27.2.09

Ketika Tulisan Tak Layak Muat dan Kalah Lomba

Catatan Pengantar:

Tulisan ini kubuat tahun 2006, setelah menerima kabar aku kalah dalam lomba cerpen Femina. Ku-posting ke beberapa milis kepenulisan dan sastra. Respon sangat banyak kuterima. Sampai-sampai artikel ini dimuat di situs penerbit Escaeva -- sampai sekarang masih jadi lima artikel terbanyak di-klik pembaca (lihat bagian Populer di situs Escaeva). Sempat juga menjadi ulasan di Ruang Baca Koran Tempo edisi Mei 2007.

Ku-posting lagi. Selamat menyimak!

+++===+++

"Aku dapat tidur di suatu hari dengan nyenyak bila telah menyelesaikan jadwal menulis yang kubuat untukku di hari itu."
-- Stephen King, penulis cerita horor

Saya kalah dalam sebuah lomba yang baru-baru ini diumumkan para pemenangnya. Ya, lomba mengarang cerpen Femina. Guru saya dalam menulis, Arie Saptaji, menjadi salah satu pemenang penghargaan di lomba itu. Cerpennya memang hebat. Saya sempat membacanya sebelum di-online-kan di situsnya waktu saya berkunjung ke rumahnya di Yogyakarta lebih dari setengah tahun silam. Namun, yang saya tulis berikut bukan hanya soal lomba itu. Yang saya alami selama empat tahun berkecimpung di dunia kepenulisan adalah kekalahan semata-mata.

Tulisan saya amat jarang dimuat media cetak. Padahal saya sudah membaca buku sastra sebanyak mungkin: dari tentang menulis, novel, kumpulan cerpen, atau resensi buku. "Sebanyak mungkin" yang tadi saya tulis adalah dalam ukuran saya: 1 buku 1 minggu. Dan buku-buku itu tentulah bukan buku anak-anak yang kadangkala hanya memuat 1 kalimat dalam 1 halaman -- sisanya digunakan gambar ilustrasi. Seingat saya, buku-buku yang saya baca kebanyakan berjumlah halaman lebih dari 200 halaman. Dan halaman-halaman itu kalau bisa disimpulkan berisi tulisan yang dapat disamakan dengan huruf Times New Roman berukuran 10 dan berspasi tunggal.

Saya sudah membaca sebanyak mungkin dan menulis sebanyak mungkin, tapi selalu saja: ditolak. Bukan hanya ditolak, saya pernah juga di-sms-i dengan sms yang seolah memuat gelegar amukan oleh salah satu redaktur koran terkemuka ketika saya menanyakan cerpen saya layak muat atau tidak: ditulis dengan huruf-huruf besar dan diakhiri dengan tanda seru lebih dari satu. Saya memang salah karena amat terburu-buru menanyakan cerpen itu. Baru sekitar seminggu dikirim, ditanyai layak muat atau tidak. Ya jelaslah... diamuk!

Apa yang saya alami mungkin juga dialami oleh penulis lain. Karya kita tak kunjung dimuat dan kita tak sabar menunggu hasil. Kita kerap melihat-lihat koran di kios terdekat dengan rumah tanpa membelinya, juga tanpa memperhatikan halaman muka namun langsung menuju ke ruang di mana kemungkinan tulisan kita akan dimuat. Keadaan ini saya muat dalam cerpen saya yang berjudul Kembali Pada Sepi: bagaimana hidup seorang pengarang yang terus berkarya, rajin membaca, namun selalu menghasilkan karya yang hanya pantas menuju ke tong sampah dalam kantor redaksi atau "trash" dalam mailbox e-mail redaksi?

Ada orang yang mungkin akan mengurangi intensitas menulisnya ketika mengalami hal ini. Orang-orang ini dalam pembenaran anggapannya mulai berangan-angan memiliki karya serupa Harper Lee yang buku semata wayangnya memenangkan Pulitzer. Mereka mungkin akan berpikir: kalau bisa aku akan menulis 1 buku atau karya saja seumur hidupku, sesuatu yang benar-benar hebat, sebagai pembuktian bahwa aku penulis hebat, dan kemudian aku baru mati. Dengan cara demikian mereka berharap akan dikenang sebagai pengubah sejarah.

