien mulai terasa. Namun, aku masih tetap cuek. Malamnya -- nah lo, rasain! -- aku selalu kebelet buang air. Dan yang keluar darah, darah dan darah. Celana pendekku berlumuran darah di atas tempat tidur. Dengan sisa-sisa tenaga, kukendarai sepeda motorku, kubeli Ambeven di apotik terdekat. Tapi masih saja: darah terus keluar. Hingga jam tiga pagi aku tidak bisa tidur tenang.

Paginya, aku memaksakan diriku menyeterika baju seragam mengajar. Segera kukenakan, dan aku memang niat berangkat ke sekolah karena hari ini, tanggal 1, hingga tanggal 3, ada assessment (penilaian kinerja guru menggunakan tim penilai dari luar). Tapi, aku sudah tidak kuat. Aku putar arah, langsung menuju rumah sakit Siti Hajar.

Di UGD Siti Hajar dokternya cukup sigap. Dia suruh aku buka celana, njengking, lalu... ini dia bagian yang ngeri. Dia mengambil semacam tabung besar -- sebesar semprotan Baygon cair yang tradisional, bukan yang spray, kurasa kau tahu maksudku -- yang berbentuk seperti pensil. Di pangkal tabung itu ada bagian yang menjadi penyemprotnya. Ujungnya ia masukkan di pantatku lalu penyemprotnya ia tekan. Aku menjerit dan menangis saat itu. Edan tenan, benar-benar sakit!

Semprotan sabun yang dikeluarkan oleh alat itu ternyata bertujuan membantuku untuk memasukkan (maaf) duburku. "Nanti gunakan empat jarimu untuk menekan dan mendorong, sabun tadi akan membantunya masuk," kata dokter. Ketika berjalan menuju kamar mandi dari ruang UGD aku merasa seperti sudah berusia 80 tahun: aku berjalan pelan sekali. Langkah-langkah kakiku hanya mampu bergerak sejauh 10-15 sentimeter.

Celakanya, begitu sampai di kamar mandi, aku kebelet pup. Dan, aku melakukannya! Nah, amblaslah sabun pelicin tadi yang bertujuan melancarkan masuknya (maaf) duburku ke bagian dalam pantatku.

Keluar dari kamar mandi, aku berjalan pelan-pelan lagi. Begitu kuceritai aku pup, dokternya mesam-mesem. "Ya sudah, yang penting obat dari saya nanti diminum," katanya. Aku duduk-duduk dulu di situ beberapa menit, menunggu nyeri di pantatku sirna.

Aku berjalan menuju apotek rumah sakit, mengambil obat. Seorang asing yang baik hati membantuku mengambilkan obat dan membayar di apotek. Setelah mengambil obat, aku duduk-duduk lagi di koridor rumah sakit. Kutelepon beberapa teman. Ada yang tertawa mendengar sakitku, ada yang berduka. Tak lama kemudian dua temanku yang baik hati -- yang dulu satu kos denganku -- menawari aku untuk istirahat di rumah kontrakan mereka. Ya, rumah kontrakan mereka lebih dekat daripada kosku dari rumah sakit.

Akhirnya aku istirahat di rumah kontrakan itu dengan tenang. Siang bangun sekali, cari makan. Tidur lagi hingga lewat maghrib. Aku kemudian istirahat dua hari sesuai petunjuk dokter.

Tentang assessment-ku yang tertunda dua hari karena sakitku itu, puji Tuhan, aku mendapat anugerah khusus: akan ada tim yang akan meng-assess aku -- hanya aku! -- hari Selasa, tanggal 7 April nanti. Aku bersyukur untuk hal ini, walau kadang masih geli juga membayangkan:

Gara-gara (maaf) asshole sakit, assessment jadi tertunda! ***

Catatan:

Aku tidak sedang bermaksud memaki dengan menulis "asshole". "Asshole" dalam tulisanku ini kuartikan "dubur", walau orang barat sana lebih sering menggunakannya sebagai makian. Bagiku, sama seperti kata "anjing". Kata itu bisa jadi judul yang indah bila berbunyi: "Anjing yang Setia", namun juga berangasan bila "Dasar Orang itu Bagai Anjing". Mohon koreksi bila aku kelewatan dan ada di antara Anda yang tidak berkenan.