Tapi saya lebih memilih bersikap lain. Saya menulis bukan karena ingin diaku sebagai penulis hebat pada nantinya. Saya menulis karena saya mencintai menulis. Oleh karena itu tak masalah bagi saya bila karya-karya saya dimuat majalah yang menurut orang amat kacangan: Sahabat Pena, misalnya. Bila dibandingkan dengan Kompas atau Koran Tempo mungkin 1:100 bobot sastranya. (Kau hendak mengubah sejarah lewat cerpenmu di Sahabat Pena? Yang benar saja, gundul!)

Saya kerap membayangkan -- saya rasa semua penulis suka membayangkan sesuatu -- adanya majalah-majalah gendeng pengimbang yang sudah ada, yang mungkin mau memuat tulisan saya: Kartono (bila cerpen saya ditolak Kartini), Maskulin (bila ditolak Femina), MuSuhmu (bila ditolak KaWanku) atau Perjaka (bila ditolak Gadis). Kalau Kompas mungkin enaknya diganti Senter (sama-sama menjadi alat para pendaki gunung).

Diaku sebagai penulis hebat atau tidak adalah anggapan orang. Bahkan karya kita yang dilemparkan ke keranjang sampah oleh redaktur bisa dianggap amat hebat oleh orang lain, setidaknya pacar kita. Inilah yang pada akhirnya menjadi batu uji bagi para penulis. Masihkah kita akan menulis ketika orang tak membaca karya kita? Dan masihkah kita mau belajar lewat membaca dan menumbuhkan kepekaan agar tulisan kita menjadi lebih baik? Seperti yang dikatakan Budi Darma bahwa banyak cerpenis Indonesia yang mengarang cerpen semata-mata karena bergabung dengan suatu komunitas sastra atau dipesan tulisannya oleh suatu media. Ia menambahkan bahwa bila penulis itu dilepas sendiri, masihkah ia akan berkarya?

Karya-karya Kafka diterbitkan anumerta, begitu juga sebagian karya Tolkien. Tolkien sendiri merilis buku yang ia karang sendiri, The Hobbit (bukunya yang pertama ia karang bersama E.V. Gordon dkk. pada tahun 1936 berjudul "Songs for the Philologists"), saat ia berusia 45 tahun. Ia menulis keseluruhan trilogi "The Lord of the Rings" (LotR) selama kurang lebih tiga belas tahun (yang baru diterbitkan tahun 1954-1955). Tolkien bahkan pernah mengaku kalau dirinya bukan penulis hebat. Inilah karya-karya yang digarap dengan cinta kepada aksara. Inilah yang membuatnya mempelajari bahasa Anglo-Saxon kuno yang kemudian dimodifikasinya sendiri sebagai bahasa peri dalam LotR. Kecintaan pada bahasa, saya rasa adalah satu landasan yang bagus untuk membangun dunia kepenulisan.

Memang, Tolkien lebih beruntung daripada Kafka karena namanya sudah dikenal luas sebelum ia meninggal sehingga beberapa karyanya diterbitkan anumerta. Tapi, poin yang saya ingin tegaskan adalah kecintaan Tolkien pada bahasa. Itulah yang membuatnya mengarang setiap karya-karyanya dengan sesempurna mungkin. (Saya tidak tahu apakah dia lebih gila dalam soal kesempurnaan dibandingkan Tolstoy yang konon mengedit "Anna Karenina" sebanyak lebih dari 120 kali sebelum naik ke penerbitan.)

Tanpa bermaksud menjadi naif, saya rasa bila rasa cinta itu sudah ada, rasanya kok mau kalah lomba, ditolak redaksi, tak terlalu masalah. Sing penting (sinau lan) nulis, kalah (utawa ora dimuat) yo wis!*) ***

*) Terjemahan: Yang penting (belajar dan) menulis, kalah (atau tak dimuat) ya tidak apa-apa!

24.2.09

Menjadi Sastrawan? Halah!


Penulis Artikel Sastra


Tidak sampai seminggu yang lalu, aku dapat kabar dari Pak Purwanto Setiadi, redaktur utama Koran Tempo, kalau artikel sastra yang kubuat -- tentang kebiasaan menulis dan proses kreatif beberapa penulis -- kemungkinan besar akan diturunkan di Ruang Baca Koran Tempo edisi Maret 2009.

Beliau menilai artikelku cukup menarik. Bila memang jadi dimuat, aku akan sangat bersyukur. Dan, untuk satu hal ini aku juga berterima kasih kepada Feby Indirani yang telah memberitahu alamat e-mail Pak Purwanto.***

Pembicara Sastra

Sabtu lalu, 21 Februari, diundang jadi pembicara. Undangan benar-benar tak resmi, hanya lewat sms seorang teman: tolong sampaikan sharing untuk memotivasi siswa-siswi jurnalis SMUK Cor Jesu di Malang. Kupikir lesehan, sambil ngopi atau makan gedang goreng gitulah. Namun, begitu waktunya tiba, betapa aku kaget: aku harus mengajar di depan kelas layaknya seorang guru!

Padahal aku datang tanpa persiapan: bajuku agak lecek dan pakai sandal. Terpaksa, aku pinjam jaket temanku yang mengundangku, Jemmy Sugianto, alumnus SMUK Cor Jesu. Anak-anak yang datang kalau tidak salah ada 9 orang cewek dan 1 orang cowok. Kesannya semua anak manis -- kalem-kalem dan pendengar yang baik. Mereka semua kupanggil adik. Terima kasih, adik-adik! Terima kasih Jemmy sudah mengundangku!

Dua guru pendamping, yaitu Bu Endang (Bahasa Indonesia) dan Bu Agnes (Guru BK -- trims Jemmy untuk koreksinya) juga turut hadir. Kesanku, mereka tampak antusias. Bahkan Bu Endang sampai-sampai menjadikan momen ini untuk pengambilan nilai UTS: anak-anak diminta membuat laporan dari apa yang kusampaikan, lalu dinilai. Terima kasih, ibu-ibu guru!

Materi lebih banyak berkisar pada proses kreatif seorang penulis -- fiksi utamanya -- dalam menghasilkan karya-karyanya. Kami membahas dan berdiskusi tentang J.R.R. Tolkien, C.S. Lewis, J.K. Rowling, Soekarno, hingga Stephenie Meyer yang lagi naik daun. Aku menekankan pentingnya komitmen, dedikasi dan loyalitas yang berujung pada konsistensi dalam berkaryatulis.

Nah, yang tak kuduga: aku yang datang dengan sandal dan tampil dengan jaket pinjaman, mendapat sejumlah uang, tiga edisi majalah sekolah Basisco (Bacaan Siswa Cor Jesu) dan sebuah cangkir berlogo SMUK Cor Jesu. Betapa aku bersyukur, juga agak malu!

Selain itu, ada satu momen juga yang membahagiakan. Aku berkenalan dengan Angel, ilustrator Basisco. Rencananya, dia bersedia untuk menjadi ilustrator di naskah novel yang sedang kugarap.***

Dua kejadian di minggu lalu ini kadang membuatku berpikir sampai hari ini: Apakah sudah waktunya aku menjadi sastrawan?

Halah!

19.2.09

Serigala-serigala yang Keji

"Waktunya tidur," kata Tuan Badrika. "Tapi... aku ingin berkeliling sebentar." Ia lalu melesat dan melayang dengan pelan ke beberapa arah dari tempat api unggun mereka malam itu berada, juga membawa beberapa tombak yang dibuatnya. Tari dan Pak Wahyu memperhatikan melesatnya Tuan Badrika dengan khidmat.

"Tari," kata Pak Wahyu. "Walau kau lihat bapak ini sudah tua, bapak sebenarnya masih mahir memainkan pedang."

Mata Tari yang tadinya menatapi kekelaman, kini membelalak menatap Pak Wahyu ketika mendengar sebuah kata. "Pedang, Pak?" Benaknya diliputi kegentaran.

"Ya, bapak membawanya dalam tas itu," kata Pak Wahyu menunjuk tas yang ia letakkan agak jauh dari api unggun. Ketika berkata-kata ia tampak agak resah.

"Maksud saya, apakah itu akan digunakan dalam waktu dekat ini? Saat ini? Sekarang? Untuk apa?" tanya Tari bertubi-tubi.

Pak Wahyu bimbang hendak menjawab apa. "Entahlah, Tari... dari pembicaraan tadi, aku menangkap adanya... yah... tanda-tanda bahaya di sekitar sini. Kurasa...," Pak Wahyu memotong kata-katanya, beranjak menuju ke tas yang ia bawa sambil melanjutkan kata-katanya, "Kurasa... yah... Tuan Badrika merasakan hal yang sa...."

"Auuuuuuwww...." Suara panjang bagai membelah langit terdengar, memutus pembicaraan Tari dan Pak Wahyu.

"Paaak!" teriak Tari sambil melompat dari tempat ia duduk, lalu minta digendong Pak Wahyu.

"Auuuuuuwww...."

"Nah... yang kurasakan sangat tepat, Tari. Ingatkah kau, dan tahukah kau bunyi apa itu?"

"Ingat, Pak. Itu dari cerita Tuan Badrika. Bunyi serigaaalaaa...." katanya dengan gemetar.

"Aku harus menghadapinya, Tari. Kau, berdirilah saja di balik pohon itu," kata Pak Wahyu menunjuk sebuah pohon yang agak jauh.

Suara auman serigala tampak makin keras dan bahkan bertambah jumlahnya. Di balik pohon Tari menggigil dan memanggil-manggil, "Tuan Badrika... Si Buta Berseruling... Tuan Badrikaaa... Si Buta Berseruliiing... selamatkan kami! Selamatkan kamiii!!!"

"Hei, serigala-serigala jahanam! Keluar kalian!" begitu Pak Wahyu berteriak. Teriakannya sangat keras. Namun selama beberapa saat hanya suara auman yang kian lama kian dekat saja yang terdengar.

"Keluar kaliaaan!!!" teriak Pak Wahyu. "Dan kau, Tari, diamlah!"

Ia menghunus pedang yang telah ia ambil dari tas bawaannya. Hampir bersamaan, seekor serigala melompat ke arahnya. Untung saja serigala itu bukan berasal dari belakang, tapi sampingnya. Serigala itu melompat cukup tinggi. Pak Wahyu kini telah siap menghadapinya. Keduanya saling berhadapan kini, sama-sama melangkah pelan-pelan. "Hmmm," serigala itu menggumam seram, menampakkan sebagian giginya yang sangar. Pak Wahyu tapi tampak tak gentar.

"Majulah," kata Pak Wahyu, seolah-olah menganggap bahwa hewan keji itu bisa bicara.

Dan hewan itu pun melompat, menyerang pundak kanannya. Pak Wahyu berhasil mengelak, berguling di tanah. Selama beberapa saat kemudian, tampak keduanya saling serang dan bertahan. Dari balik pohon Tari memberanikan dirinya untuk melihat pertarungan sengit itu. Dia sangat berharap Tuan Badrika lekas datang memberikan pertolongan.

Pak Wahyu dengan lincah telah berhasil menancapkan pedangnya di leher serigala pertama. Ketika mencabut pedangnya itu, serigala-serigala lain lalu muncul. Jumlahnya ada tiga ekor, dan mereka kini sedang menatap Pak Wahyu geram, seolah-olah hendak menuntut balas kematian temannya. Pak Wahyu mundur beberapa langkah, dan kini tampak gentar.

"Tuan Badrika...," desah Tari di balik pohon. "Maukah kau datang menolong Pak Wahyu?" Ia sedih melihat pria yang hampir tua dan perutnya agak buncit itu mengumpulkan segenap taktik dan kekuatan menghadapi serigala-serigala yang ganas.

Serigala kedua melompat menerjang kaki kanan Pak Wahyu. Dengan satu gerakan cepat Pak Wahyu menyingkir, sambil sekuat tenaga menghunus pedangnya menghantam kaki serigala itu sampai putus. Tanpa pikir panjang, Pak Wahyu menusukkan pedang itu ke dalam perut serigala si kaki putus. Lolongan panjang nan pilu terdengar di udara, disusul dua lolongan lain yang menyiratkan kegeraman, dan amarah yang amat ngeri.

Seekor serigala lain menyerang dengan ganas dan cepat. Serangannya tak main-main: ia selalu membuka mulutnya untuk menerkam dada Pak Wahyu. Pak Wahyu hanya bisa menghindar. Pak Wahyu tampak gelagapan ketika seekor serigala berikutnya juga turut membantu temannya -- kali ini menyerang-nyerang tangannya.

Mungkin telah ada setengah jam Pak Wahyu bertarung melawan empat serigala ini -- dua telah terbunuh tadi. Dan kini ia terpojok, tumitnya menyentuh sebuah batang pohon. Ia bersandar, meletakkan pedang di belakang kakinya. Ya, ia sedang memancing mereka. Tertarik pancingan itu, serigala yang selalu menyerang dadanya melompat cepat. Pak Wahyu tak mengelak, namun dengan sigap menyandarkan tangan kanannya di batang pohon tempat ia bersandar, lalu memegang pedang itu dengan kedua tangannya, dan....

Pedang yang berkilauan itu masuk menusuk jantung serigala itu.
Tari berpolah seperti anak yang hendak buang air: ia menggetarkan badannya ketika melihat serigala yang ganas itu melolong dahsyat menjemput maut. Menggelikan, namun sekaligus menggetarkan: hidung serigala itu menempel di hidung Pak Wahyu!

"Pak Wahyu, awas!" kata Tari begitu melihat serigala terakhir datang mendekatinya. "Lari, Pak, lari!" katanya. Pak Wahyu segera menyingkirkan serigala yang mati sambil menciumnya itu, tapi tak sempat mencabut pedangnya. Kini, Tari benar-benar tak merasa geli! Ia takut, benar-benar takut karena melihat Pak Wahyu dikejar-kejar serigala itu. Karena lelah, akhirnya Pak Wahyu jatuh tertelungkup. Ia membalikkan badannya, dan pasrah ketika serigala itu perlahan-lahan mendekati dirinya.

Tibalah saat yang paling menggentarkan dalam hidup Tari. Ia melihat serigala itu mulai berlari kecil menuju tubuh Pak Wahyu yang terkapar. Ia lalu melompat, seakan-akan hendak mencabik-cabik tubuh pria yang telah menyalakan amarah tak terkata di dalam dadanya.

Namun, amarah dalam dada serigala itu berujung petaka.

"Wuuus... wuuus...!!!" Dua tombak dengan amat laju kini bersarang di perutnya, tembus hingga ke sisi perutnya yang lain.

Ia tak sempat melolong -- mati dalam diam. Dan kini, Pak Wahyu pingsan ketika tubuh serigala yang cukup berat itu menimpa tubuhnya.

Tuan Badrika datang. Ia melayang turun dari sela-sela pepohonan dengan sangat santai. "Kasihan, Pak Wahyu. Ayo, Tari, bantu angkat serigala sialan ini dari tubuh Pak Wahyu yang tersayang."

Tari yang masih diliputi ketakutan sekaligus kelegaan bertanya, "Ke mana saja tadi, Tuan Badrika?"

"Aku tadi juga memburu serigala-serigala yang lain. Mereka agak jauh dari sini, dan kuyakin mereka akan ke sini. Namun, kini semuanya sudah aman. Mari kita minum teh dulu malam ini. Pak Wahyu juga butuh banyak minum. Tari, ambillah air," kata Tuan Badrika sambil menyerahkan panci yang mereka gunakan untuk merebus air.

Tari menurut walau takut. Ketakutannya selalu berhasil ia kalahkan sejak ia memutuskan untuk maju, berpetualang, dan berharap menemukan keajaiban dari tiap petualangan yang ia alami kali ini.

"Tuhan, terima kasih untuk perlidunganmu bagi Pak Wahyu," katanya berbisik. Dan kini ia mengingat Nina, adiknya yang manis. Ia mampu menahan kangennya, hingga tak ada satu air mata pun yang menetes ketika panci yang dibawanya kini sudah penuh dengan air. Saat itulah ia makin sadar, bahwa ia kini sedang benar-benar ada dalam petualangan! Ia melihat pertarungan, bahaya, manusia setengah resi yang bisa terbang, dan kejadian-kejadian lainnya yang dahsyat. Betapa ia bersyukur!

Ia pun kembali kepada Pak Wahyu dan Tuan Badrika dengan sukacita.

~s.n~
Sidoarjo, 18 Februari 2009, hampir tengah malam

17.2.09

beberapa temanku, malam ini

getar dan deru-guruh kereta-kereta yang laju
langit kelam tanpa bintik-bintik cahaya putih nan agung
petikan gitar yang melantunkan melodi tentang
: caya samar lampu merkuri jingga pucat

ah, ehm, seekor semut melintas,
tak bergerak sesaat, kini bagai menatapku
"mari kita lanjutkan cerita kita," katanya
"sebelum jamur menggerayangi...."
katanya lagi, sedikit tercekat kini, lalu sunyi

"menggerayangi apa sih?" tanyaku penasaran

"sela-sela keyboard laptop tuamu!"
jawabnya lugas, lalu pergi

melangkah santai namun yakin ia,
menuju kekelaman, menuju hidup tanpa sinar
tanpa hiraukan
: teman-temanku yang lain

sidoarjo,
16 februari 2009, 23.28

13.2.09

Komitmen akan Menjaganya

Berita ini rasanya pedih benar. Ada di sebuah koran, beberapa bulan lalu. Seorang wanita, usia 20 tahun, tewas dalam keadaan hamil. Ia tewas karena digebuki pacarnya. Pacarnya itu, sebelum menggebukinya, telah tahu kalau si wanita lagi hamil. Diminta untuk bertanggung jawab ia tidak mau, malah mengajak si wanita bersetubuh. Si wanita menolak ajakan itu.

Penolakan itu, diramu dengan nafsu tertahan dan mungkin juga panik, membuat si pria malah menggebuki pacarnya itu hingga tewas.

Cinta, nafsu, dan komitmen. Dari sinilah segala hal tersebut di atas dipulangkan. Kita dapat mencintai seseorang dengan alasan apa pun karena di dunia ini banyak sekali definisi dan upaya memaknai cinta. Namun, cinta tak luput dari nafsu, karena manusia normal, ketika mencintai seseorang, pasti suatu ketika berhasrat mencumbunya. Cumbu-rayu, persetubuhan, dan segala hubungan fisik lainnya akan menyakitkan jika dilakukan tanpa komitmen.

Kini, marilah kita renungkan: apa pun yang membuat kita jatuh hati di masa lalu terhadap seseorang, akan diuji dengan keberadaan komitmen.

Mata yang indah, paras yang memikat, sebuah perjumpaan yang istimewa dapat menjadi sebab-sebab berseminya cinta. Namun, ketika cinta itu tak lagi bersemi, dilanda musim kering dan badai, kita kadang tidak siap. Kita abai terhadap segala kenangan yang kita miliki dengan yang kita kasihi, juga rasa dan aroma yang terkandung dalam kenangan itu -- seindah apa pun. Nah, di saat itu, komitmenlah yang akan menjaganya, sampai akhir nanti. (~s.n~)

12.2.09

Totalitas: Eksplorasi Bakat


Jubing Kristianto, mantan pimpinan redaksi sebuah media ternama di negeri ini, beberapa tahun lalu memutuskan jadi gitaris sepenuh waktu. Ia mengeluarkan album solo Becak Fantasy pada bulan Februari 2007 dan Hujan Fantasy di tahun 2008 yang dipuji banyak pengamat musik.

Yang unik dari album musik ini adalah aransemen dan variasi nada yang ditampilkan Jubing. Ia membuat Becak karya Ibu Sud dan Burung Kakatua terdengar lebih nikmat dengan komposisi nada, akor dan irama yang lain dari yang selama ini kita dengar. Harian Kompas memuji kalau Jubing "... bukan saja membuat aransemen yang serius ... tapi juga memainkannya dengan sangat apik, sangat alamiah...."

Jubing telah empat kali jadi juara pertama Yamaha Festival Gitar Indonesia, sehingga keputusan Jubing untuk total bermusik memang bukan sembarang keputusan. Dan darinya kita belajar bahwa konsekuensi dari sebuah totalitas dalam menekuni sesuatu adalah eksplorasi yang tiada henti.

Nah, itulah yang kerap jadi persoalan bagi kita: eksplorasi. Ketika berbicara tentang totalitas, begitu banyak orang yang di awal ingin terjun total menekuni suatu bidang. Sayangnya, kadang kita terjun bebas, tidak terarah. Pembelajaran kita tak teratur, setengah-setengah dan membuat semangat kita perlahan-lahan kendur. Akhirnya kita babak belur. Mungkin, kini sudah saatnya memperbaiki totalitas kita dengan eksplorasi pembelajaran yang tertata dan berencana. Dengan cara inilah kita menghargai bakat yang Tuhan berikan kepada kita untuk kita gunakan, kelola dan juga bagikan. (~s.n~)

11.2.09

Rahasia Kemesraan yang Langgeng

John Gottman, salah satu peneliti ternama tentang perkawinan dan relasi-relasi, dalam sebuah penelitiannya, menyebutkan bahwa salah satu hal dalam perkawinan yang membuatnya tetap langgeng adalah hal-hal kecil yang dikomunikasikan.

Hal-hal kecil seperti apa? Hal-hal kecil yang seolah tampak tak berarti, namun di dalamnya momen-momen keakraban dapat terbuhulkan. Hal-hal yang dibicarakan kali ini bukanlah tentang hal yang menggegerkan; sebuah berita besar; atau mungkin saling memberikan kata-kata yang romantis, rumit nan mengerutkan dahi. Menyaksikan suatu pemandangan berlama-lama sambil ngobrol tentang apa saja, misalnya, justru dapat membuat sebuah pasangan tambah mesra.

Penelitian ini pada akhirnya membuat kita merenung tentang hakikat sebuah hubungan. Memang benar, bahwa hadiah, kata-kata mesra, bunga dan kado dapat menciptakan kejutan dan rasa tertentu dalam hati seseorang. Namun, bila semuanya dilakukan tanpa penyerahan diri, kebersamaan, dan saling memahami, dampaknya tak berlangsung lama.

Rahasia kelanggengan itu sebenarnya tak susah. Tak perlu bersusah-susah jadi pujangga, tak perlu memikirkan banyak kejutan -- walau semuanya perlu sekali-sekali diupayakan dan dilakukan dengan tetap mendudukkan posisinya sebagai pelengkap. Kita hanya perlu menjadi diri sendiri -- apa adanya. Nah, saat ini, marilah kita melihat lagi hubungan dengan pasangan yang sudah Tuhan anugerahkan kepada kita untuk dihidupi. Apakah kita telah memberikan segenap diri kita untuk memahami dan dipahami? (~s.n~)

8.2.09

Keceriaan dan Kebimbangan di Empat Musim

Judul: Juno
Sutradara: Jason Reitman
Skenario: Diablo Cody
Aktor: Ellen Page, Michael Cera, Jennifer Garner, Jason Bateman, J.K. Simmons
Rilis: Desember 2007 (USA)

Sebagian besar lagu dalam film ini seolah-olah menyatakan: dengarkan saja suara hati kami para penyanyi. Ya, lirik-liriknya terkesan cerdas dan mewakili pikiran-pikiran yang spontan tertuang, tanpa perlu banyak pertimbangan sumbang-tidaknya nada yang ternyanyikan. Seolah-olah, lagu-lagu itu juga menjadi representasi kepribadian Juno yang lugas dan lepas dalam berekspresi. Jiwa muda yang senantiasa rindu merdeka.

Juno (Ellen Page) hamil di usia yang amat muda, 15 tahun. Kehamilannya pun terjadi begitu saja. Ia menyukai Paulie Bleeker (Michale Cera), teman sebayanya. Ia kagum pada kakinya yang panjang. Ia jadi atlit lari di sekolah, pandai main gitar seperti Juno, teman satu band, walau Paulie berbeda jauh wataknya dengan Juno. Paulie lebih banyak diam, kalem, dan penurut.

Ayah Juno (J.K. Simmons), yang di kemudian hari tahu bahwa Juno telah dihamili Paulie sempat berekspresi dengan wajah lucu akibat kekagetan, amarah tertahan, dan rasa tidak percaya bahwa Paulie melakukan hal itu. Ia kemudian berkomentar kalau anak muda itu rasanya tak mampu melakukannya. Namun, kehamilan sudah terjadi dan orang tua Juno menerima kehamilan anaknya dengan berbesar hati.

Terlepas dari kebiasaan anak muda di Amerika yang sudah terbiasa melakukan seks bebas, minum dan memakai berbagai jenis narkoba, film Juno menawarkan kisah yang lain. Ia anak baik, tahu banyak soal musik, ceria dan enerjik, keluarganya bahkan sangat baik mendidik. Melihat Ellen Page memerankan tokoh ini, mungkin tak ada satu pun dari kita yang akan membencinya. Begitu polos dan apa adanya, aktingnya begitu wajar sebagai remaja 15 tahun, menjadi hamil karena sedikit ceroboh mencoba-coba berhubungan intim di atas kursi dengan pemuda yang sangat kalem.

Di sinilah Diablo Cody, penulis skenario, menunjukkan kepiawaiannya. Secara garis besar ia menghadirkan nilai-nilai penting untuk kita cermati. Ia lihai menampilkan jalinan hubungan antar-manusia dalam sebuah keluarga yang penuh kasih. Dan kasih-sayang itu mengalir deras di sepanjang cerita. Namun, cerita itu tak hanya berakhir di keluarga Juno. Diablo Cody juga memotret sebuah keluarga lain.

Saat Juno membuat pengakuan tentang kehamilannya di depan orang tuanya, sebelumnya ia sudah mendapat sebuah keluarga. Mereka sepasang suami istri kaya, Mark Loring (Jason Bateman) dan Vanessa Loring (Jennifer Garner). Namun, Mark dan Vanessa yang di awal pertemuan mereka dengan Juno dan ayahnya tampak baik-baik saja dan mesra itu, ternyata menyimpan sebuah rahasia lain.

Vanessa sudah lama hendak menjadi ibu. Lebih dari apa pun, anak adalah impian terbesarnya. Betapa ia akan senang dengan kehadiran si bayi yang akan selalu diimpikannya. Jennifer Garner menghayati perannya sebagai ibu cukup mantap, mengingatkan kita pada perannya yang lain dalam Freedom Writers. Namun, di film ini keceriaannya agak sedikit redup. Ia tampil anggun, tabah dan sabar menghadapi Mark yang ternyata tak kunjung dewasa, suka menonton film hantu, dan main gitar. Jiwa muda Mark ini ternyata rahasia yang kelam dalam hubungannya dengan Vanessa. Nah, Juno justru menyukai jiwa muda Mark itu: beberapa kali mereka berdua menikmati musik-musik jadul dan menonton film horor. Di sinilah kemudian konflik yang terajut jadi lebih luas. Ketika mata Juno terbuka akibat rahasia yang mengancam kebahagiaan dan kelanggengan hubungan Mark-Vanessa itu, Juno jadi bimbang hendak menyerahkan bayinya kepada mereka berdua.

Ketika kebingungannya memuncak, Juno kembali ke rumahnya. Saat itu ia baru saja dari rumah Mark, dan hatinya sedang terguncang. Dia berkata dalam hatinya, "Aku baru sadar betapa aku menyukai rumah saat berada di tempat yang berbeda." Ia memetik sebuah bunga, kemudian memutarkan mahkotanya yang berwarna ungu di permukaan perutnya yang terus membuncit.

Dari sinilah kemudian kita bertanya-tanya: akan tetap diserahkankah si bayi kepada keluarga Loring? Bagaimana dengan hubungan Paulie dan Juno? Apakah kisah ini akan menjadi kisah tiga keluarga? Kita lihat saja. Sebuah pesan dari ayah Juno yang bijaksana menyatakan bahwa hubungan yang harus kita pertahankan adalah hubungan dengan orang yang menyayangi kita apa adanya. "Ketika kau cantik, atau jelek, bahagia, atau kesal, kau akan tetap menjadi matahari baginya," begitu kira-kira ia berkata.

Tak lama berselang setelah kata-kata ini diucapkan, si bayi lahir! Ia kemudian menjadi pelita bagi jiwa remaja Juno yang walau selalu ceria, namun juga serba diliputi kebimbangan selama empat musim dalam suatu babak hidupnya. Ia kini tampak lebih dewasa dan bersahaja. Perpaduan dan gejolak aneka rasa di jiwa remaja ini telah tuntas terkisahkan dengan cerdas dan manis di sepanjang film.

Dan, dengan kelahiran si bayi pula, sebuah kebersamaan lain turut dilahirkan.

Sidik Nugroho
Malang, Minggu, 8 Februari 2009, 12:19

Ralat (9 Februari 2009): Jennifer Garner tidak main di Freedom Writers, tapi Hillary Swank. Wah, memang mirip keduanya di mataku. Maaf.